Wednesday, September 30, 2009

Demak - Mesjid Agung

Di kompleks Makam Kesultanan Bintoro Demak, antara lain terdapat makam Sultan Demak pertama, yakni Raden Patah yang berkuasa 1478 – 1518, Raden Patiunus (1518-1521), dan Raden Trenggono (1521-1546), serta Putri Campa, ibunda Raden Patah.

Sejarah
Sejarah Masjid Agung Demak, termasuk Kesultanan Bintoro Demak, bermula dari sosok Raden Patah, perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim), juga putri penguasa Campa.

Saat Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu. Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Akibatnya, konon sebagian penganut Hindu kemudian hijrah ke Bali dan sebagian mengasingkan diri ke Tengger.



Makam Pangeran Seda Lepen (tengah)


Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus (Raden Patiunus) menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon, yang juga salah seorang walisongo, sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa.

Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Di masa pemerintahan Raja Trenggono, walau berhasil menaklukan Mataram dan Singosari. Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga, daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Di tahun 1548, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama Pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk Pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari Pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.

Makam Raden Patah (paling kanan)

Takhta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika Adipati Jepara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari Adipati Jepara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang.

Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang, setelah itu ia memindahkan Kraton Demak ke Pajang dan menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat Kerajaan Islam Demak.

Dalam buku Sejarah Ummat Islam Indonesia yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Sultan Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan – Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.

Kesultanan Demak kemudian berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, menantu Trenggono, lantas memindahkan kerajaan ke Pajang dan menjadi Raja Pajang pertama. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.

Didirikan Walisongo
Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Walisongo secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477 M) yang ditandai oleh candrasengkala (kata-kata Jawa kuno yang melambangkan arti angka yang disusu dari belakang) “Lawang Trus Gunaning Janmi”. Data lain menyebutkan, masjid dibangun dua tahun sesudahnya, seperti pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini yang terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479.

Bangunan Masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Keseluruhan bangunan ditopang 128 soko, empat di antaranya soko guru yang menjadi penyangga utama bangunan masjid. Jumlah tiang penyangga masjid 50 buah, sebanyak 28 penyangga serambi dan 34 tiang penyangga tatak rambat, sedang tiang keliling sebanyak 16 buah.

Soko sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (soko tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Patiunus atau Pangeran Sabrang Lor), Sultan Demak kedua (1518-1521) pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju “hadiah” dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.

Masjid Agung Demak menjadi monumen hidup penyebaran Islam di Nusantara.
Walisanga sebagai penyebar ajaran Islam bersama-sama masyarakat muslim ketika itu bahu-membahu membangun masjid. Sultan Demak dan Sunan Kalijaga memimpin pembangunan sehingga memungkinkan pekerjaan dapat berlangsung sesuai rencana yang sudah disusun.

Berdasarkan hasil musyawarah para wali berkisar penyiaran Islam, pada Jumat Legi 1428 diputuskan membangun masjid di bilangan Gelagah Wangi, Demak, Jawa Tengah. Pembagian pekerjaan berlangsung dan masing-masing wali melaksanakan tugas memimpin pembuatan bagian-bagian masjid.. Soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid dikerjakan para wali. Empat wali memimpin pembuatan soko guru yang monumental.

Sunan Kalijaga memimpin membuat soko guru di bagian timur laut, Sunan Bonang membuat soko guru di bagian barat laut, Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara dan Sunan Gunungjati membuat soko guru sebelah barat daya. Soko guru yang dibuat Sunan Kalijaga memiliki cerita tersendiri di masyarakat, konon soko guru yang tingginya tiga meter dengan garis tengah 1,45 meter tidak sama panjang sehingga membutuhkan sambungan.

Sunan Kalijaga yang bertanggung jawab membuat soko guru di timur laut menyusun sisa-sisa kayu yang diikat menjadi satu sepanjang kekurangannya agar keempat soko guru menjadi sama panjang. Soko guru yang dikenal sebagai soko tatal menjadi legenda di masyarakat hingga sekarang, menurut penelitian bagian dalam dari soko tatal seperti juga ketiga soko yang lain.

Masjid Agung Demak yang berdiri di tengah kota menghadap alun-alun luas, diyakini masyarakat muslim sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan dan keumatan. Berdasarkan pola pembangunan kota-kota di Jawa yang diawali dari Dinasti Demak Bintoro, menjadi satu kesatuan antara masjid, kraton dan saran-sarana pendukungnya termasuk alun-alun di bagian tengah. Atas dasar itu diperkirakan bekas Kraton Demak Bintoro kira-kira di sebelah selatan tidak jauh dari kawasan alun-alun dan Masjid Agung Demak sekarang.

Bangunan masjid yang berdiri sekitar tahun 1428, banyak mengalami perbaikan dan pemugaran. Pembangunan kembali terakhir kalinya terjadi tahun 1987 dengan bantuan dana dari APBN. Bantuan juga datang dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) termasuk Arab Saudi dan negara-negara di Jazirah Arabia, termasuk Turki, Malaysia dan Brunei Darussalam.

OKI mengakui keberadaan Masjid Agung Demak sebagai monumen bagi masyarakat muslim yang memiliki arsitektur khas sesuai dengan dinamika zamannya.

Masjid Agung Demak memiliki arsitektur khas masyarakat muslim Nusantara, membedakan dengan umumnya bangunan masjid di Jazirah Arabia yang menggunakan kubah. Masjid Agung Demak menggunakan atap bersusun tiga berbentuk segitiga sama kaki, konon setiap bagian mengandung makna yang tersirat dari bentuk-bentuk yang terwujud.

Atap bersusun tiga menjadi perlambang bagi setiap orang yang beriman dimulai dari tingkat mukmin, muslim dan muhsin atau iman, islam dan ihsan Demikian halnya dengan lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dan bagian yang lain, diharapkan mengingatkan setiap manusia akan adanya rukun Islam yang lima yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Sedang enam jendelanya melambangkan rukun iman yakni percaya kepada Allah SWT, percaya kepada rasul-rasulNya, percaya kepada kitabNya, percaya kepada malaikatNya, percaya akan datangnya kiamat dan qada qadar.

Demikian halnya dengan kolam air yang menghubungkan bagian luar dan masjid, selain diharapkan sebagai sarana untuk menyucikan diri, juga mengandung sejumlah perlambang agar masyarakat selalu membersihkan diri dari berbagai kotoran yang menempel dalam diri dan hati.

Bentuk bangunan atap yang bersusun-susun hanya dikenal di kepulauan Nusantara, bentuk atap bersusun dapat ditemukan di seluruh pelosok tanah air mulai dari Aceh hingga Maluku.

Bentuk bangunan yang berbeda dengan umumnya masjid di banyak negara, segera diikuti bentuk-bentuk masjid kontemporer yang tidak menggunakan kubah sebagai cirinya.

Bentuk bangunan Masjid Agung Demak yang berbeda dari kelaziman zaman itu merupakan hasil ijtihad, selain itu sebagai upaya mengadopsi arsitektur lokal yang berkembang di masyarakatnya. Demikian halnya dengan upaya memanfaatkan iklim tropis yang membedakan daerah lain di berbagai penjuru dunia. Bangunan yang berkembang di kawasan itu meliputi joglo yang memaksimalkan bentuk-bentuk limas dengan berbagai dinamikanya.

Dalam sejarah Masjid Agung Demak, sampai kini masih dilestarikan upacara penjamasan atau memandikan Keris Kyai Crubuk, Kutang Ontokusumo dan Kyai Sengkelat peninggalan Sunan Kalijaga, yang dibawa dari Keraton Surakarta ke Kadilangu Demak, yang disebut Grebeg Besar.
Upacara dimulai setelah melakukan shalat Idul Adha di Masjid Agung kemudian diteruskan dengan prosesi iring-iringan prajurit yang mengawal minyak jamas, minyak untuk memandikan pusaka, yang didatangkan dari Kraton Surakarta Hadiningrat. Iring-iringan ini dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak sampai ke Makam Kadilangu.

Pada awalnya Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah 1428/Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak. Mesjid ini didirikan oleh Walisongo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi seperti tertulis pada candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmi”.

Pengukuhannya secara resmi pada 1 Dzulhijjah 1428/Caka ketika Sunan Giri meresmikan penyempurnaan masjid ini. Karena di luar dugaan pengunjung sangat banyak, kesempatan ini digunakan para Wali untuk melakukan dakwah Islam. Tujuan Grebeg Besar, hakikatnya adalah merayakan Hari Raya Kurban dan memperingati 40 hari peresmian Masjid Demak.

Tradisi Grebeg Besar, sekitar tahun 1970-an, hampir dilupakan masyarakat, karena semakin berkurangnya jumlah pengunjung. Ketika itu Bupati Demak Drs Winarno bersama Kepala Dinas Pariwisata Jateng Drs Sardjono, memiliki gagasan mengembangkan pariwisata untuk menambah daya tarik pengunjung. Kemudian dibuatlah atraksi upacara penyerahan minyak jamas dari Kraton Surakarta kepada Bupati Demak, diiringi prajurit “Patangpuluhan” yang jumlahnya empat puluh orang.

Pakaian prajurit ini dirancang oleh Dinas Pariwisata Jateng, sedangkan untuk aba-aba baris-berbaris dilatih secara khusus oleh anak wayang kelompok “Ngesti Pandowo”. Juga masih ditambah lagi dengan atraksi pemotongan “Tumpeng Sanga” yang melambangkan Walisanga karena jumlah tumpengnya sembilan buah. Di luar dugaan, dengan ditambahkannya even ini, pengunjung Grebeg Besar semakin banyak.


enj/ dari berbagai sumber

Pic taken from museumindonesia.info