Wednesday, February 18, 2009

Burung Enggang: Lambang Kepemimpinan Suku Dayak


Orang2 tradisional biasanya selalu akrab dengan dunia simbol. Tato2 pada laki2 Dayak, kuping panjang pada wanita Dayak, atau "coretan2" artistik pada wajah dan tubuh suku Asmat (Papua), semuanya tentu mengandung makna2 tersendiri sebagai ungkapan diri terhadap keberadaan mereka dalam komunitasnya. Kalau Anda berpergian ke kota2 besar di Kalimantan (Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya, dsb), simbol2itu juga banyak kita lihat. Satu di antaranya adalah ukiran2 kayu atau lukisan burung enggang, yang banyakkita jumpai di gedung2 pemerintahan atau di sudut2jalan kotanya (Foto: burung enggang di salah satu sudut kota Balikpapan).

Burung tersebut bagi orang Dayak dianggap sebagai burung "suci". Setidaknya sebagai perlambang kemuliaan dan kewibawaan pemimpin suku mereka. Burung enggang (di kota kita mengenalnya sebagai burung rangkong?) memang dikenal sebagai burung yang selalu terbang tinggi menjelajah hutan dan gunung,lalu hinggap di ketinggian pohon2 besar. Tubuhnya indah, suaranya merdu dan melengking jauh hingga terdengar dari kejauhan. Bulunya yang indah, disimbolkan sebagai pemimpin yangdikagumi oleh rakyatnya. Sayapnya yang tebal menggambarkan sebagai pemimpin yang melindungi rakyat. Suaranya yang keras, menandakan perintahnya yang selalu didengar oleh rakyat. Dan ekornya yang panjang, dilambangkan sebagai pertanda kemakmuran bagi orang Dayak. Atau dengan kata lain, demikianlah idealnya seorang pemimpin bagi masyarakat Dayak. Orang Dayak memang selalau dekat dengan alam. Dari alam mereka hidup dan dari alam pula mereka mengambil makna dalam kehidupannya.

Dengan demikian,mengambil hutan atau tanah dari kehidupan orang Dayak, sama saja dengan mencabut mereka dari akar2kehidupannya. Sebagaimana ikan yang dipisahkan dari air. Karena itu, diperlukan kearifan2 dalam memahami setiap masyarakat dengan segala kebudayaannya. Bukankah kita baru "mengetahui" diri kita setelah "melihat" oranglain"?
Donny Budiman

Melawat Ke Banten





Provinsi Banten boleh dibilang masih berusia muda. Tepatnya baru berusia sekitar 6 tahun, bila dihitung dari pemisahan wilayahnya dari Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Oktober 2000 lalu (Otonomi Daerah). Namun demikian, bila kita lihat jejak sejarahnya, kehidupan bernegara di Banten sebenarnya sudah terbilang lama. Setidaknya pada abad XVI hingga XIX, Banten pernah menjadi wilayah pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Islam Banten yang berdaulat dengan pelabuhannya yang ramai dikunjungi berbagai bangsa di dunia.

Pusat pemerintahan Kesultanan Banten terletak di daerah Banten Lama sekarang. Jaraknya hanya sekitar110 Km dari Jakarta. Setelah 2 jam lamanya kita berkendaraan dari Jakarta, maka sampailah kita di kota Serang, ibu kota Provinsi Banten sekarang. Dari Serang, bila kita arahkan kendaraan kita ke arah utara sekitar 10 Km, kita pun akan menjumpai situs2 kerajaan tua di sana. Salah satu peninggalan Kerajaan Islam Banten yangmasih terawat dengan baik hingga kini adalah mesjid agung. Mesjid tersebut dibangun pada masa kepemimpinan Maulana Hasanudin (1552 -1570 M), Sultan Banten pertama. Beliau adalah putra Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal orang dengan sebutan SunanGunung Jati, salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa.Arsitektur mesjid tersebut boleh dibilang unik. Atapnya yang terbuat dari kayu bersusun yang berbentuk limas, tak seperti lazimnya atap mesjid yang berbentuk kubah. Hal itu mengingatkan kita pada ciri khas bangunan China. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwapada saat itu akulturasi budaya sudah terjadi di sana. Demikian pula dengan menara mesjidnya. Menara mesjid yang setinggi 30 meter dan berbentuk segi delapan dengan ujung bulat dan terletak di halaman depan mesjid, konon juga dibangun oleh arsitek Mongol bernama Cek Ban Cut, beberapa tahun setelah mesjid berdiri. Menara ini mengambil model mercusuar yangbanyak dijumpai di Portugis (juga bangunan mercusuar lain seperti di Anyer dan Kepulauan Seribu Jakarta). Sedang bangunan tambahan di samping mesjid yang disebut bangunan Tiyamah, sangat kental bernuansa Belanda, yang awalnya digunakan penguasa saat itu untuk membicarakan masalah keagamaan. Ketiga bangunan di atas hingga kini masih terawatdengan baik. Dan pada hari2 tertentu sangat ramai di kunjungi para wisatawan baik dari dalam maupun luarnegeri. Dalam kesempatan tersebut, para pengunjung tidak lupa berziarah ke sejumlah makam sultan yang berada dalam kompleks mesjid atau daerah yang tidak jauh di sekitarnya. Mesjid Agung sendiri, selain masih dipakai untuk shalat Jumat, juga dipakai untuk acara2 ritual agama lainnya –katakanlah seperti acara Maulid Nabi, Shalat Terawih, dan sebagainya. Bila kita naik ke menara mesjid melalui tangga yang melingkar ke atas, maka sejauh mata memandang terlihatlah pemandangan pelabuhan Banten Lama yang masih elok untuk dipandang. Pikiran kita pun menerawang pada kehidupan masa lalu yang sudah ber-abad2 lamanya. Terjadinya perpaduan budaya pada peninggalan sejarah Banten masa lalu dimungkinkan karena awalnya Banten memang pernah menjadi salah satu pelabuhan laut yang ramai dikunjungi orang. Hubungan diplomatik antar negara pun sudah terjadi saat itu dengan saling mengirimkan duta besarnya, seperti dengan negara2 Timur Tengah atau Eropa lainnya. Tidak heran bila para pelayar maupun pedagang dari berbagai penjuru dunia sudah banyak yang singgah bahkan menetap lama di sana. Cornelis de Houtman, seorang pemimpin armada Belanda yang datang ke Batavia pada tahun 1596, sebelum mendarat di pelabuhan Sunda kelapa sempat singgahbeberapa hari di pelabuhan Banten Lama dan diterima dengan baik oleh Sultan Banten. Dalam catatannya ia menulis, pada saat itu pelabuhan Banten sudah ramai dikunjungi pedagang2 dari Portugis, Arab, Turki,China, Keling, Malaya, benggali, Gujarat dan malabar.Mereka berbaur dengan pedagang2 dari Jawa, Bugis,Madura dan Ambon yang juga sudah akrab dengan kehidupan di Banten. Adapun barang2 yang diperdagangkan saat itu adalah mulai dari sutra China,emas, kain tenun hingga berbagai jenis kebutuhan hidup se-hari2 lainnya.Keraton Surosowan, tempat kediaman Sultan, terletak tidak jauh di samping mesjid.
Hanya sayang, kondisi keraton tersebut kini sudah tidak utuh lagi. Yang tersisa kini cuma pondasi dan tembok dinding istana saja. Itu pun dalam keadaan yang sudah sangat memprihatinkan. Menurut catatan sejarah, keraton Surosowan mengalami penghancuran dua kali. Pertama sewaktu terjadi perang saudara tahun 1680 antara Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan ke-6 dalam masa pemerintahan Kesultanan Banten) dengan putranya Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda. Pada saat itu Sultan Ageng sempat dikalahkan dan dipaksa keluar dari istana. Dan kedua saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels tahun 1831 melakukan penghancuran total menyusul sikap Sultan Rafiudin, sultan terakhir Kesultanan Banten, yang menolak perintah sekaligus melakukan perlawanan terhadap Daendels. Pada saat itu Sultan Rafiudin menolak permintaan Daendels untuk memberikan sebagian rakyatnya agar ikut dalam program kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan trans Anyer – Panarukan, yang menjadi proyek prestis Daendels dan banyak memakan korban. Tidak sedikit dari rakyat yang mati karena kelaparan dan penyakit malaria saat itu. Beberapa makamnya kini bisa kita saksikan di sepanjang jalan keAnyer, di daerah barat Banten. Meskipun Kesultanan Banten telah punah sejak abadke-19, namun jejak dan semangat perjuangannya masih terasa hingga kini. Setidaknya bila kita melihat karakter khas orang Banten dan semarak keagamaannya pada saat bulan puasa atau hari2 besar umat Islam lainnya tiba. Situs2 itu masih ramai mereka kunjungi. Memang, berkunjung ke situs2 Banten Lama sekarang,selain membawa kita pada kenangan kejayaan Islam masa lalu, juga membawa pelajaran bagi kita, bahwa rasapersatuan di antara sesama bangsa sangat perlu agar kita tidak mudah dipecah belah oleh bangsa lain.
Donny Budiman
*Foto diambil dari berbagai sumber

Mercusuar Anyer


Menelusuri bibir pantai barat pulau Jawa memang mengasyikkan. Selain kekayaan budayanya, juga di sana banyak objek wisata yang menarik. Mulai dari keeksotikan budaya Baduy yang masih memegang teguh budaya nenek moyang, karang bolong, panorama alam, hingga sarana pariwisata modern lainnya. Kalau suatu ketika Anda menelusuri Pantai Anyer, Banten, tepatnya di Desa Cikoneng, Anda pasti akan menemukan sebuah mercusuar tua di sana. Mercusuar yang dibangun Belanda pada abad XIX itu (beberapa saat setelah Kesultanan Banten runtuh) hingga kini masih eksis berdiri sebagai saksi sejarah. Fungsinya tiada lain tiada bukan untuk memberi tanda pada kapal2 yang menyeberangi Selat Sunda dan yang ingin berlabuh dipantai Anyer.

Meski renta, mercusuar tersebut masih berfungsi hingga kini. Pada hari2 tertentu, kalau rasa ingin tahu itu datang, kita dapat menaiki mercusuar hingga ke puncak. Dari ketinggian, kita akan melihat sebuah pemandangan menarik di Selat Sunda. Bila hari cerah dan kabut tidak menyelimuti, anak Gunung Krakatau akan terlihat di kejauhan. Sebuah gunung purba yang pernah meletus beberapa kali, sebelum meletus terakhir kali dengan ledakan dahsyatnya pada tahun 1883. Ketika letusan dahsyat itu terjadi, dua pertiga dari tubuh Gunung Krakatau amblas ke dasar laut, menyisakan sepertiganya yang masih menjulang tinggi dengan bekas aliran lahar di sekitarnya. Bentuknya tidak berbentuk segitiga sempurna lagi sebagaimana umumnya gunung, melainkan segitiga yang sudah terbelah di tengahnyadengan bentuk seperti sayatan yang tegak lurus keatas. Pada tahun 1927, dari tengah2 bekas Gunung Krakatau,tumbuh pula anak gunung yang bertambah terus tingginya setiap tahun --untuk menandakan bahwa anak gunung Krakatau tersebut adalah gunung berapi yang aktif. Sisa2 peninggalan letusan Gunung Krakatau sebagian masih bisa kita temui disamping mercusuar. Tepatnya di Gedung Telkom di sebelah mercusuar berupa bongkahan batu apung yang besar, yang masih terawat dengan baik yang terletak di pinggir jalan Anyer. Mengingat historis Anyer dalam perjalanan sejarah bangsa, mercusuar itu kini dijadikan titik nol Pulau Jawa di belahan barat, setelah sebelumnya terletak di Pasar Anyer. Tidak jauh dari mercusuar, didapati pula bangunan bekas stasiun kereta api yang pernah dijadikan alat transportasi masyarakat pada tahun1960-an. Hanya sayang, bangunan itu kini tidak terawat dengan semak belukar di sekelilingnya. Selain menarik untuk memandang, lingkungan sekitar merucusuar juga menarik untuk dijadikan salah satu"situs2 cinta" Anda dengan sang kekasih. Datanglah!

Donny Budiman

Fenomena Krakatau


Krakatau adalah salah satu gunung berapi yang paling populer di Indonesia bahkan dunia. Penyebabnya, selain letaknya di tengah laut yakni di Selat Sunda, Krakatau pernah meletus tanggal 27 Agustus 1883 dengan daya ledakan yang maha dahsyat.
Menurut Verbeek (1885), Krakatau berasal dari kata Rakata, yang dalam bahasa Sansekerta berarti kepiting. Tak jelas mengapa disebut demikian. Tapi boleh jadi, bentuk awal Krakatau sebelum terjadinya letusan 1883memang seperti kepiting. James Cook (1780), pengelana berkebangsaan Inggris yang pernah singgah di Krakatau dgn kapal Resolution, membuat catatan bahwa pada saat itu Krakatau sudah ramai dihuni penduduk. Di sana terdapat sumber mata air panas, pepohonan, dan beraneka ragam makanan. Sebelum Krakatau meletus, luas pulau tsb 47 Km persegi.

Tingginya mencapai 1800 meter di atas permukaan laut, sementara kedalamannya mencapai 300meter di bawah permukaan laut. Kalderanya diperkirakan6,5 Km luasnya, dengan tiga puncak yg menjulang tinggi,masing2 adalah Danan, Rakata, dan Perbuatan. Secara teoritis, letusan gunung berapi terjadi karena gesekan dari patahan tanah yg melapisi bumi. Aktifitas itu, dalam skala besar, dapat meluluhkan batuan diperut bumi yg disebut magma. Jika magma tsb terdorong ke permukaan tanah, terjadilah letusan gunung berapi yang lazim disebut erupsi.

Tapi prosesnya tentu tidak terjadi seketika, melainkan melalui tahapan2 yg disebut dengan gejala awal. Gunung Krakatau ketika meletus tahun 1883 juga menunjukkan gejala yg sama.

Bulan Mei 1883, terjadi gejala awal berupa gempa kuat yg membawa kerusakan material pd lingkungan sekitarnya seperti Anyer dan Lampung. Setelah diselingi ‘batuk’ beberapa kali,bulan Juni 1883 terjadi letusan sangat kuat pd PuncakDanan dan Perbuatan. Akibatnya, dua puncak itu hilang dari permukaan laut! Puncak letusan terjadi tgl 27Agustus 1883, dengan terjadinya dentuman dahsyat secara terus menerus yg diikuti asap tebal membubung ke langit setinggi 92,6 Km serta hujan abu sejauh 870,000 Km. Tak heran, jika ledakan itu sampai terdengar hingga ke Australia dan Madagaskar. Menurut para ahli, kekuatan letusan saat itu diperkirakan 26 kali letusan Bom H. Debu vulkanis yg dimuntahkan sempat menutupi cahaya bulan dan matahari. Akibatnya, matahari maupun bulan saling berganti warnayg menimbulkan korona warna biru, hijau, jingga, dsb. Intensitas cahaya matahari yg turun –dgn sendirinya—diikuti penurunan suhu global bumi yg kala itu mencapai 0 – 7 derajat Celcius selama satu tahun.

Karena ledakan tsb terjadi di tengah laut, terjadilah gelombang raksasa (tsunami) setinggi 30 meter yg menghantam pantai2 di sekitarnya, termasuk Banten dan Lampung. Korban jiwa mencapai puluhan ribu orang. Menurut catatan resmi pemerintah Hindia Belanda saat itu, korban jiwa yg meninggal mencapai 36.417 orang, sedangkan kerugian material tidak terhitung jumlahnya. Sebagian peninggalannya masih bisa kita temui kini di Pantai Anyer berupa bongkahan batu besar (di sebelahMercusuar Anyer) dan di Lampung berupa lampu kapal yang terdampar ke sana (Lihat foto). Sebagai gambaran, jarak Pantai Anyer di Banten ke Krakatau sekitar 30Km, sementara dari Krakatau ke Bandar Lampung sekitar45 Km! Efek langsung dari letusan tsb, dua pertiga Gunung Krakatau hilang dari permukaan laut. Sisanya bisa di saksikan pada Pulau Rakata, yg kalau diamati dari dekat tidak berbentuk segitiga lagi sebagaimana layaknya sebuah gunung, tapi sebagian sisinya sudah datar yang berdiri tegak lurus menjulang ke atas dgn bekas aliran lahar di sana.

Setelah sekian lama terjadi letusan, pada tahun 1927,di bekas letusan Krakatau terjadi fenomena baru, yakni munculnya anak gunung Krakatau dari permukaan laut. Tetapi tak lama kemudian anak gunung itu hilang dari permukaan laut hilang ditelan gelombang, sebelum kemudian muncul kembali tiga tahun kemudian. Anak Krakatau dari tahun ke tahun tumbuh semakin besar. Kini tingginya sudah mencapai 230 meter dari permukaan laut atau 530 meter jika diukur dari dasar laut. Pertumbuhan anak Krakatau diperkirakan akan terus bertambah seiring dgn pertumbuhan gunung berapi aktif yg mengeluarkan material dari kawahnya berupa pijaran lava dan bom vulkanik ke udara. Kadang2 letusan kecil masih kerap terjadi. Secara kasat mata, pijaran lavanya sungguh indah dipandang mata dengan warnanya yang beraneka, membuat para wisatawan ingin datang melihat atau mendekat. Namun disisi lain, hal itu juga mendatangkan kekhawatiran pemerintah setempat kalau2 gunung tsb meledak lagi.

Untuk itu, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi secara aktif terus mendeteksi dengan peralatan seismograf agar diperoleh gambaran tingkat keaktifan Krakatau sudah mendekati bahaya atau tidak.Fenomena menarik lain, pada sebagian tubuh anak Krakatau kini mulai rimbun ditumbuhi pepohonan dan dihuni berbagai binatang jenis unggas dan reptil. Keberadaan flora dan fauna tsb, kemungkinan besar dibawa oleh angin, burung atau air laut.

Tak tertutupkemungkinan pula pepohonan itu mulanya ditanam oleh nelayan yg singgah di sana untuk berteduh. Para ahli dari berbagai bidang hingga kini masih aktif memantau pertumbuhan fenomena baru itu.Pertanyaannya kemudian: apakah anak gunung Krakatau bisa meletus lagi seperti induknya dulu? Prof AdjatSudradjat, salah seorang pakar vulkanologi, menyatakan bahwa anak Krakatau mungkin saja meletus lagi meski mungkin membutuhkan waktu yg lama. Untuk menghimpun energi sekuat induknya, menurutnya, dibutuhkan waktu setidaknya sekitar dua abad. Jika dua abad itu dihitung sejak Gunung Krakatau meletus (1883), boleh jadi anak Krakatau akan meletuspada tahun 2083…….. (Masih hidupkah kita?)

Keterangan Foto: Lampu Kapal yang berasal dari kapal yang terdampar akibat letusan Gunung Krakatau ke Bandar Lampung. Lampu itu kini menjadi bagian dari taman kota, yang terletak di Taman Dwipangga, Teluk Betung, BandarLampung
Donny Budiman

Sikap Hidup Orang Batak (Kearifan2 Lokal)

Tiap bangsa atau suku bangsa tentu memiliki falsafahatau pandangan hidup (way of life) yang menjadi landasan ideal yang dipakai untuk menjadi pedoman hidup bersama. Dalam kosmologi Jawa, misalnya, dikenal ada dua dunia,yakni jagad cilik (manusia/individu) dan jagad besar (alam semesta). Kedua jagad tersebut diharapkan dapat bersimbiosis- mutualis (saling menghidupi) dalam suasana damai yang harmonis. Dalam pakeliran wayang hal itu terlihat pada gunungan, yang mengandung arti bahwa alam semesta dan mahluk hidup di dalamnya dapat hidup berdampingan dengan damai. Tak terkecuali dengan suku Batak yang konon terdiri dari 416 marga/keturunan. Mereka memperoleh warisan dari leluhur mereka nilai2 yang dapat menjadi panutandan tuntunan hidup mereka. Hanya sayang, literatur tentang budaya Batak boleh dibilang sedikit,terutama jika dibandingkan dengan literatur budaya Jawa.

Orang mengetahui nilai budaya Batak biasanyadari tradisi lisan saja. Dalam kondisi demikian, tak heran jika pandangan stereotip terhadap orang Batak tumbuh dan berkembang secara simplistis. Orang Batak disimpulkan sebagai berwatak keras, arogan dan kurang toleran, terutama jika dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang mereka geluti yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya, padahal, tidak selalu demikian. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki posisi penting di negeri ini.

Sejarah Suku Batak Leluhur orang Batak sering disebut Si Raja Batak.
Menurut Sitor Situmorang, asal-usul orang Batak danrelasinya dengan langit berdasarkan skema berikut:Putri Batara Guru ---> Ihatmanusia ----> Engbanua -->Si Raja Bonang2 ----> Tantan Debata ----> Si RajaBatak.

Lima generasi keturunan Putri Batara Guru dilukiskan sebagai leluhur berbagai suku bangsa di sekeliling Danau Toba. Si Raja Batak sendiri dikaitkan dengan sejarah pemukiman pertama di kaki Pusuk Buhit yang dihayati sebagai pusat wilayah Toba Na Sae. Raja Batak, konon, adalah anak raja Kerajaan Tulangbawang, yang kini masuk wilayah Lampung Utara. Karena ekspansi Kerajaan Sriwijaya, putra raja ini kemudian melarikan diri disertai beberapa pengikutnya ke utara dan menetap di Pusuk Buhit di bagian barat Danau Toba. Di sanalah ia hidup secara turun temurun, hingga keturunannya yang kini sudah menyebar ke seluruh penujuru dunia.

Dari keturunan Raja Batak, lahirlah garis keturunan yang merupakan ikatan pertalian darah yang kuat dan saling mengikat yang dikenal dengan istilah tarombo(silsilah, garis keturunan, sistem marga atau sistemkekerabatan) .Jika dicermati, asal muasal marga2 Batak adalah Pulau Samosir di Danau Toba. Tak heran jika desa2 di sana memiliki nama sesuai dengan nama marga2 yang ada(Silalahi, Sidabutar, dsb). Sebagai suku bangsa yang menganut sistem patrilinial, oleh penerusnya tarombo selalu diperbaharui dengan cara mendaftarkan/ memasukkan nama anak2nya (khususnyalelaki) sebagai garis keturunan berikutnya.

Dari level keturunan ini pula (dalam budaya Batak kerap juga disebut nomor), seseorang bisa memposisikan dirinya terhadap orang lain. Artinya, dengan tingkatan tersebut ia dapat menyebut/memanggil seseorang dengan sapaan tertentu (Oom/Tulang, Kakek/Opung, dsb).

Falsafah Hidup Orang Batak
Falsafah hidup orang Batak yang dikenal selama ini adalah boraspati (cecak). Falsafah yang bisa dipetik dari cecak yakni dalam kondisi/posisi seperti apa pun (di bawah, di atas atau di samping), cecak selalu menempel/lengket dengan habitatnya. Tafsir boraspati, jika demikian, orang Batak (harus) mudah beradaptasi dan (akan) disenangi olehlingkungannya.

Dalam realitasnya, hal itu terpantul lewat berbagai aspek kehidupan mereka. Perhatikan kala mereka merantau, orang Batak selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya dan hidup berdampingan dengan prinsip saling menghormati. Falsafah boraspati ini kemudian dilengkapi dengan 'juklak' (petunjuk pelaksanaan) yang lazim disebut Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga). Secara fisik,tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris dan kokoh untuk menopangperiuk nasi. Ketiga tungku tersebut harus saling dukung danmerupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap tungku punya fungsi dan makna sendiri. Dalamkekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagaitubu (teman semarga), tungku kedua hula2 (jalur/pihakdari istri), dan tungku ketiga boru (pihak yangmenikahi anak perempuan). Dengan kata lain, mereka adalah Raja ni dongan tubu, Raja ni hula2, dan Raja niboru. Mereka harus hidup saling bekerjasama (salingmenolong) meski dengan cara yang berbeda.Sikap terhadap Raja ni dongan tubu kita harus manat(hati2). Perilaku kita tidak boleh menyinggung mereka.Harus saling bertanya dan mengingatkan. Sikap tersebut dalam tamsil Batak sering dinyatakan sebagai "lembutbak daun pisang, dukung mendukung bagai talas ditebing". Sikap terhadap Raja ni hula2 adalah somba (hormat),dalam arti sepenuh hati menghormati pihak mertua,mengingat dari pihak merekalah diperoleh keturunan.

Dalam adat Batak sikap terhadap hula2 ini sering diibaratkan sebagai "di depan harus dikejar, dibelakang harus ditunggu". Sedangkan sikap terhadap Raja ni boru harus elek(membujuk). Pihak boru tidak boleh pulang dengan linangan airmata sewaktu meninggalkan hula2nya.Artinya, jika toh ada kekurangannya, terimalah ia apa adanya, kemudian dibimbing dan diberi nasehat agar ia hidup bahagia.Relevansi dengan Dunia KerjaDalam kehidupan keseharian terutama dunia kerja,falsafah hidup orang Batak juga dapat diterapkan.

Misalnya sikap terhadap teman sekerja, mereka adalah ibarat dongan tubu kita. Kepada mereka kita harus saling bertanya, tukar menukar informasi, salingbekerjsama dan saling menghormati. Karenanya kita harus berusaha menempatkan diri sebaik mungkin, agar mereka tidak tersinggung karena perilakukita --yang pada gilirannya dapat mengganggu ketenangan kerja.Bagaimana sikap kita terhadap atasan? Kita harusbersikap sebagaimana kepada hula2.

Kita harus bersikap hormat yang tulus dan tidak boleh membantah/melawan. Dalam pekerjaan kita harus bisa mengimbangi apa yangmenjadi keinginan atasan kita. Sementara sikap terhadap bawahan bisa diibaratkan sikap terhadap boru. Kita harus bersikap membujuk danmembimbing. Kita juga harus bisa menampung keluhannyadan menerima segala kekurangan/kelemahannya.

Jika bawahan salah, misalnya, kesalahan mereka tidak harus diungkap semua. Kita harus bijak dan dapat berperan sebagai guru.Kesimpulan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak, sebenarnya mempunyai falsafah hidupyang luhur/tinggi, terutama dalam memandang hidup dikaitkan dengan realitas lingkungan sekitar. Falsafah Boraspati dan Dalihan Na Tolu merupakan sebagian kecil dari kekayaan budaya Batak lainnya.

Masih banyak peninggalan leluhur lain yang layak dipelajari, seperti huruf Batak (yang memilikikeunikan tersendiri), filosofi rumah adat Batak,pustaha/kitab pusaka Batak, kalender Batak, tenunBatak (ulos), dan beberapa bentuk patung yang memilikimakna filosofi tersendiri di dalamnya. Setidaknya, melalui tulisan singkat ini, beberapa kandungan kekayaan budaya Batak mulai terungkap. Tak kenal maka tak sayang.

Donny Budiman

Kisah Cinta Rara Oyi Yang Menghancurkan Kerajaan Mataram

Alkisah di tahun 1580an di tanah Jawa di Kerajaan Mataram. Ada seorang Prabu yang mempunyai 5 orang anak yang berlainan ibu. Si sulung, berasal dari ibu asal Surabya diangkat dengan nama Adpati Anom, dia merupakan Putra Mahkota, calon Raja Mataram. Ia mempunyai adik antara lain Pangulu, Pangeran Puger, Pandada, angeran Singasari, Sundulan, Pangeran Marta Sana dan Wuragil, Den Mas Tapa. Adipati Anom, sejak kecil dipelihara sang kakek Pangeran Pekik Surabaya. Mereka merawat Adipati Anom dengan sayangnya seperti anak sendiri.Suatu hari Sang Prabu memanggil dua Menterinya, Nanya Truna dan Yuda Karti.

Keduanya diutus oleh sang Prabu buat mencari wanita cantik untuk dijadikan selir ke tanah pesisir dan manca negari. Sang Prabu mengungkapkan sebuah rahasia kalau telah mencapai suatu daerah maka kedua Menterinya harus mencicipi sumber air. Kalau airnya harum maka di daerah sana terdapat wanita cantik. Carilah wanita itu.Kedua Menteri itu pergi hingga ke tanah Surabaya. Mereka bertemu dengan Pangeran Pekik, Surabaya. Disana mereka menemukan mata air yang harum. Artinya disana ada wanita cantik. Kedua Menteri ini berkenalan dengan seorang Menteri asal Surabaya yaitu Ngabehi Mangun Jaya.Ternyata Ngabehi Mangun Jaya, mempunyai seorang putri yang masih perawan kencur nan cantik dan mempesona, nama Oyi atau Rara Oyi. Ketika diperkenalkan kepada kedua Menteri ini, mereka sampai melongo, sangat kagum kepada Rara Oyi. Nanya Truna dan Yuda Karti menyampaikan maksudnya kalau mereka diutus sang Prabu untuk mencari wanita buat dijadikan Selir oleh sang Prabu.Ngabehi Mangun Jaya, menyerahkan putrinya ini ketangan Menteri dari Mataram ini. Selanjutnya mereka membawa Rara Oyi ke Mataram untuk diperkenalkan ke Sang Prabu.

Ketika dipertemukan dengan Sang Prabu, ia pun berkenan hatinya dan sangat demen kepada Rara Oyi.Selanjutnya Rara Oyi diserahkan ke Wira Reja untuk dipelihara hingga tiba waktunya untuk diambil oleh sang Prabu untuk dibawa ke Kedaton.Cari JodohSuatu hari, sang Prabu memanggil Adipati Anom, Putra Mahkota Mataram untuk mencari jodoh. Sudah waktunya seorang Pangeran Kerajaan mempunyai pendamping. Ia menyurung Adipati Anom ke tanah Cirebon karena Adipati Cirebon mempunyai seorang Putri yang cantik dan pantas jadi pendamping Adipati Anom.Adipati Anom mematuhi saran sang Prabu. Ia berangkat ke tanah Cirebon dan bertamu ke rumah Adipati Cirebon. Adipati Anom mengakui kecantikan Putri sang Adipati Cirebon. Hanya saja sifat sang Putri yang judes dan sok berani dengan laki-laki membuat Adipati Anom kurang berkenan.Sampai akhirnya sang Adipati Anom mampir ke rumah Wira Rejan. Disana ia bertemu dengan Rara Oyi yang sudah tambah dewasa, semakin cantik, kulitnya langsat, tinggi semampai, raut mukanya menawan da gerak-geriknya mempesona.Baik Rara Oyi maupun Pangeran Adipati Anom ketika bertemu saling terkejut. Bahkan Adipati Anom sampai hatinya berdebar-debar, panas-dingin badannya dan menjadi kasmaran. Adipati Anom segera bertanya kepada Wira Reja,” Siapakah anak perempuan itu?”Wira Reja menjelaskan kepada Adipati Anom kalau anak perempuan itu merupakan simpanan Sang Prabu, ayahanda dari Adipati Anom. Kelak akan dibawa ke Kedaton untuk disunting.Mendengar penjelasan itu malah membuat gairah asmaranya semakin menyala-nyala. Ia pulang ke Istana dan langsung sakit asmara. Tidak mau keluar dari kamarnya. Emban dari Adipati Anom mengetahui sakit asmara ini. Ia melaporkan kepada sang kakek, Pangeran Pekik, Surabaya.

Mempersunting Rara OyiMengetahui sakit asmara dari cucu kesayangannya, Adipati Anom, Putra Mahkota kerajaan Mataram ini. Pangeran Pekik beserta istrinya, Nyi Pandan pergi ke rumah Wira Reja. Mereka meminta Wira Reja untuk menyerahkan Rara Oyi untuk dipersunting oleh Adipati Anom.Permintaan itu ditolak oleh Wira Reja karena takut murka Sang Prabu tapi Pangeran Pekik tetap memaksa dan sanggup bertanggung jawab atas murka Sang Prabu. Bahkan ia siap dihukum mati oleh Sang Prabu Mataram.Singkat ceritanya, dipertemukanlah Adipati Anom dengan Rara Oyi. Sakit kasmaran sang Adipati Anom lekas sembuh. Ia berterima kasih kepada sang kakek, Pangeran Pekik, Surabaya. Segera Rara Oyi di gendong Adipati Anom ke tempat tidur dan melampiaskan hasrtanya.Murka Sang PrabuHingga pada suatu hari, Sang Prabu memanggil Wira Reja. Ia menanyakan Rara Oyi, wanita titipannya. Wira Reja melaporkan apa adanya mengenai Rara Oyi dan Adipati Anom. Mendengar cerita itu, Sang Prabu sangat murka.Ia memerintahkan untuk membunuh Pangeran Pekik bersama sanak keluarganya yang berjumlah 40 orang. Wira Reja diusir ke Prana Raga beserta keluarganya.

Disana seluruh keluarga Wira Reja dibunuh.Pangeran Adipati Anom dipanggil Sang Prabu ke Kedaton. Disana ia diperintahkan oleh Sang Prabu untuk membunuh istri tercintanya, Rara Oyi dengan tangannnya sendiri dan memakai kerisnya sendiri. Jika tidak mau maka Adipati Anom akan dibuang dan dianggap bukan anaknya.Dengan perasaan hancur dan sakit hati. Pangeran Adipati Anom memangku Rara Oyi dan dibunuh dengan kerisnya sendiri. Setelah mendengar matinya Rara Oyi, Sang Prabu mengusir Adipati Anom dari Kadipaten ke Lipura. Kekayaan Adipati Anom dijarah dan istananya dibakar habis. Sejak saat itu sifat Sang Prabu berubah, ia menjadi pemarah, gemar menyiksa orang, melakukan maksiat. Ia menjadi kejam kepada siapapun yang tidak disukainya.Balas DendamWalaupun kesalahan Adipati Anom telah diampuni Sang Prabu dan harkatnya sebagai Putra Mahkota Mataram dipulihkan tapi hati sang Adipati Anom masih menyimpan dendam dan ingin menyingkirkan Sang Prabu yang mulai menyengsarakan rakyat Mataram.Pangeran Adipati Anom mulai menyusun kekuatan. Ia pun menghubungi eyangnya, Pangeran Kajoran. Mereka bersepakat menggulingkan sang Prabu untuk memulihkan Mataram. Pangeran Kajoran memberikan rekomendasi kalau pemimpin pemberontak akan dipegang oleh mantunya yang punya kesaktian yaitu Raden Truna Jaya, keturunan Madura.Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Kajoran memanggil Raden Truna Jaya. Disampaikanlah misi rahasia kalau Raden Truna Jaya akan dijadikan wayang untuk membedah Mataram. Raden Truna Jaya menyanggupinya. Ia segera pergi ke Madura untuk menyusun kekuatan.Penyerbuan Orang MakasarSuatu ketika tanah Jawa diserbu oleh orang Makasar dibawah pimpinan Kraeeng Galengsong. Sebanyak 2000 orang Makasar menyerbu tanah Jawa dan merusak dan menjarah daerah pesisir. Malah bala tentara Mataram tidak sanggup menghadapi orang Makasar ini,Mendengar sepak terjang pasukan Kraeng Galengsong ini, Raden Truna Jaya mengadakan kesepakatan untuk membedah Mataram. Aksi gabungan orang Makasar, Madura dan Pesisir Jawa membawa kehancuran Mataram.

Bahkan ibukota Mataram dihancurkan oleh Raden Truna Jaya. Hal ini membuat Sang Prabu dan Pangeran Adipati Anom mengungsi.Sang Prabu memaksa Pangeran Adipati Anom untuk menghubungi Kompeni, Belanda dan meminta bantuan mereka untuk mengalahkan Raden Truna Jaya. Sedangkan Raden Truna Jaya yang berjaya membedah Mataram, lupa akan perannya. Ia berambisi menjadi Raja di tanah Jawa.

Pembalasan Adipati AnomKekalahan Mataram membuat Sang Prabu wafat. Pangeran Adipati Anom menjadi Prabu di Mataram. Ia bermufakat dengan Kompeni, Belanda melawan Raden Truna Jaya. Ternyata di pasukan Kompeni, ada seorang perwira asal Makasar. Perwira Kompeni ini adalah kakak kandung dari Kraeng Galengsong.Kemudian diadakanlah kontak rahasia dengan Kraeng Galengsong. Ia diminta untuk membelot dari Raden Trunajaya dan membela Mataram dan Kompeni, Belanda.. Berhubung yang memintanya adalah kakak kandungnya sendiri maka Kraeng Galengsong memenuhinya.Raden Truna Jaya diserbu oleh Mataram, Kompeni, Belanda di Kediri. Disana ia juga dibokong oleh orang-orang Makasar.

Akibatya pasukan Raden Truna Jaya hancur. Ia pun melarikan diri ke gunung Antang bersama keluarganya.Pangeran Adipati Anom membujuk Raden Truna Jaya untuk turun gunung dan bertemu dengan dirinya. Raden Truna Jaya bersedia menghadap. Disanalah Raden Truna Jaya menemui ajalnya di tusuk oleh keris sang Raja yang diikuti oleh keris para Bupati lainnya.Raja memerintahkan para Bupati untuk memakan mentah-mentah hati Raden Truna Jaya. Selain itu kepala Raden Truna Jaya dipacung dan dijadikan keset kaki. Esok paginya kepala Raden Truna Jaya di taruh di deplok dan dilumpang (ditumbuk) hingga hancur lebur.

Sejarah Yang Kita Peroleh
Dari kisah Rara Oyi ini didalamnya ada gugatan sejarah terhadap seorang Pahlawan Indonesia. Ia adalah Raden Truna Jaya atau Teruno Joyo. Kita mengenalnya dalam sejarah yg kita terima sejak SD-SMA dulu kalau Raden Truna Jaya adalah Pahlawan mengusir penjajah.

Tapi berdasarkan Babad Tanah Jawi. Raden Truna Jaya adalah penghianat Kerajaan Mataram yang melakukan konspirasi denga Putra Mahkota Mataram (Pangeran Adipati Anom) untuk mengkudeta Raja Mataram yang sah.Toh, ia juga menghianati Pangeran Adipati Anom (kawan konspirasinya) dengan berambisi jadi Raja di tanah Kediri. Ia melawan Belanda bukan untuk mengusir Kompeni dari Tanah Jawa tapi terpaksa melawan karena Adipati Anom membawa Kompeni untuk mengalahkannya.

Babad Tanah Jawi Cerita diatas diambil dari buku Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Buku ini terjemahan dari buku yang berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doenmoegi ing Taoen 1647 yang disusun oleh W.L. Olthof di Leiden Belanda tahun 1941. Buku Babad Tanah Jawi ini diterbitkan oleh Penerbit Narasi. Membaca cerita sejarah Babad Tanah Jawi ini agak merinding juga bak membaca cerita karya Shakespeare, Mario Puzo dan lainnya. Kisah kepahlawanan, percintaan, perselingkuhan, penghianatan, semuanya jadi satu disini.
donnie123s ludi hasibuan

Silsilah Para Rasul


Kosasih Rachmat

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia!!!

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir.

Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Konteks Indonesia Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus.

Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda. Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran." Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia.

Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali. Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki.

Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau. Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.

Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D.
Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis

Soekarno berdasi merah



Lukisan Soekarno berukuran kurang lebih 80x120cm ini seolah mempunyai daya magis yang membuat Ryas, anak pembantu berusia 10 tahun di rumah Bapak, selalu menundukkan kepalanya setiap melewati lukisan ini. Memang, dalam lukisan ini Soekarno tampak berbeda dari sosoknya yang tampan yang biasa kita lihat. Basoeki Abdullah melukiskan Soekarno sebagai seorang yang heroik, tangan terkepal ke atas dan dasi merah menjadi suatu pernyataan tegas mengenai kemerdekaan Indonesia yang tidak bisa ditawar. Menurut Bapak, ini lah satu-satunya lukisan Soekarno yang memperlihatkan semangat dan heroismenya.

Lukisan ini dibuat pada saat Soekarno berpidato dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada tanggal 19 September 1945.http://www.sinarharapan.co.id/berita/0509/19/sh05.htmlBasoeki Abdullah menggunakan tripleks sebagai medium karena tidak ada kanvas. Di antara lebih dari 40 lukisan koleksi Bapak, lukisan Soekarno ini adalah yang paling disukainya dan tidak akan pernah diberikan atau dijual kepada orang lain. Hal ini mungkin tidak lepas dari kekaguman Bapak terhadap Soekarno yang selalu dilukiskannya sebagai "the great man". Dalam lukisan koleksi Bapak lainnya, Soekarno digambarkan oleh Basoeki Abdullah sebagai pemuda tampan nan berwibawa, tetapi tidak garang.Bapak memang sangat mengagumi Soekarno, tetapi tidak bisa secara sederhana dikategorikan sebagai "Soekarnois" seperti yang sering dikatakan orang. Dari cerita-ceritanya, saya melihat Bapak sebagai orang yang rasional, melihat sesuatu secara proporsional. Ini juga yang membuatnya bisa membedakan antara sikap politik seseorang dan pribadi orang tersebut. Ketika Omar Dhani dipenjara, Bapak setia menyambangi beliau. Dengan mata berkaca-kaca ketika datang melayat Omar Dhani mengatakan "He is my true friend".

Bapak juga rajin mengirimkan bingkisan kepada Jusuf Ishak selama ia ditahan di pulau Buru.Sikapnya yang proporsional itu pula yang membuat Bapak masih "dipakai" di masa-masa awal Orde Baru. Pengabdiannya adalah untuk Indonesia, bukan untuk seseorang. Begitu sang penguasa mulai melenceng, Bapak pun mengambil sikap tanpa rasa takut. Ia tidak ragu untuk bertemu dan berkawan dengan orang-orang yang pada suatu saat dikategorikan dalam daftar hitam. Bersama Ali Sadikin pada pertengahan tahun 1997 Bapak dipanggil ke Kejaksaan Agung berkaitan dengan peredaran buku karya Soebadio Sastrosatomo "Era Baru Pemimpin Baru".

Setelah selesai pemeriksaan Bapak ditawari makan siang tetapi ditolaknya dengan berkata "Saya lebih suka pulang daripada menginap di sini". Rupanya sudah ada preseden sebelumnya di mana makan siang hanya menjadi umpan untuk penahanan seseorang.Dharmawan, suami saya, punya cerita menarik tentang Bapak dan Soeharto. Tahun 1985 Irawan, adik Dharmawan, akan melangsungkan pernikahan dengan Dhanny Dahlan. Sebagai pasangan yang saat itu cukup dikenal publik mereka ingin mengadakan resepsi pernikahan yang besar, sesuatu yang sebetulnya sangat tidak sesuai dengan karakter Bapak. Tetapi ia tidak bisa melawan kehendak putra bungsunya ini. Keributan mulai terjadi pada saat penyusunan daftar undangan, sampai-sampai Bapak harus menitikkan air mata. Irawan ingin mengundang Soeharto, sementara Bapak berkeras agar Soeharto tidak diundang. Alasannya sangat sederhana: kalau Soeharto datang maka sahabat-sahabat Bapak yang masuk dalam daftar "musuh" Soeharto tidak akan bisa datang. Kali ini Bapak menang, Soeharto tidak diundang.
Louisa Tuhatu

Pahlawan tanpa Kontroversi

Berpulangnya Jusuf Ronodipuro dua jam sebelum wafatnya Soeharto lebih sunyi dari keributan pers. Dia pahlawan tanpa cacat cela.

Di bawah ancaman senjata api, bendera Merah Putih itu berkibar-kibar di depan kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Seorang pemuda Indonesia yang keras kepala dan keras hati sama sekali tak cemas terhadap ancaman Belanda. Yusuf Ronodipuro, pimpinan RRI, menolak menurunkan apa yang mereka sebut Sang Saka Merah Putih, yang berkibar setelah Soekarno dan Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Peristiwa ini kemudian menggerakkan hati Saridjah Niung Bintang Soedibio, lebih populer dengan nama Ibu Sud, untuk menulis lagu Berkibarlah Benderaku.

Keberanian Yusuf menyebarkan dan menyiarkan berita proklamasi itu menjadi inspirasi banyak pemuda saat itu. Dan pada Ahad dua pekan silam, di tengah ingar-bingar masyarakat dan pers tentang mantan presiden Soeharto, nun di Rumah Sakit Angkatan Darat, Jusuf Ronidipuro seorang pahlawan—tanpa harus melalui kontroversi—mengembuskan napas hanya dua jam sebelum Soeharto wafat.

Lahir pada 30 September 1919, Jusuf adalah salah satu saksi penting saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Syahdan, pada 17 Agustus dinihari, demikian tutur sejarahwan Rushdy Husein kepada Tempo, naskah proklamasi sudah diketik, siap ditandatangani Soekarno dan Hatta. Tetapi naskah itu kemudian digandakan oleh pemimpin kantor berita Domei (kini bernama Antara) dan didistribusikan kepada Sjahrudin, seorang wartawan senior Antara.
”Karena gedung RRI—yang waktu itu bernama Hozokyoku—masih diduduki Jepang, Sjahrudin masuk dengan lompat pagar belakang,” kata Rushdy. Sayang, gerak Sjahrudin tertangkap penjaga. Untung saja, naskah yang diberi memo ”harap siarkan” oleh Adam Malik itu ditemukan Jusuf. Dengan menyisipkan berita itu di segmen berita internasional, setelah pukul enam sore Jusuf menyiarkan berita proklamasi itu tanpa ragu.

”Republik Indonesia telah merdeka sejak pukul 10 tadi pagi!” pekik Jusuf, seperti yang ditirukan Rushdy. Kemudian Jusuf membacakan naskah proklamasi sesuai dengan naskah yang sudah ditulis dan dinyatakan pada pagi harinya.

Tak lama kemudian, Jusuf dan rekannya Bachtar Lubis—kakak sastrawan Mochtar Lubis—menikmati buka puasa. Pada saat itulah pasukan Jepang menendang pintu kantor itu dengan murka. ”Pasukan Jepang menyiksa mereka berdua dan menginjak-injaknya,” kata Rushdy. Akibat siksaan itu, kaki kanan Jusuf cacat seumur hidup.

Bagi Jusuf, sejarah sangat penting. Itulah sebabnya, pada 1950, Jusuf meminta Soekarno, yang sudah menjadi presiden, merekam pembacaan naskah proklamasi sesuai dengan aslinya. ”Rekaman itulah yang kita nikmati hingga saat ini,” tutur Rushdie.

Pada masa Orde Baru, Jusuf lebih banyak berkecimpung di dunia diplomasi. Menurut Juwono Sudarsono, ketika Jusuf menjabat Kepala Biro Penerangan Kedutaan Indonesia di Washington, dia adalah orang pertama yang berkomentar tentang terbunuhnya Presiden AS John F. Kennedy pada 1963. ”Menurut Pak Jusuf, Indonesia kehilangan tokoh yang bersimpati pada Indonesia,” kata Juwono kepada Tempo. Jusuf agaknya yakin, hubungan Indonesia dan AS bisa lebih mesra seandainya John F. Kennedy tidak terbunuh. Pada 1972, Jusuf dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Argentina.

Pada masa senjanya, Jusuf dihajar oleh stroke, yang kemudian disusul oleh vonis kanker paru-paru yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit. Pada Ahad itu, di usianya yang ke-88, Jusuf tak hanya meninggalkan seorang istri bernama Siti Fatma Rassad, tiga anak, dan tujuh cucu, tetapi seluruh masyarakat Indonesia yang berutang besar kepadanya karena kegigihannya menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui corong RRI. Kepergiannya jauh dari riuh-rendah dan bunyi dentam kebesaran; tetapi gelar pahlawan dan pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk Jusuf tak akan pernah dipertanyakan, apalagi dipersoalkan.

Leila S. Chudori dan Reza M.
Majalah Tempo
Edisi. 50/XXXVI/04- 10 Februari 2008

Cara Beda To Mimala Memaknai Yang Esa

Belakangan ini, tampak ada yang beda dengan pelaksanaan ritual ajaran To Mimala di dusun Kaleok desa Batetangnga, Kec. Binuang, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Sebelumnya, ritual selalu dilakukan di tempat tertutup dan hanya boleh diikuti oleh para penganutnya saja, namun akhir-akhir ini tidaklah demikian. Mereka menyelenggarakannya di tempat terbuka dan boleh diikuti orang luar. Sebuah prosesi yang tak lagi tertutup.

Biasanya, ritual To Mimala dilakukan di hutan, sungai, batu dan kuburan. Dalam ritual, salah satu prosesinya adalah, memotong ayam. Darah ayam itu lalu ditampung dalam wadah-wadah yang sudah dipersiapkan sebelumnya; satu ekor satu wadah. Lalu, darah diminum separuhnya dan sisanya dibakar dalam daun pisang. Hasil pembakaran itu kemudian diberikan kepada sang pemilik hajat. Sementara sebagian sesajen lainnya digantung di rumah, di kebun, atau sawah –bergantung dari niat yang melakukan ritual To mimala.

Apa yang melatari dari perubahan ini? "Ritual dilakukan dengan terang-terangan karena orang luar semakin hari membuka lahan dan pemukiman baru di wilayah Kaleok," tutur Ami, salah seorang penganut ajaran To Mimala. Karenanya, tambah Ami, tidak adanya tempat yang tak diketahui orang umum, membuat ritual dilakukan terang-terangan.

Mengenai nama To Mimala sendiri mengandung arti beragam. Kata "To", dalam pengertian luas, adalah manusia sempurna atau orang yang paling di atas. Sedangkan kata "Mimala" bermakna alam. Mimala, juga kadang diartikan sebagai persembahan sesajen kepada dewata, penghargaan terhadap alam semesta, dan penolak bala'. Ritual To Mimala sejatinya diperuntukkan kepada SangBarata, Sang Pencipta alam semesta.

Dikejar-kejar
Karena dianggap musyrik, penganut ajaran To Mimala selalu dikejar-kejar oleh kelompok yang tidak menginginkan keberadaan mereka. Hingga kini, jika ketahuan melakukan ritual To Mimala, akan dibubarkan oleh warga dari Kampung Bawah. Inilah alasan mengapa ajaran yang satu ini sulit berkembang dan penganutnya kian hari kian menyusut.

Jika merunut sejarahnya, maka penganut To Mimala sebenarnya kenyang pengalaman soal bagaimana dia selalu dikejar-kejar dan diperlakukan layaknya komunitas "terlarang" karena ajarannya dianggap menyimpang dari Islam. Di tahun 1960-an mereka pernah dirazia oleh DI/TII, pimpinan Kahar Muzakar. Ceritanya, saat itu karena DII/TII diberantas oleh TNI 710 Diponegoro, mereka melakukan taktik gerilya dengan masuk ke hutan-hutan. Dan, salah satu hutan yang menjadi tempat gerilya adalah di desa Batetangnga, tempat To Mamila berada.
Karena melihat ritual To Mimala yang menyembah selain kepada Tuhan, anggota DI/TII lantas merazia dan membumihanguskan tempat tinggal para penganut kepercayaan tersebut. Mereka juga ditodong dan dipukul, hingga ada yang sampai tak sadarkan diri.

Razia DI/TII, membuat penganut ajaran To Mimala menyingkir ke pegunungan di sebelah utara Batetangnga. Pilihan tempat ini karena banyak terdapat batu-batu besar, sungai, atau pohon besar yang biasanya menjadi tempat ritual. Pengejaran itu pula lah yang juga tampaknya membuat penganut kepercayaan To Mimala merahasiakan diri saat melangsungkan sembahyang.

Padahal, sebagaimana kata H. Tima', pohon, misalnya, bukanlah untuk sesembahan melainkan hanya medium saja. Karena yang disembah esensinya adalah Tuhan Yang Esa. Ini hanyalah cara serta bukti untuk melestarikan alam.

Senada dengan hal di atas, Simba, tokoh pemuda To Mimala, menegaskan bahwa niat bagi To Mimala melakukan sembahyang dengan ritual itu, muncul dari dalam hati seseorang tanpa ada paksaan. "Apapun, kalau niatnya salah, maka yang ia sembah adalah setan," ungkap Simba. Jadi, "Yang menentukan apa yang diniatkan orang dalam sembahyang adalah orang itu sendiri."
To Mimala sendiri, dalam ajarannya justru begitu toleran. Ini dibuktikan dengan adanya batu Sumandilo. Batu yang berada di Kaleok ini adalah batu persahabatan agama-agama. Batu Sumandilo, dibagi dalam tiga potongan. Di bagian depan, batu disimbolkan agama Islam, bagian tengah disimbolkan agama Kristen, dan bagian belakang adalah Aluk Todolo atau kepercayaan To Mimala.

Saat Islam datang di Kaleok, justru berakulturasi dengan kepercayaan To Milama. Hal itu bisa dilihat saat berlangsungnya prosesi upacara-upacara adat, seperti kematian, pesta kawin, dan Maulid Nabi Muhammad saw dengan membuat syair (cakkiri). Cakkiri, adalah syair yang menggunakan dialek Pattae (salah satu etnis desa Batetangnga) yang dicampur dengan dialek Arab. Sebagian liriknya juga menggunakan bahasa Arab meski tidak terlalu pas dengan kaidah dan pelafalan huruf abjad arab. Isinya, memuji Nabi Muhammad dan ke-Esa-an Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi haji Tima', To Mimala tidak berbeda dengan Islam. To Mimala juga percaya bahwa Tuhan itu satu. Tuhan tidak beranak dan tidak bisa dirasionalkan. Mungkin yang membedakan hanyalah kitab sucinya. To Mimala menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan ajaran yang dikenal dengan ampe-ampena todolo.

Tima' sendiri, sebagaimana juga mayoritas umat Islam lainnya, mendamba naik haji. Maka, ia pun ketika memiliki rezeki pergi ke tanah suci. Meski berhaji, kepercayaannya terhadap To Mimala tak luntur. Seusai naik haji, ia tetap melakukan ritual To Mimala, memberi sesajen pada pohon dan batu sebagai bagian dari cara mereka menyatu dengan alam.
Desantara Report

Sejarah Penyerangan Jepang ke Hindia Belanda pada 1942

Ada satu pertanyaan saya waktu SD dulu: Kenapa koq belanda gampang banget dikalahkan jepang pada tahun 1942 itu ? padahal kan mereka bercokol selama ratusan tahun di belahan bumi hindia belanda.

Pertanyaan saya terjawab dalam sebuah buku tahun 60an, berikut kisahnya.

ON DECEMBER 7, 1941, came the treacherous attack of Japan on Pearl Harbor. Immediately afterwards the Netherlands government in London declared war on the Japanese Empire. In his announcement of this decision, Governor General A. W. C. Tjardavan Starkenborgh Stachower said:"People of the Netherlands East Indies: In its unexpected attack onAmerican and British territories, while diplomatic negotiations werestill in progress, the Japanese Empire has consciously adopted acourse of aggression. These attacks which have thrown the UnitedStates of America and the British Empire into active war on the sideof already fighting China, have as their object the establishment ofJapanese supremacy in the whole of east and southeast Asia.

The aggressions also menace the Netherlands East Indies in no smallmeasure. The Netherlands Government accepts the challenge and takes uparms against the Japanese Empire.

"Full mobilization of the army was ordered immediately and defenseforces were sent into the Outer Possessions to guard against attacks.The Netherlands East Indies army was estimated at a strength of about100,000-125, 000 men, including home guards and militia. The nucleus ofthe army consisted of professional soldiers, many of them Amboyneseand Menadonese. All able-bodied Netherlanders in the Netherlands EastIndies had been conscripted about a year earlier.

By a law of July 11,1941, conscription had been extended to the native part of thepopulation as well, but through lack of equipment and some hesitancyon the part of the government, only small contingents of this nativemilitia were inducted into the army towards the end of October, 1941.Good progress had been made with the mechanization of the army whilethe air force consisted of about 250-300 planes, many of them,however, almost obsolete. Much equipment that had been ordered did notarrive on time in the Indies.The greatest part of Duch naval strength, consisting of five cruisers,seven destroyers, over twenty submarines and a number of smaller craftwas concentrated in the Indies.When the war with Japan broke out, all Japanese citizens were internedimmediately. The interned group consisted of 1069 Japanese, 301Formosans and 25 suspect Europeans.The Netherlands East Indies Army planes went to the aid of the Britishin Malaya while Naval units were despatched to Singapore: on December13 naval forces sank four Japanese army transports off the coast ofThailand, while, from then on, news about the sinking of Japaneseships became almost a daily item.

The Indonesian political parties issued a statement in which theyurged the people "to render all possible assistance to the governmentin maintaining order and to keep calm."Occasional Japanese air attacks were the only enemy activity whichreached the Netherlands Indies in the first period.On January 10, 1942, the all-out war on the Indies was started whenthe Japanese launched a full-fledged attack on the Island of Tarakan,off east Borneo, and on three different parts of the Minahassa, the"northern arm" of Celebes. Dutch army and air forces put up strongresistance and damaged several Japanese naval units. The Dutch werequite aware that the odds were strongly against them, but destructionof oil installations and other equipment was carried out according toplan.Bombing attacks on several points of the Archipelago in-creased inintensity with the naval base of Ambon as one of the main targets.Parachutists succeeded in completing the conquest of the Minahassawhere infiltration had also been used with some success. Dutch andAustralian air forces gave a good account of themselves, and Japaneselosses were reported at that time to have been heavy.A great success was achieved by air attacks on January 23 on enemynaval and transport concentration in Makassar Straits, between Celebesand Borneo. Twelve direct hits were scored on eight Japanese warshipsand transports.

Next day, several transports of the same large convoywere sunk. Attacks on ship concentrations near Balikpapan in Borneowere also successful.American air and naval forces joined in the various attacks andachieved considerable results with torpedo attacks and bombings.On January 25, landings on Borneo and at Kandari, in Southern Celebes,took place.Naval and air resistance to the Japanese invasion continued to inflictserious damage but land resistance was whittled down quickly in mostcases by the superiority of the Japanese in numbers and equipment.Resistance of Netherlands East Indies troops around Balikpapancontinued for some time while the scorched earth policy was carriedout completely in most regions. Ambon also became the subject of aconcentrated attack, while fighting in Celebes continued throughoutJanuary.In the beginning of February air attacks on Java increased inintensity.

By that time Borneo was largely in Japanese hands althoughresistance in the interior continued. Naval activities around Ambonresulted in the sinking of several Japanese cruisers, as well as of adestroyer and a submarine.On February 14, heavy raids on Palembang, Sumatra, took place whichwere followed by the landing of paratroops asthe Japanese were eager to stop the demolitions of the oilfields. Theysucceeded in preventing some of the demolitions, but most of them hadbeen carried out successfully. Around the middle of February fightingaround Palembang as well as on Celebes continued.On February 19, when the Japanese had surrounded Java on all sides,the first reports came in of the arrival of detachments of British,American and Australian troops, however, only in very small numbers.The occupation of Bali caused the Japanese several naval losses.Air raids continued to be successful and the "ship a day" tradition ofthe Dutch was kept up pretty well. Official figures on the number ofJapanese ships sunk are still not available.On February 27, strong Japanese formations were reported to beapproaching Java. They were attacked repeatedly by Allied squadrons.On the 28th, the first phase in the battle of Java opened whenJapanese invasion troops established three beach heads on the northcoast.In this period the Dutch navy, with the naval forces of some of itsAllies, played an heroic role. When the news of the attack on Balicame, Admiral Karel Doorman raced his small fleet to the South Cape onBali, and, in the dark of night, they made a daring attack on theJapanese fleet, the cruiser "De Ruyter" leading, followed by the"Java" and the "Piet Hein," with Dutch and American destroyers makingup the rear. When, by firing star shells, the "De Ruyter" could seethe enemy, she was too close to train her guns properly.

But the"Java" had that chance while the "Piet Hein," coming up astern, caughtthe withering fire of the 8-inch guns.Later in the night, a similar attack was made by four Americandestroyers and the "Tromp." The Japanese took heavy punishment thatnight in Bandia Strait, but the small fleet of Admiral Doorman wasfurther depleted. He was left with the "De Ruyter," the "Java," thedamaged "Houston," the "Perth" and the "Exeter."On February 26, this fleet was looking for the enemy around MadoeraIsland. Finally at 4 o'clock, when they were racing northward, the "DeRuyter" sighted the enemy. She opened fire immediately, and in thebeginning Allied gunnery was good although the Japanese guns outrangedthem. One Japanese destroyer was hit, but the "Exeter" was put out ofaction. The destroyer "Kortenaer," trying to cover her limpingretreat, was hit by a torpedo and broke in two. A little later theBritish destroyer "Electra" fell victim to a Japanese torpedo also.However, in this stage of the encounter, three Japanese destroyerswere sunk.Admiral Doorman in an effort to break off the struggle in which he wasso hopelessly outnumbered, tried to find the convoy where he could domore damage. He failed, and later at night he came once more upon theenemy fleet. With all guns blazing, his small force, now entirelywithout destroyer protection, went into action. Then he flung hisforce sharply around, but it was too late: torpedoes caught the "Java"as well as the "De Ruyter" and both went down into the blazing sea.The Allied navy had done all it could to prevent the Japaneselandings, and nothing was left to do except the blowing up of allshore installations.The invasion of the Japanese army was resisted valiantly by theNetherlands East Indies army, reinforced with American, Australian,and British units but the battle was hopeless from the beginning anddemoralization set in at an early stage. The air force continued itsattacks as long as possible but its strength was wearing down rapidly.The Japanese fanned out from their three beachheads and succeeded inmaking pretty steady progress.On March 3, the Allied Commander, General Archibald P.

Wavell, leftJava for British India, leaving the command of the Allied forces inthe hands of the Dutch.On the same day, it was admitted that air control had passed into thehands of the enemy.From that time on, fighting spread throughout the island withouttaking on a definite front line. The situation had become hectic, andcoordination between the defenders was more or less lost.On March 6, Batavia was evacuated and the government moved to Bandoengwhere the last ditch defense was being organized.The complete control of the air made Allied troop movementspractically impossible. On March 7, the northern defenses of Bandoengwere cracked, and the situation was admittedly critical. On March 8,the official radio station at Bandoeng sent its last message: "We arenow shutting down. Goodbye until better times. Long live the Queen."Except for guerilla activity in the outlying possessions, and for someparts of New Guinea, which were not occupied by the Japanese, theentire archipelago was in the hands of the enemy.The Japanese were surprised about these things in the NetherlandsIndies: the European population had stayed behind except for a fewhigh officials whom Governor General van Starkenborgh Stachouwer hadsent away in the interests of the country; there was order in thearchipelago; the population on the whole was loyal to the Dutch.As the Japanese regarded the Westerners as the leaders of the East,they began by interning all Europeans and by removing all Dutch signs.The interned Europeans were given small rations but receivedconsiderable aid from the Indonesians and the Chinese.The Japanese started by prohibiting all political activity but onMarch 9, 1943, they founded the "Poetera," intended as theall-embracing political party. This organization lasted only one yearand was replaced by the Djawa Hoko Kai, or- ganizing the Indies as asection of Greater East Asia. The organization was on a cooperativebasis, and only those who were members received the materials neededfor their occupations. Soekarno was a leading figure in the "DjawaHoko Kai."

cpatriawgmail

Pejuang Indonesia yang membantu kemerdekaan Belanda dari Tangan Jerman

1939-1940 , pasukan Jerman menguasai Belanda. Pemimpin kerajaan termasuk Ratu Belanda terpaksa harus mengungsi ke Inggris dan kemudian Kanada. Banyak pejuang Indonesia yang 'tertahan' di negeri Belanda, terutama di Leiden sebagai pusat perjuangan Perhimpunan Indonesia yang dibentuk Hatta cs pada 1920an.1942 Belanda menyerah kepada Jepang.

Gubernur Jenderal Belanda TJARDA VAN STARKENBORGH ( http://www.engelfri et.net/Aad/ NedIndie/ ggtjarda. jpg ) kemudian menyerahkan "Indonesia" ketangan Jepang. Pemimpin Indonesia dibebaskan. Soekarno dibebaskan dari Flores. Hatta , Sjahrir dan Tjipto Mangunkusumo dibebaskan dari Banda Neira dan dipindahkanke Sukabumi. Des Alwi ikut juga mengikuti "Om Sjahrir" dan "Om KatjaMata", panggilanya terhadap Mohammad Hatta.

Sedangkan sebagian tahanan tahanan Belanda lainnya di Boven Digul, dikirim ke Australia.Pada maret 1945, muncul berita dari radio bawah tanah tentang kekalahan Jepang di Iwo Jima dan tentara Sekutu maju pesat posisinya menuju Okinawa, dan berakhirnya perang dunia kedua di Eropa setelah Berlin dikuasai Tentara Russia.Lalu pada Empat May 1945 tentara Jerman menyatakan menyerah di negeri Belanda. Sewaktu PD II, Belanda banyak meluncurkan perlawanan bawah tanah terhadap anti-fascist Jerman yang dalam perjuanganya ternyata banyak mendapatkan bantuan dari orang orang Indonesia yang tertahandi negeri Belanda.

Group ini dinamakan "Liaison COmmition', group ini yang nanti di kemudian hari bertugas menyiapkan reformasi negeri Belanda sesudah perang.Karena perang sudah selesai, Komposisi pejuang bawah tanah "Liaison COmmition' bisa diumumkan kepada publik. Ketuanya ternyata adalah Prof WIllem Schermerhorn, anggota dari Partai Buruh Sosial Belanda(SDAP), Ia adalah seorang ahli potograpi yang dulunya sudah lama bertugas di Indonesia. Selain itu ada tokoh seperti Setiadjit Soegondo, beliau ini adalah kawan Hatta dan Sjahrir sewaktu Perhimpoenan Indonesia aktif di Leiden. Ada juga tokoh P.J. Schmidt, mantan ketua dari partai sosialist independen/ OSP, dan tadinyapenulis 'De Socialist'. Karenanya ia juga merupakan teman dari Sal Tas, Jacques De Kadt, os Riekerk dan Soetan Sjahrir.Pada phase selanjutnya, WIllem Schermerhorn ini nanti menjadi PM Belanda dan berunding dengan Soekarno dalam Perjanjian Linggardjati.Sedangkan tokoh-tokoh seperti Schmidt dan Sal Tas, beliau beliau ini juga bukan orang baru dalam perjuangan 'East Indies' atau Indonesia. Malahan tokoh-tokoh dari Partai Buruh dan Sosialis inilah yangsudah sejak lama mendesak Pemerintah Kolonial Belanda (pre-PD 2) untuk memberikan kemerdekaan atau self-government kepada Indonesia (East Indies Waktu itu). Hubungan Sjahrir dengan tokoh-tokoh ini sangat kental sekali, tulisan Sjahrir beberapa kali dimuat di 'De Socialist'. Mereka saling punya interaksi kuat satu dan lainnya.

Bahkan, istri Soetan Sjahrir sendiri yang pertama adalah Maria Duchateau , mantan istri dari Sal Tas sebelum berpisah. Ada kisah menarik sewaktu Maria ini datang ke kota Medan pada 1932 untuk menikah dengan Sjahrir. Buku 'Out Of Exile' yang merupakan kisah perjuangan Sjahrir di pengasinganpun merupakan kumpulan surat-surat dari Sjahrir kepada Maria yang dikoleksinya selama bertahun-tahun.Pada April 1945, NIGIS atau Netherlands Indies Government Information Service , sebuah radio di Brisbane Australia melaporkan ke Indonesia tentang kejadian bersejarah tentang konferensi PBB di San Francisco, AS. Radio itu juga melaporkan bahwa satu anggota delegasi Belanda-Indonesia adalah Burhanuddin, beliau ini adalah mantan tahanan Belanda di Boven digul yang sebelumnya juga merupakan temanseperjuangan Sjahrir-Hatta di Pendidikan Nasional Indonesia.

cpatriawgmail

Rambut dan Sejarah Indonesia

Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 mengatakan bahwa rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno merupakan lambang dan petunjuk diri yang sangat menentukan. Maksudnya, rambut adalah simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang. Dengan begitu, rambut mesti diberi perawatan terbaik agar terjamin tetap hitam, lebat, dan harum. Sehingga, menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin merupakan cara menunjukkan kekuatan sekaligus kekuasaan serta kewibawaan seseorang. Maka tak heran, bila dalam film-film yang berlatar kerajaan-kerajaan masa lampau, para jago dan ksatria digambarkan banyak yang berambut panjang.

Begitu besarnya penghormatan terhadap rambut, sampai-sampai ada pandangan yang menyatakan bahwa “Mencintai rambut sama dengan mencintai kepalanya.” Kepala merupakan bagian tubuh yang paling dihormati dan disucikan. Alhasil, memotong rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno diartikan sebagai simbol pengorbanan diri ketimbang pembeda jenis kelamin, sehingga perlu dilakukan ritual khusus pemotongan rambut.

Memotong rambut sama dengan pernyataan kesedihan yang mendalam, seperti akibat ditinggal mati orang tua, suami, atau raja. Memotong rambut dapat juga dilakukan atas dasar motif keagamaan atau pernyataan selamat tinggal pada sifat keduniawian. Atau bisa juga sebagai janji (nazar) karena telah berhasil memperoleh sesuatu, seperti yang dilakukan Aru Palakka di tahun 1672 setelah kemenangannya atas Makassar. Jadi bagi masyarakat Asia Tenggara kuno, rambut merupakan bagian dari eksistensi pribadi yang sangat dihormati.

Rambut mulai mendapatkan pengaturan, setelah masuknya pengaruh Barat, seperti agama Islam dan Kristen. Bila sebelumnya rambut panjang dikaitkan dengan kedewasaan serta kekuatan spiritual seseorang, masuknya pengaruh tersebut, menjadikan rambut sebagai penanda seksualitas seseorang. Artinya, terjadi pergeseran pandangan pada persoalan seksualitas yang menekankan pada pengekangan seksual dan pembedaan antara perempuan dan laki-laki.

Pemotongan rambut bagi laki-laki kemudian dimengerti sebagai simbol ketaatan terhadap agama. Di Bali abad ke-16 misalnya, ketika seorang utusan Islam dari Mekkah mempersembahkan sebuah gunting kepada seorang pangeran. Dengan serta merta pangeran itu menghancurkan gunting tersebut karena dianggap sebagai ajakan masuk Islam. Lain lagi yang dilakukan Diponegoro sewaktu melawan Belanda pada awal abad ke-19. Ia memerintahkan seluruh pengikutnya memotong rambut sebagai pembeda dengan orang Jawa yang “murtad” karena bekerja sama dengan Belanda.

Di Indonesia, di mana Islam menjadi agama mayoritas, potongan rambut pendek dan memakai kopiah (peci) menjadi bagian dari kebudayaan Islam. Bahkan pemakaian peci itu pun menjadi simbol dari gerakan nasionalisme. Seperti kata Soekarno kepada Cindy Adams (1966:51), “Peci merupakan ciri khasku dan menjadi simbol bangsa Indonesia yang merdeka.” Pemakaian peci, menurutnya, merupakan tanda kedekatan dengan masyarakat kelas bawah, sebagaimana penggunaan sarung dan kendaraan becak. Sewaktu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia mempertunjukkan dirinya sebagai kombinasi Timur dan Barat dengan memakai peci serta jas meski tanpa dasi.

Identifikasi seperti yang dilakukan Soekarno merupakan buah dari proses modernisasi Indonesia sejak awal abad ke-20, sejalan dengan politik etika pemerintah kolonial. Terutama di kalangan terpelajar, karena pendidikan pada waktu itu menjadi sarana mobilitas sosial paling penting. Dengan berpendidikan gaya Barat, maka penduduk pribumi bisa masuk ke dalam tatanan sosial Hindia-Belanda yang rasialis. Alhasil, dapat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang lebih tinggi statusnya (Shiraishi, 1997:39-42).

Lalu identifikasi seperti apa yang mereka lakukan? Mau tak mau usaha pensejajaran diri dilakukan dengan meniru gaya hidup bangsa Barat yang menjadi simbol kemodernan saat itu. Anak-anak muda Indonesia lantas berpotongan rambut pendek dan klimis, berpakaian jas, bersepatu, dan menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari, serta makan di restoran atau menonton film di bioskop.

***
Lain lagi pada masa Jepang, yang menghilangkan semua yang berbau Barat (Eropa). Anak-anak muda Indonesia yang telah berganti generasi juga memiliki cara lain untuk mengindentifikasika n dirinya. Apalagi oleh Jepang, mereka diberi kesempatan berlatih militer yang tidak pernah dirasakan pada masa Belanda. Anak-anak muda Indonesia lalu mengalami suasana zaman (Zeitgeist) yang penuh semangat heroisme dan dikenal sebagai semangat ’45.

Gelora zaman terus berlanjut meski Jepang telah menyatakan menyerah dan Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Orang-orang Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp penjara Jepang kaget melihat gaya anak-anak muda waktu itu. Pasalnya, segala simbol kemodernan dalam dunia berbahasa Belanda yang dipenuhi kesopan-santunan telah menghilang dari tanah Indonesia. Mereka malah melihat anak-anak muda yang rambutnya gondrong dan berpakaian ala militer, serta bersikap liar dan kurang ajar. Oleh Belanda, anak-anak muda ini disebut sebagai “teroris”, “ekstrimis”, atau “kriminal” sebagai produk salah asuhan Jepang.
Namun di sisi lain, dari kacamata berbeda, anak-anak muda itu ditempatkan sebagai sosok yang protagonis. Suasana pada waktu itu berlangsung panas, keras, dan penuh kecurigaan. Suatu revolusi tengah berlangsung untuk menggusur pemerintahan kolonial, sementara Republik yang baru didirikan ternyata tidak mampu menggantikannya secara utuh. Maka, jalan kekerasan diperlukan jika Republik ingin terus hidup. Ternyata pemimpin-pemimpin politik yang berasal dari generasi sebelumnya yang berpendidikan relatif lebih tinggi tidak cocok dengan pekerjaan penuh kekerasan semacam itu. Pemimpin-pemimpin baru, bermunculan dengan gaya berbeda dengan rambut panjang terurai, berpakaian militer, dan sebuah pistol yang tersemat di pinggang sebagai lambang kekuasaan revolusioner (Reid, 1996:89-92).

Kebanyakan dari mereka adalah para jago yang membentuk laskar-laskar perjuangan. John Smail (1964:127) dalam karya tentang Bandung masa revolusi menulis pengalaman seorang camat yang dengan sengaja menanggalkan seragam pamong praja, membiarkan rambutnya tumbuh memanjang, berbicara blak-blakan, serta selalu membawa sebuah pistol. Dengan mengadopsi gaya tersebut, ia dapat mempertahankan perintah (kuasa) atas rakyat dan badan perjuangan (laskar). Ali Sastroamidjojo (1974:198) dalam otobiografinya menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal 1946.

Bila anak-anak muda berambut gondrong pada periode revolusi menjadi simbol perjuangan revolusioner, Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin malah memandang mereka sebagai simbol kontra-revolusioner . Dengan tegas ia menyatakan anak-anak muda yang berambut panjang ala Beatles dan memiliki selera menyanyikan lagu yang disebutnya ngak ngik ngok sebagai penghambat revolusi Indonesia dan pendukung Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Tak heran, jika Koes Bersaudara sempat dipenjara gara-gara dituding menjadi simbol kontra-revolusioner .

* * *
Ketika Orde Baru berhasil menggeser kekuasaan rezim Soekarno. Era “Politik sebagai panglima” pun diganti dengan slogan “Ekonomi sebagai panglima.” Pembangunan menjadi fokus utama rezim Soeharto. Alhasil, gaya rambut pada masa Orde baru, terutama pada periode awal kekuasaannya, juga harus disesuaikan dengan semangat pembangunan. Rambut gondrong yang pada awal 1970-an menjadi sebuah gaya hidup kalangan muda dipandang sebagai simbol ketidakacuhan terhadap program pembangunan. Maka, pemerintah perlu melarang model rambut tersebut. Aksi-aksi anti-rambut gondrong pun dilakukan aparat keamanan dengan merazia pemuda-pemuda berambut gondrong di jalan-jalan raya, sekolah, atau kantor-kantor pemerintah. Bahkan bagi mereka yang berambut gondrong tidak diperkenankan mengurus SIM, KTP, atau surat bebas G 30 S dari pihak kepolisian, sebelum mencukur rambutnya.
Gara-gara razia rambut gondrong pula, mahasiswa ITB bentrok dengan taruna Akademi Kepolisian dan Brimob pada 6 Oktober 1970. Dalam peristiwa itu, seorang mahasiswa bernama Rene Coenraad tewas tertembak pistol milik taruna polisi. Sehingga menyebabkan “kemitraan” antara mahasiswa dengan militer dalam membangun tatanan sosial Orde Baru semakin merenggang.

Selain aksi-aksi anti-rambut gondrong, upaya pencitraan pun dilakukan. Di harian-harian ibukota, tindak kejahatan orang berambut gondrong sudah menjadi santapan berita sehari-hari. Kata-kata seperti “merampok”, “memeras”, “merampas”, atau “memperkosa” merupakan stereotip rambut gondrong. Dengan serta merta orang berambut gondrong dicitrakan sebagai pelaku tindak kriminal meski tanpa pejelasan bagaimana identifikasi itu terbentuk. Seperti halnya pencitraan atas tato sebagai kriminal pada awal 1980-an, kemudian menjadi legitimasi melakukan penembakan misterius (Petrus).

Mode rambut gondrong dicitrakan sebagai bagian dari gaya hidup yang urakan, yang menyimbolkan ketidakacuhan anak-anak muda terhadap keadaan di sekitarnya, terutama masa depan yang bakal dihadapinya sebagai “harapan bangsa.” Begitulah yang dikatakan Pangkopkamtib Soemitro dalam acara bincang-bincang di TVRI pada 1 Oktober 1973.
Sifat acuh tak acuh atau onverschillig itu, katanya lagi, sengaja dimunculkan lewat rambut gondrong dan pakaian kumal, sehingga anak-anak muda sebagai calon pemimpin tidak memiliki tanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Soemitro juga mengatakan bahwa persoalan anak muda menjadi fokus utama Kopkamtib, di samping usaha penyelesaian masalah G 30 S. Bisa dibayangkan betapa “gawatnya” persoalan anak muda ketika itu, sehingga harus disejajarkan dengan penyelesaian persoalan G 30 S, yang tergolong masalah subversif kelas berat.

Pernyataan Soemitro tak pelak menimbulkan gelombang protes dari kalangan anak muda, terutama mahasiswa. Pada 10 Oktober 1973, DM-ITB mendatangi DPR RI memprotes sikap pangkopkamtib. Aksi-aksi menentang sikap anti-rambut gondrong juga bergema ke daerah-daerah, seperti di Surabaya dan Yogyakarta. Tak bisa dipungkiri memang, reaksi mahasiswa atas pernyataan Soemitro tidak terlepas dari suasana sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat saat itu. Seperti yang dikatakan Tempo, 8 Desember 1973, bahwa persoalan rambut gondrong merupakan refleksi dari adanya kegelisahan yang kian meningkat di kalangan masyarakat serta ketidakpuasan anak muda dan mahasiswa terhadap keadaan yang tengah terjadi, terutama soal pemerataan ekonomi.

Akumulasi ketidakpuasan kalangan anak muda terhadap keadaan di sekitarnya itu dikhawatirkan oleh pemerintah dapat pecah. Untuk meredakannya, Soemitro mengadakan pertemuan dengan mahasiswa di berbagai universitas di Pulau Jawa. Dalam berbagai pertemuan itu, Soemitro mengakui masih ada kekurangan-kekurang an dalam tubuh pemerintahan, seperti belum adanya kepastian hukum, kian meningkatnya kepincangan sosial, dan kesan angker yang ditimbulkan pemerintah terhadap rakyat, serta tidak lancarnya komunikasi dari pola kepemimpinan yang hanya dari atas ke bawah. Oleh karena itu, ia mengusulkan untuk perlunya dilakukan perubahan pola kepemimpinan sosial baru yang bersifat dua arah.

Dalam kesempatan itu pula, ia menyatakan bahwa dirinya tidak melarang rambut gondrong melainkan hanya menganjurkan lebih baik tidak gondrong agar tetap kelihatan selalu rapi. Bahkan dia mengakui bahwa anaknya sendiri berambut gondrong.

“Namun demikian, sebagai orang tua saya ingin meyakinkan kepada anak-anak, bahwa rambut gondrong kurang sedap dipandang. Tapi jika yang diyakinkan itu tidak mau...tidak apa-apa. Cuma saya akan berusaha meyakinkan secara terus-menerus, dan minta kepada mereka untuk merenungkan tentang rambut gondrong. Sebagai orang tua, sebagai pribadi, tokh boleh juga saya menyatakan pendapat seperti halnya saudara-saudara,” kata Soemitro kepada mahasiswa di Surabaya, 22 Oktober 1973.

Pengakuan tentang rambut gondrong ini merupakan hembusan angin yang sedikit menyejukkan dalam hubungan antara anak-anak muda dengan kalangan orang tua. Polemik rambut gondrong secara berangsur-angsur mulai menurun kadarnya. Akan tetapi, ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah masih terus berlangsung pada tahap yang tetap tinggi dan mencapai puncaknya pada peristiwa 15 Januari 1974 atau yang dikenal Peristiwa Malari.

* * *
Dari uraian di atas, kiranya kita dapat menarik sebuah kenyataan bahwa rambut memiliki makna sosial dan historis yang panjang. Rambut bisa menjadi simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang, atau juga menjadi identifikasi suatu generasi. Namun yang pasti, rambut merupakan bagian dari tubuh yang mesti diatur, dikuasai, dan dinormalisasikan sesuai norma-norma yang berlaku. Sehingga, pernyataan yang mengatakan “Rambut adalah mahkota diri” menjadi benar. Bahwa dengan begitu rambut mesti dijaga selayaknya sebuah mahkota kerajaan.

clenoro suharto

Pahlawan Supriadi Masih Hidup?

Semarang, CyberNews. Fakta sejarah yang lama terpendam kini terkuak kembali. Dia adalah Supriyadi, tokoh muda pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, yang terjadi pada 14 Februari 1945 dulu.Pada waktu itu, Supriyadi anggota tentara PETA, sebuah pasukan tentara bentukan Jepang yang beranggotakan orang-orang Indonesia. Karena kesewenangan dan diskriminasi tentara Jepang terhadap tentara PETA dan rakyat Indonesia, Supriyadi gundah. Ia lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama tentara PETA.

Namun pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan Supriyadi dikalahkan oleh pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut Heiho.Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya.Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Supriyadi hilang.Apakah benar demikian? Hilang ke mana?Teka-teki itu mulai terkuak pada sebuah acara pembahasan buku 'Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno', yang diadakan di Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran Semarang 9 Agustus lalu. Dalam acara itu, seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya.

Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 88 tahun.Selain dari bukti foto, penuturannya yang gamblang tentang PETA dan perjuangan Indonesia pasca kemerdekaan, keaslian Andaryoko sebagai Supriyadi diperkuat oleh pengakuan sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dr Baskara Tulus Wardaya.Dengan menggali aneka sumber dan ditambah aneka foto-foto pendukung serta wawancara dengan Andaryoko sendiri, Baskara tiba pada satu kesimpulan: Andaryoko adalah Supriyadi. Setelah menghilang, Supriyadi memang berganti nama menjadi Andaryoko.Baskara berharap, publik memberi kesempatan bagi Andaryoko untuk menyampaikan narasi/penuturan sejarah perjuangan yang pernah ia jalani lewat tulisan, seperti dalam buku Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.“Saya berjumpa beliau sekitar April 2008 dalam sebuah penelusuran sejarah. Saya ingin mencari pelaku-pelaku sejarah baru. Saya kemudian menemukan beliau dan wawancara. Belakangan beliau baru mengaku sebagai Supriyadi,” tutur Baskara saat dihubungi, Selasa (12/8).

Dari interaksi dengan Andaryoko, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda. Menurut dia, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi biasanya memiliki beberapa ciri. Di antaranya, selalu dikaitkan dengan mistis, hanya berpusat pada sosok dirinya, dan tidak bisa mengaitkan sejarah dengan perkembangan pasca kemerdekaan dan zaman kekinian.“Tetapi Andaryoko ini, dia orangnya rasional dan spiritual. Dia bisa mengaitkan sejarah tempo dulu dan sekarang. Ia juga kritis terhadap situasi saat ini,” katanya.Baskara mencontohkan, cerita Andaryoko mengenai peran pemuda menuju kemerdekaan yang sangat besar. Sebagai pelaku sejarah, Andaryoko menyebut, pemuda pada zaman itu sudah memiliki kesadaran politik yang kuat. Mereka sadar, pemberontakan yang akan mereka lakukan pada tentara Jepang saat itu pasti tidak ada gunanya karena kalah persenjataan.“Tapi, toh itu tetap mereka lakukan, karena mereka sadar bahwa perjuangan perlu simbol. Mereka melakukan itu karena gundah melihat kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia,” urai Baskara yang juga Kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma Jogjakarta itu.Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya ‘dituakan’ tiga tahun. “Sehingga ia mengikuti pendidikan tentara saat berusia 25 tahun. Jika dirunut sampai tahun 1945, maka pemberontakan yang dilakukannya wajar, karena usianya relatif muda,” ungkapnya.

Di rumah Andaryoko yang kini ia tinggali, juga tidak terdapat banyak peninggalan. Saat melarikan diri, sebut Baskara, ia hanya mengenakan satu baju tanpa membawa peralatan lain. “Ia hanya punya foto semasa muda waktu masuk PETA dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Katanya, itu milik tentara yang dia bunuh,” ujarnya.Sangat MiripSaat Andaryoko dikunjungi wartawan di rumahnya di Jl Mahesa No. 101, Pedurungan, Semarang, Selasa (12/8) kemarin, bukti-bukti yang menegaskan bahwa dia sebagai Supriyadi makin kuat.Andaryoko antara lain menunjukkan foto dirinya saat masih muda. Dia kemudian membandingkan foto Supriyadi yang dipublikasikan di buku berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan Cipta Lamtorogung tahun 1985. Begitu dua foto itu disandingkan, memang sangat mirip.

Pertanyaannya, kenapa Andaryoko baru membuka jati dirinya?Ada dua alasan mengapa dirinya baru buka-bukaan sekarang ini. Pertama, adanya dorongan dari banyak pihak agar dirinya segera membuka diri. Di masa lalu setelah pemberontakan PETA Blitar, dia sengaja menyamarkan diri agar tidak ditangkap tentara Jepang.Alasan kedua, saat ini merupakan saat yang pas bagi Andaryoko untuk membuka diri ke publik. "Dulu Bung Karno pernah berpesan kepada saya begini, `Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui`.

Dan sekarang inilah saatnya saya melaksanakan pesan Bung Karno, karena saya sudah berusia lanjut," kata Andaryoko yang kemarin mengenakan baju warna cokelat.Setelah menghilang ke hutan-hutan selama sekitar 3 bulan sejak pemberontakan di Blitar, kata Andaryoko, dirinya mulai keluar dan menemui Bung Karno. Sempat ragu bahwa yang datang adalah Supriyadi, Bung Karno kemudian mengajak berbicara cukup lama pada Mei 1945 itu. Akhirnya Bung Karno mengakui dan langsung menyapa Supriyadi dengan panggilan `Sup`.Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Andaryoko mengaku sempat diminta Bung Karno untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Namun ia menolak.Bung Karno kemudian meminta Supriyadi ke Semarang menemui Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro. “Saya diterima menjadi staf kantor Residen Semarang . Nama saya diganti menjadi Andaryoko,” katanya.Dalam perkembangan politik selanjutnya, ia sangat kecewa ketika Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat hasil dari Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Di sana ada Uni Indonesia yang diketuai oleh Belanda. Itu artinya sama saja masih dijajah Belanda.

Supriyadi pun kemudian menghilang.Ia tidak bercerita apa saja yang ia kerjakan selama menghilang itu. Namun beberapa kali ia wira-wiri Semarang-Blora untuk keperluan meruwat (sebuah ritual tradisional penolak bala ala kepercayaan Jawa) selain untuk keperluan keluarga.Baskara berpendapat, cerita Andaryoko boleh tidak dipercaya. Tapi, doktor sejarah lulusan Universitas Marquette, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) ini pun mempertanyakan mengapa pemerintahan Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan kematian Supriyadi.“Menjadi kebiasaan waktu itu, tentara republik yang menjadi pemberontak Jepang dan gagal, kalau mati pasti diumumkan. Itu untuk mematahkan semangat perjuangan tentara lainnya yang ingin berontak. Tapi kita ingat, sampai sekarang tidak pernah dikabarkan kapan ia mati dan di mana makamnya,” tegas Baskara.Andai setelah kemunculan Andaryoko ini muncul pro dan kontra, Baskara melihatnya sebagai sesuatu yang positif. Ia mengajak keluarga Supriyadi yang ada di Blitar atau daerah lain serta para sejarawan ikut mendiskusikan masalah itu dalam kerangka akademis.Andaryoko sendiri siap untuk dikonfrontir dengan keluarga Supriyadi untuk membuktikan kebenaran. "Ya silakan kalau mau (datang ke sini)," kata Andaryoko. Sejauh ini, tak ada orang yang datang ke rumahnya untuk meminta klarifikasi.

Termasuk pejabat dan tokoh-tokoh penting. Dia tidak pernah mengharap kedatangan dan tidak menolak kedatangan mereka.Selama tinggal di Semarang, Andaryoko berpindah-pindah tempat. Pada awalnya, dia tinggal di Jalan Majapahit. Dan terakhir, pada tahun 2001 hingga kini, dia menempati rumah di Pedurungan. Dilihat dari rumahnya, keluarga Andaryoko terbilang berkecukupan. Rumah bercat itu berdiri kokoh dan asri seolah siap menerima kedatangan siapa pun.Andaryoko mempunyai empat anak, yakni Reni, Andarwanto, Akso, dan Wening. Wening saat ini bekerja di Departemen Luar Negeri.
(surya /smcn)

Apa yang dimakan Pimpinan Tiongkok setiap hari?

Kehidupan pimpinan Tiongkok biasa diliputi rahasia kegelapan, apa yang mereka makan setiap harinya dan bagaimana cara makan selamanya merupakan rahasia yang tidak bisa diumumkan. Zheng Xu yuan, mantan Direktur Gizi Makan RS Beijing, ahli Gizi Kesehatan membocorkan keluar, para pimpinan lebih banyak makan makanan-kasar (yang dimaksud bukan nasi dari beras putih atau mie/mantou dari trigu-putih) , makan sedikit - banyak kali dan gunakan metode ilmiah dalam makan-minum. Itulah sebab utama pimpinan Tiongkok termasuk yang panjang usia didunia. Zheng Xu yuan mengemukakan, prinsip dasar merawat kesehatan Pimpinan Tiongkok adalah setiap hari memakan 25 jenis bahan makanan.

Sedikit daging, banyak makanan-kasar. Sedikit tapi makan banyak kali.
Zheng Xu yuan menunjukkan, menu makanan Pimpinan tidak sebagaimana diperkirakan orang umumnya adalah sea-food, Haisom. Justru sebaliknya, mereka lebih banyak makanan-kasar. ebih sedikit daging. Cara dan deretan menu makan mereka, mutlak bisa dilaksanakan juga oleh rakyat cilik umumnya.

Zheng Xu Yuan menjelaskan, yang dimaksudkan setiap hari 25 jenis bahan makanan itu betul-betul jenis bahannya dan bukan 25 jenis sayur-lauk. Berdasarkan pengetahuan Gizi kesehatan TIongkok, yang berpengalaman bekerja lebih 60 tahun, mantan Direktur Dept. Gizi Makanan RS Militer Central Beijing Li Shui-fen juga mengatakan, para Pimpinan lebih sedikit makan daging "Binatang berkaki empat", ditinjau dari sudut gizi, yang berkaki dua (Ayam, bebek) lebih baik dari yang berkaki-empat (babi, sapi, kambing), yang berkaki satu (jamur) lebih baik dari berkaki dua, yang tidak berkaki (ikan) lebih baik dari yang berkaki satu.

Zheng Xuyuan membocorkan bagaimana dia membuat menu makanan "Kader-kader tua" Comite Central, dengan prinsip makan sedikit banyak kali dan mengutamakan banyak ragam jenis pangan, dengan demikian mendapatkan keseimbangan gizi yang diperlukan.

70% kenyang saat makan, ditambah 2 kali makan-kecil.
Zheng Xuyuan memberikan contoh menu: makan pagi 1/2 gelas susu-sapi, sepiring sayur, 1 huajuan-wijen (sejenis mantao berbentuk bunga sedikit asin), semangkok-kecil buburgandum atau bijiteratai. Makan siang, 10 macam sayuran, chapcai, sekitar 30 gr. kacang-merah atau jagung. Makan malam, lobak dengan bakwan-ikan dan bubur gandum.

Diantara 2 kali makan ditambah camilan, kata Zheng Xuyuan, karena para Pimpinan ketika makan hanya 70% kenyang, maka sekitar jam 10 dan jam 15, perlu ditambah camilan. Misalnya dipagi hari ditambah semangkok kecil sup jamur-kuping dan biji-teratai atau bubur havermoth (oat), sedang sore 1/2 gelas yougart dan buah-buahan. Sebagaimana diketahui, Chen Yun yang mencapai usia 91 tahun itu, setiap hari harus makan 13 butir kacang-atanah, jalan selama 13 menit dan menerima tamu hanya 3 menit. Istri beliau adalah Ruo Mu ahli gizi kenamaan, menjalankan prinsip "dibantu 5 jenis buah", minta Chen Yun makan 2 buah pisang setelah makan atau buah-buahan lain. Makanan yang ditim dan kurangi gorengan, tumis dan arak.

Zheng Xuyuan menunjukkan, cara masak juga sangat penting diperhatikan, dengan cara tim (kukus), rebus, Men (direbus dengan api kecil), Ban (makanan dingin/mentah, seperti salad), Chuan (makanan dengan diseduh atau direbus sebentar saja) sebagai pemasakan yang utama, agar mengurangi kerusakan gizi yang terjadi dan menjamin makanan yang kadar lemak rendah. Menu makanan Pimpinan bukan sama sekali tidak ada gorengan atau sayuar tumis, tapi hanya diberikan seminggu sekali saja. Namun dengan cara masak apapun, prinsip tidak asin, tidak lemak dan banyak serat-sayur harus dipatuhi.

Disamping itu, para Pimpinan juga seringkali diberi makanan untuk perkuat otak dan lever, seperti biji-bijian, almond, wijen, He-tao (sejenis kenari, tapi bentuknya seperti otak), wine dll. Pimpinan sebelum minum arak, diberi makanan yang banyak mengandung vit-B, karena arak bisa merusak selaput lambung yang berakibat kekurangan vit.-B. Oleh karenanya, sebelum minum arak diberi makanan-kasar, daging atau kacang sebagai landasannya.

Zheng Xuyuan menandaskan, hanya memperhatikan menu makan tentu jauh dari cukup. Sementara pimpinan bisa berusia panjang, karena mereka juga sangat memperhatikan olahraga. Seorang jenderal yang mencapai usia 102 tahun, sejak muda main tenis sampai usia 88 tahun, seminggu masih bisa main 4-5 kali, dan setiap kalinya 1-2 jam. Pimpinan Comete Central sekarang ini juga sangat memperhatikan olahraga, Hu Jintao pandai main ping-pong, Wen Jiabao ketika berkunjung ke Jepang juga mendemonstrasikan kepandaian Bang-qiu (seperti bola gasti, memukul bola dengan tongkat).

Yang dimakan para Pimpinan sekalipun sederhana, tapi sumber bahan makanan harus aman. Seperti diketahui, beras yang dimakan Pimpinan dan air yang diminum adalah disuply dari produksi daerah tertentu saja. Beijing memasuki musim rontok, hasil produksi persik yang terbaik pasti lebih dahulu mengalir ke Zhong Nan Hai dan tempat pensiunan kader pimpinan.

Nah, ini terjemahan kasar yang bisa saya lakukan dengan pengetahuan bhs. Tionghoa saya yang sangat minim kalau ada kekeliruan harap bisa dikoreksi.

ChanCT