Wednesday, February 18, 2009

Mengapresiasi Hidup-Mati Pram dan Sesudahnya

Mengapresiasi Hidup-Mati Pramoedya dan Sesudahnya
SPBB (1) Oleh: A.Kohar Ibrahim

DARI uraian-uraian terdahulu, tak urung diketahui bahwa ekspresi apresiasi atas kerasi seni, atas aktivitas-kreativit as seniman, penulis dan penyair, memang bisa ragam-macam selaras kepentingan masing-masing yang bersangkutan. Begitulah terhadap penyair Mawie Ananta Jonie, dan istimewa sekali begitulah pula terhadap pujangga Pramoedya Ananta Toer. Apresiasi atau penilaian Ikranagara dan yang semacamnya berbeda dengan Ramadhan KH, Wertehim, A. Teeuw dan sederetan panjang institusi internasional macam PEN, Ramon Magsaysay Award dan lainnya.

Sedangkan sikap-pendirian pribadi saya sendiri, jelaslah berpihak dan membelanya sejak semula, baik lisan maupun tulisan saya nyatakan, termasuk dalam rangkaian bloknota SPBB kini ini. Rangkaian tulisan yang sejak awal antara lain mendapat sambutan berupa « komporan » dari beberapa peminatnya dengan kata-kata : « ditunggu sambungannya ». Juga ada yang mengucap banyak terimakasih, seperti diutarakan oleh Fendi Roromendut (Riau Kepulauan) dan Iwamardi baik dalam postingannya untuk HKSIS maupun e-mailnya ke alamat saya baru-baru ini.

Untuk semua itu, dan untuk melengkapi bahan pertimbangan dari saya secara pribadi, kiranya ada baiknya pula saya turunkan ulang catatan saya yang berkaitan dengan berita wafatnya Sang Pujangga Terkemuka Indonesia itu. Catatan yang antara lain disiar oleh situs Media Center Jakarta, sebagai berikut :
Antara Hidup Mati Sang Pencinta: Pramoedya
MENDUNG Sabtu 29 April 2006 mempengaruhi hati dan pikiranku. Betapa tidak. Begitu membuka Yahoo!Mail seketika bola mata lebar terbuka. Menampak berita duka cita. Rasa khawatir pun hadir. Cepat mengalir. Desak mendesak di ruang dada membikin nafas sesak terasa. Bibir bawah tergigit gigi atas. Lidahku jadi kelu.

"Akhirnya sampailah waktunya," desis hatiku antara ikhlas tak ikhlas. Sesungguhnya aku tak ingin dia pulang sekarang – berpulang ke alam baka terlebih dahulu dariku. "Ah, sang pencinta yang sejati.," keluh hati luluh. Terkenang seseorang. "The great lover ! Begitu setianya pada cinta itu – dari sejak masa muda hingga dibawa sampai mati."Namun, kata hati ku masih menolak berita yang disiar Mira dari ruang Sastra Pembebasan. Aku masih tercenung menung menyimak layar kaca ordina. Dalam tercengkam rasa gundah campur duka cita sekaligus keinginan menyebar kabar lebih luas lagi, aku hanya mampu menulis baris baris kata ringkas saja di ruang Multiply Site Sabtu 29 April 2006 sekitar jam 9 AM: La Luta dari Sastra Pembebasan menyampaikan berita: Inna lillahi wa inna Illaihi rojiun Telah meninggal dunia Pramoedya Ananta ToerDi R.S. Carolus JakartaJenazah disemayamkan di Jl Multikarya II/26 Utan Kayu.Dari lubuk hati yang dalam kami menyatakan duka cita kepada keluarga sang pengarang sekaligus humanis besar Indonesia, guru sekaligus teman seperjuangan di bidang kebudayaan Indonesia dan dunia.Sedemikian saja. Sederhana. Tanpa ujar urai kata dengan puja puji yang muluk muluk dan urai panjang lebar. Karena dadaku masih terasa sesak dan ragam macam kenangan mengerumuni benak. Bagaimana ketika untuk pertama kali aku menerima sajian buah pena Pramoedya berjudul Korupsi. Bagaimana ketika pertama kali berjumpa dengannya di ruang redaksi Harian Bintang Timur ketika dia mengelola ruang budaya Lentera. Bagaimana mulai kreativitas tulis menulis di ruang remaja Indonesia Muda koran pimpinan Tom Anwar, Hasyim Rachman dan S. Tahsin itu lantas jadi anggota Lembaga Sastra Indonesia (Lekra) yang selain Bakri Siregar juga pimpinan Pramoedya. Bagaimana selain mengayomi semangat aktivitas-kreativit as penulis muda remaja juga sebagai mahasiswa Akademi Bahasa dan Sastra Multatuli yang juga, selain S. Anantaguna, para dosennya antara lain adalah Bakri Siregar dan Pramoedya sendiri. Bagaimana dalam perkembangan tahun-tahun kemudian aku menjadi salah seorang reporter merangkap anggota pengelola ruang budaya HR Minggu pimpinan penyair HR Bandaharo dan sebagai anggota dewan redaksi majalah Zaman Baru pimpinan Rivai Apin dan S. Anantaguna. Bagaimana selanjutnya bertemu, bercakap-cakap, duduk sebagai salah seorang anggota pleno Lembaga Sastra Indonesia dan turut sidang bersama para sastrawan muda seperti Zubir AA, T. Iskandar AS, Nurlan dan Amarzan Ismail Hamid sampai pada sastrawan tiga-zaman seperti S. Rukiah, Sugiarti Siswadi, Boejoeng Saleh Purwadarminta, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Oey Hai Djoen dan banyak lagi. Selain yang tersebutkan itu, barang tentu Joebaar Ajoeb sang pemimpin Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dan, bagaimana pula, akhirnya bersama-sama empat sastrawan muda dari Lembaga Sastra Indonesia itu aku terpilih untuk menjadi anggota Delegasi Pengarang Indonesia untuk menghadiri perayaan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok 1 Oktober 1965 sekalian melakukan peninajauan budaya, atas undangan Himpunan Pengarang Tiongkok. Dengan diantar-lepas oleh Joebaar Ajoeb dan HR Bandaharo serta Zubir AA, Delegasi Pengarang Indonesia yang diketuai oleh Aziz Akbar, dengan Z. Afif sebagai sekretaris dan anggota-anggotanya adalah Sukaris, Kusni Sulang dan A. Kohar Ibrahim itu berangkat terbang menuju Peking pada tanggal 27 September 1965. Tiga hari kemudian terjadi Peristiwa 30 September 1965 teriring Tragedi Nasional. Maka terjadilah perubahan situasi yang dahsyat. Kunjungan kami ke Republik Rakyat Tiongkok yang semula hanya direncanakan paling lama sebulan dua bulan akhirnya berkepanjangan. .. Oleh karenanya, aku baru kesempatan bertemu langsung kembali dengan Pramoedya pada tahun 1999 di Amsterdam dalam suatu pertemuan umum budaya. Dalam ruang mana, di atas podium aku gores-garis banderol dengan huruf-huruf besar: „Pramoedya Ananta Toer Membongkar Pemalsuan Sejarah!“ Dan pada saat melanjutkan silaturahmi teriring santapan siang di tempat kediaman penyair Mawie Ananta Jonie, bersama belasan teman-teman pengarang lainnya, pada saat itulah aku dengar suara yang bernada ramah Pram langsung tertuju padaku.„Kohar, sini dong lebih dekat lagi duduknya,“ ujar Pram. „Kok malu-malu amat, sih.“Aku balas dengan senyum seraya mengambil tempat duduk lebih dekat, tapi tidak di sampingnya. Yang kerap di sampingnya adalah ataukah Agam Wispi dan Sobron ataukah Asahan Aidit. Lantas kursi-kursi lainnya diduduki Bu Maemunah dan Yoesoef Isak, Hersri Setiawan, Chalik Hamid, Zoebir Lelo, Soeprijadi Tomodihardjo, Kuslan Budiman, Moerbandono dari Radio Nederland dan yang lainnya lagi.Saat itu Pram nampak segar bugar sekali, ceria, mengenakan kemeja batik cokelat muda. Kecuali lagi menyantap makanan atau menghirup minuman, di jari jemarinya selalu menyelip sebatang rokok yang dihisapnya dengan perasaan selalu sedap nampaknya. Hanya disaingi merokok oleh Asahan Aidit yang duduk di sebelah kiri, sedang di sebelah kanannya Agam Wispi yang tak mau kalah dengan kepul-hisapan pipanya.Pertemuan kami itu pertemuan yang benar-benar silaturahmi, mesra ngobrol ngalor ngidul bebas merdeka tentang kehidupan budaya, khususnya seni dan sastra, yang erat kaitannya dengan sejarah. Pram antara lain kembali menekankan pentingnya sejarah, selain pentingnya integritas penulis dalam proses kreativitas demi melahirkan karya yang berkwalitas.Dalam suasana yang kental kangen-kangenan atau keakraban kaum penulis itu, Pram sesekali melintaskan tatapan ke arahku. Sungguh mencengkam – sepertinya dia pun lagi terkenang ketika bicara di ruang redaksi Lentera koran Bintang Timur; sepertinya ketika berbicara di depan sidang Lembaga Sastra Indonesia; sepertinya ketika memberi kuliah di Akademi Bahasa dan Sastra Indonesia Multatuli. Sepertinya memberi isyarat bahwa sekalipun jarak memisah, berjauhan tempat, tetapi masing masing pengarang meneruskan aktivitas-kreativit as selaras situasi-kondisi yang tersedia secara obyektif. Pada pertemuan kembali itu, aku memang sengaja „mengambil jarak“, untuk tidak duduk persis disisinya. Lantaran, selain keperluan pengambilan foto, juga aku lebih suka memperhatikannya sembari memutar gambar masa lalu di layar memoarku. Selain mencoba membayang-bayangkan bagaimana kehidupan Pram dan kawan-kawan penulis lainnya dalam suasana Perburuan penguasa Orde Baru: diintel, ditangkap, disiksa, dipenjara sampai mereka dibuang di tanah buangan Pulau Buru selama belasan tahun. Tanpa tahu dan tanpa dibuktikan Dosa Apa?Iya, saat-saat itu, dan seperti aku upaya menjadi kebiasaan, dalam hal hal atau masa masa tertentu aku „mengambil jarak“ – bahkan terhadap orang yang aku paling hormat-sayangi. Bahkan terhadap yang terkasihku. Bukan karena aku telah berubah sikap yang mendasar, melainkan semata mata untuk kesempatan menikmati nada irama di relung hatiku, seraya berbisik: „Inilah manusia pencinta yang aku kagumi: kaum yang mencintai cita-cinta.“BEGITULAH ketika baik di layar kaca ordina maupun via telepon aku dengar suara Lisya Anggraini dari Batam, yang juga mengikuti pertembangan situasi sekaitan meninggalnya Pramoedya Ananta Toer itu, dengan antara lain mengajukan pertanyaan: „Kohar akan menyiapkan tulisan tentang Pram, kan?“ Kontan aku jawab negatif, dengan alasan pengambilan jarak itu. „Untuk sementara ini nggak mau, ah,“ jelasku. „Tentu akan banyak yang kesempatan menulis tentangnya. Kau tahu sikapku, kan ? Aku bukan macam orang yang suka membonceng atau gelayutan asyik pada pohon besar lagi rindang, dalam keadaan aman tenteram pula. Sedangkan selagi dalam keadaan sulit dan gawat…?“„Iya, aku ngerti,“ ujar Lisya. Cepat faham. Karena memang dia salah seorang redaktur yang langka, yang mau dan berani menyiarkan berkas-berkas tulisanku mengenai sosial-budaya dan yang ada kaitannya dengan sejarah. Termasuk yang mengurai-utarakan hubunganku dengan Pramoedya Ananta Toer dan Lentera-nya. Seperti terbuktikan dalam serial esei „Catatan Dari Brussel“ yang disiarkan Harian Batam Pos tahun 2003. Dan aku tegaskan lagi, bahkan jauh sebelum itu, ketika belum ada musim panen permanen info via internet; ketika masih dalam alam kegelapan informasi lantaran pers yang terhegemoni penguasa Orba, kami – aku dan sejumlah penulis lainnya – telah memberikan sambutan selayaknya terhadap aktivitas dan kreativitas Pramoedya. Seperti yang dimulai dari terbitan majalah Kreasi nomor perdana di awal tahun 1989, antara lain aku resensi novel Pramoedya berjudul „Gadis Pantai“. Hakikatnya apresiasiku selaras dengan Savitri Prastiti Shehrer akan mutu tinggi novel „Gadis Pantai“, seraya menggaris-bawahi suara tokoh utamanya, yang antara lain bilang: „Ah, bapak. Bapak! Bapak! Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku hanya butuhkan orang orang tercinta, hati hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka, tanpa takut.“Buku yang diterbitkan Hasta Mitra tahun 1987 itu pernah diberangus penguasa Orde Baru, sebetulnya hasil karya Pram tahun 1962. Pernah diterbitkan secara bersambung di ruang budaya Lentera koran Bintang Timur. Hanya merupakan salah satu tonggak dari berkesinambungannya kekreativitasan Pramoedya yang bermutu sejak awal mula masa mudanya. Masa selagi sebagai pejuang dalam periode Revolusi Agustus’45 dengan Keluarga Gerilya, sampai pada masa kreativitas Buru-nya yang fenomenal lagi monumental, dan selanjutnya, hingga wafatnya. Wafat seorang Pramoedya sebagai pejuang kemerdekaan, sebagai pengarang sekaligus humanis besar bangsa dan rakyat Indonesia. Berkaliber nasional sekaligus internasional. Dari 50-an bukunya, ada sejumlah yang telah diterjemahkan dalam 30-an bahasa. Dinominasi berulang kali untuk meraih Hadiah Nobel, Pram juga pernah meraih anugerah tinggi dari Belanda, Perancis dan Filipina, tapi tak pernah dari lembaga resmi Indonesia.„Kau tau, Lisya, secara pribadi, Pram itu amat bermakna bagiku: sebagai guru sekaligus sebagai teman seperjuangan di bidang kebudayaan, khususnya kesusastraan,“ jelasku pada perempuan yang paling mengenalku, nun jauh di pulau Batam. Kurang lebih berjarak duapuluh ribu kilometer dari Brussel.„Jadi..mau nulis tentang Pramoedya, dong?“ ulang tanya Lisya selang beberapa saat kemudian dengan nada lembut namun sarat irama semangat. „Rasanya masih sangat berat supaya pena bisa kuangkat…“Seketika tiba informasi bahwa kabar yang tersiar pertama itu ternyata tidak benar – hanya berdasar berita SMS bersumber dari Radio Utan Kayu 68. Secepat itu pula aku turunkan tulisan susulan pengisi ruang Multiply Site, dengan judul: „Pramoedya Wafat Atau Sakit Gawat?“Terasa ada kelegaan luar biasa di dalam rongga dada. Sepertinya gumpalan mega mendung bergerak-arak lalu berubah berkas cahaya cerah. Sungguh sayang sekali, hal itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Untuk kemudian gumpal mega hitam kembali mengental dan kilat berdenyar menikam alam mengiring berita: Pramoedya Ananta Toer telah wafat.„Pak Pram telah meninggalkan kita semua tadi pagi jam 08.55 wib dalam usia 81 tahun, dimakamkan di Karet,“ demikian antara lain kuterima Catatan Harusutejo dari Jakarta. Hadir di rumah beliau di Jl Multikarya II/26 Utankayu, Jakarta, para sanak keluarga, sahabat dan handai taulan. Nampak antara lain kenalan dekat maupun jauh, para mantan eks-tapol maupun eks-musuh, orang orang yang kondang maupun orang orang biasa. Seperti Oey Hay Djoen, Hersri Setiawan, Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, Dita Indah Sari, Yenny Rosa Damayanti, Ratna Sarumpaet, Hilmar Farid, Boni Triyana, Solahudin Wahid, Goenawan Mohammad… Di tempat pemakaman Karet, deretan nama yang hadir mengantar Pram ke peristirahatan abadinya bertambah: Sitor Situmorang, Nurul Arifin, Putu Wijaya, Osman Hamid, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik Dari Ibrahim Isa’s Focus aku baca baris-baris seperti di bawah ini.Goenawan Mohammad at Pramoedya Ananta Toer Funeral:Pram’s funeral was moving.The sky was dark, and after the body was liedDown inside the pit, many started to sing “Internationale”,Some with their left hands up as the salute.That piece of earth, part of our tragic country,Received the body of proud man who fight for our freedomEven from inside the jail.Merdeka!Pramoedya Ananta Toer sang pujangga terkemuka Indonesia kelahiran Blora 6 Februari 1925 itu, pada 30 April 2006 di Jakarta, telah kembali ke asalnya. Atas nama keluarganya, Koesalah Soebagyo Toer, menyatakan terima kasih kepada semua mereka yang menyatakan turut berduka cita. Teriring harapan: “Semoga peristiwa ini sempat menggugah hati kita semua dan mengingatkan kita bahwa masih banyak yang harus kita lakukan untuk tanah air Indonesia tercinta dan rakyatnya.”Aku hanya bisa mengangguk perlahan, sembari terus mengingat wajah cerah Pramoedya ketika ketemu di negeri Belanda. Ucapan terimakasihnya atas banderol yang aku bikin terpajang di ruang pertemuan umum dalam tahun 1999 di Amsterdam itu membuat aku sekali lagi terenyuh. “Ah, dikau ini! Pandai sekali ngemong,” bisikku dalam hati, senyum menatap wajah cerahnya. Wajah seorang lelaki. Seorang putera Indonesia yang tergolong kaum pencinta yang mencintai cita-cinta yang sejati sejak muda sampai terbawa mati. Cita-cinta pada Bumi pada Manusia yang manusiawi.
*
Demikian catatan saya yang tersimak di situs Media Center Jakarta tertanggal 6 Mai 2006. Selanjutnya (2007), apresiasi saya berupa rangkaian naskah Hidup Mati Penulis Dan Karyanya (HMPK) : Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu. Bermula dari dan disiar secara berturut-turut di ACI Blogspot, Multiply, Bekasinews dan lainnya lagi. *** 07.12.2008.
Catatan : SPBB masih akan disambung untuk mengurai soal yang jadi persoalan lainnya, ke-14. Sekedar ilustrasi : Foto kenangan pertemuan kembali A.Kohar Ibrahim dengan Pramoedya Ananta Toer di Amsterdam 1999.

No comments:

Post a Comment