Tuesday, February 17, 2009

Telaah --- Mencermati Tiga Etape Perjalanan Panjang China

Oleh Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) -
Tahun 2009 dalam horoskop China disebut sebagai "tahun Kerbau" berelemen tanah (Earth Ox Year). Sejak melajunya era Deng Xiaoping (1978), masyarakat Indonesia, terutama para elite birokrasi pemerintahan, eksponen bisnis termasuk manajemen menengahnya, mencermati, perkembangan politik, ekonomi dan budaya China, sekalipun banyak yang meragukan makna menimba belajar dari China.Tanpa menganggap enteng, kini sejak tahun lalu, dunia mengalami krisis ekonomi global yang diakibatkan dan gulirkan ke bagian besar dunia oleh sistem perekonomian kapitalisme berjiwa dan berwujud neo-liberalisme Amerika Serikat (AS), antara lain rontoknya pasar modal Wall Street, dan berbagai kegagalan antara lain sub-prime mortgage AS. Berbagai kalangan di Indonesia, termasuk penulis, mencemaskan obatnya krisis masih satu dua tahunan. Karena itu, elite birokrasi, bisnis dan kalangan kelas menengah kita perlu belajar dan mencermati perjalanan panjang banga China yang penuh dinamika naik-turun, termasuk dalam berjaga-jaga menghadapi dampak krisis itu memasuki tahun tahun yang akan datang.Evelyn Lip (PhD Arch) dalam "Out of China",(Addision Wesley Publishing Company 1993) yang dikenal luas sebagai pakar arsitektur internasional menyadari bahwa membutuhkan lebih dari satu masa hidup (life time) untuk menggapai pengetahuan dalam segala bentuk dan kebajikan fisafat China. Artinya, "tiada akhirnya untuk terus belajar" (there is no end in learning = xue wu zhong zhi).Perkembangan bangsa China sejak 1949, merupakan perjalanan panjang (long march) yang setiap etapenya 30 tahunan. Diawali dengan eranaya Mao Zedong 1949-1976 dengan ketertutupan masyarakat dan ekonomi terencana yang ketat.Kejadian kejadian di China jelas tidak dapat dipahami tanpa suatu rasa hormat pada fenomena Deng Xiaoping sebagai pemimpin pelopor etape keduanya. Impian awal tahun 1980an untuk suatu masa depan yang lebih cemerlang di China makin menampak dalam realita di bawah kepemimpinannya. Nah, marilah kita mengikuti perjalanan panjang sejarah China tiap etapenya Long march pertama (1949-1978)Ditinjau dari segi ekonomi sosial, China tadinya suatu masyarakat "non-materialistis" yang dilandasi ajaran Maoisme di bawah kepemimpinan Mao Zedong, China 1949-1976 yang segala kehidupan politik, ekonomi dan budaya diputuskan di Pusat Pemerintahan Beijing. Ketika zaman itu Eropa Timur sebelum era keterbukaan disebut "negara tirai besi" (the iron curtain).China di bawah kepempimpian Mao Zedong (1949-1976) dijuluki sebagai ketertutupan oleh "tirai bambu" (the bamboo curtain).Long march kedua (1978-2008) Ekonomi-pasar sosialis yang digerakkan oleh nilai nilai kemakmuran individual sebagai reformasi yang dipelopori Deng Xiaoping sejak 1978 itu disebut sebut sebagai "gaige kaifang" ( membuka diri dan reformasi tata kelola.Figur Deng Xiaoping tidak hanya banyak dikagumi dalam negerinya tapi oleh dunia luar China. Sepatutnya disebut disini kekaguman oleh negarawan Malasya Dr. Mahathir Mohamad dalam Globalization with common Development (Oktober 2001) yang antara lain. Tidak perlu diragukan bahwa salah seorang agung (great men) abad 20 adalah Deng Xiaoping,Bapak Empat Modernisasi China. Juga tidak usah diragukan bahwa dua dari petuah bijaksana (wise sayings) harus berada dalam benak pikiran kita ketika kita berbicara mengenai isu isu besar masa kini, bahkan setiap masa.Kedua petuah tidak bisa diabaikan sebagai sarana untuk menganalisis dan sebagai pedoman bernilai dalam setiap tindakan kita. Deng berucap bahwa kita harus mencari kebenaran dari fakta. Artinya, kita jangan mendeduksi kebenaran hanya dari harapan harapan, sekalipun harapan harapan itu terhitung mulia.Status historis dan signifikansi teori Deng Xiaoping yang dikenal sebagai "empat prinsip dasar" yang oleh Deng sendiri disebut sebagai langkah awal reformasi dan kebijakan membuka diri (gaige kaifang).Prinsip dasar modernisasi , antara lain menumbuhkembangkan pemikiran dan mencari kebenaran dari fakta Pemahaman yang jelas tentang apa yang disebut "sosialisme dan bagaimana membangunnya" disertai reformasi menyeluruh.Digantinya prinsip pertentangan kelas dengan pembangunan ekonomi dan digantinya ekonomi terencana (planned economy) dengan ekonomi pasar sosialis. Penilaian yang cermat dan ilmiah atas perubahan perubahan dalam situasi global. Suatu sistem sosialisme dengan karakteristik China.Makin jelas visi Deng Xiaoping "gaige kaifang" yang tidak terbatas pada ekonomi, tetapi sudah memasuki peta geopolitik sosial budaya Ungkapan pragmatisterkenal Deng antara lain tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih warnanya, tapi kucing itu harus menangkap tikus dan menjadi kaya itu mulia.

Teorinya tidak mutlak untuk negaranya, tapi menjadi panduan para penerus elite pemimpin bangsanya.Penerus kepemimpinan China, duet Jiang Zemin/Zhu Rongji (1992-2003) dan Hu Jintao/Wen Jiabao (2003-2008) dan periode keduanya. Hu/Wen tetap memantapkan visi Deng Xiaoping dalam ber-internasionalis asi.Yuan Ming, gurubesar hubungan internasional pada Universitas Beijing, sebagai pakar mengenai Amerika dalam wawancaranya dengan Thomas L. Friedman yang dituangkan dalam "Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree" (2000) tidak sepenuhnya mendukung istilah globalisasi.Yuan Ming mengungkapkan pola pikir kritis China terhadap arogansi global Amerika, dengan menyatakan bahwa pemimpin politik China dalam ungkapan ungkapan publik tidak memakai istilah globalisasi, tapi lebih suka memakai istilah modernisasi.Globalisasi menunjukkan sesuatu yang tidak digemari oleh pikiran China karena didesakkan oleh Barat atau Amerika. Sebaliknya, modernisasi adalah sesuatu yang dapat dikendalikan (something we can control).Ada suara menyegarkan dari pihak China dalam konperensi WTO, 10-14 September 2003 lalu di Cancun, Meksiko. Sebagai anggota baru, Cina menyatukan diri dengan negara negara dunia ketiga, bersama Brasil dan Indonesia, menjadi sponsor utama kelompok 21 yang menuntut penghapusan subsidi produk pertanian AS dan Uni Eropa.Sikap China benar benar berpihak pada negara negara miskin. Kini memasuki putaran WTO Doha 2008 tentunya kelompok 21 tetap memiliki kebersamaan bahka sampai siding WTO tahun lalu. Memasuki long march ketiga mulai 2008Alih generasi pemimpin China ke generasi ke empat Hu Jintao/Wen Jiabao mencuatkan dominasi inti teknokrat dalam mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) . Dalam hubungan ini adalah pragmatisme dengan arus teknokrat "si hua" atau empat mengubah remaja, mengubah menjadi bersemangat kerja keras dan cerdas, mengubah menjadi profesional dan mengubah menjadi berpendidikan. Jadi kader kader Partai tidak boleh lagi hanya berbekal pengetahuan yang berasal dari buku indoktrinasi.Setiap bangsa dapat bangkit dan mencapai tingkat kemakmuran oleh budaya produktivitas. Budaya ini juga diresapi oleh bangsa China. Budaya ini muncul akibat persaingan antar-bangsa yang mencuat setelah terjadinya gejala globalisme dan menjadi menarik karena terlibatnya peran negara dalam persaingan, dan elemen kultur tersebut. Selain itu, rencana pembangunan infrastruktur fisik jalanan, kereta api dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, pembangunan Chu Chiang river Delta dan industrial parks melengkapi kemajuan kawasan industri yang sudah ada di Kawasan Timur.Yang mengusik kita adalah apakah memasuki eranya Hu Jintao ini sudah mulai tersusun Model modernisasi China? Bangsa China sendiri merasakan bahwa pejabat China bukan penghalang, bahkan malahan menjadi pendorong beroperasinya ekonomi pasar sosialis, yang tanggap dan tangguh merespons krisis ekonomi global yang digelindingkan As dengan kapitalisme yang berjiwa neo-liberalisme diawali dengan rontoknya Pasar Modal Wall Street tersebut di atas. Inilah beberapa butir yang dapat kita pelajari sebagai bahan tanpa menjiplak mentah mentah proses dan apa yang berlaku bagi China.*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn. net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama kawasan Asia Timur; dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).

Persetujuan menyelamatkan, menjamin kepentingan bangsa2 yang diwakilkan.


Sutan Sjahrir and the failure of Indonesian Socialism




Sjahrir 1 Abad, 5 Maret 1909 - 5 Maret 2009
Sutan Sjahrir and The Failure of Indonesian Socialism
Lindsay Rae

INTRODUCTIONSutan Sjahrir was a leading figure in the struggle for Indonesia’s independence. By most standards he achieved eminence and suffered political decline at a remarkably early age. By twenty-five he had made sufficient impact in the nationalist movement for the Dutch to cast him into a lengthy exile. At thirty-six he brilliantly seized an opportunity and became Prime Minister of his country, and for two years guided the young republic through some of its most difficult days. His work at this time was to have the most durable impact, largely determining the character of the Indonesian revolution, as a national rather than a social revolution, and shifting the emphasis of action towards “diplomacy” rather than “struggle”. As a young, western-oriented intellectual leader, he was successfully setting the pace of political developments, and with western liberal democracy at the height of its prestige, he appeared to represent the future. But by the__time Indonesia’s independence strugglc ended in 1949, he was 40, and already pushed From the centre of political life; he was never again to hold high office or exert decisive influence.

The years before his death were years of progressively deepening political Failure, ending with several years of imprisonment at the hands of the republic he had helped to create.Judgments of success and failure in political life often prove difficult, and this is particularly so in Sjahrir’s case. In his political career it is easy to point both to outstanding “successes” and to devastating “failures”. He showed great foresight and a capacity for penetrating analysis in his attitude to the war, and considerable courage in his actions during the Japanese occupation. His success in recruiting a dynamic and talented following among the young intellectuals of occupation Jakarta has been sympathetically described by Legge. His political skill was evident in his grasping the moment to take power from the “collaborationist” politicians who constituted the Republic of Indonesia’s first cabinet in 1945, but the same events also demonstrated his integrity and acuity. The analysis contained in his pamphlet Perjuangan Kita (Our Struggle) displayed both penetrating honesty and a cool perceptiveness. He anticipated the Cold War and its implications for Indonesia at an early stage. And he represented the Republic at the United Nations most impressively, thus playing a major part in gathering international, and especially American, support for the Indonesian cause, which proved decisive in overcoming Dutch intransigence.

These are testaments to his brilliance and high character, and demonstrations of his “success”.Sjahrir was a committed nationalist with a deep abhorrence of colonialism, and hence his role in creating an independent Indonesia marks his career as one of high achievement. However, in contrast to some who worked for independence, he was never merely a nationalist, and he had good reason to be profoundly disappointed with the fruits of independence. Nationalism took a place in his political thinking alongside tolerance, democracy, internationalism, socialism and modernity. Moreover these strandsin his thinking stood in a relationship of priority to one another, as the tests of political life would show. in the development of an Indonesian society to match his ideals, his ambitions remained largely unfulfilled. Indeed, from his loss of the Prime Ministership in 1947, his career followed a path of successively more intense periods of disappointment and remoteness from power. Thus, having been one of the principal architects of the Indonesian victory, he was subsequently unable to move the political current of the new Republic decisively in the ideological direction he favoured.In the brief period of Indonesia’s experiment with multi-party parliamentary democracy, the party which was Sjahrir’s vehicle, the Indonesian Socialist Party (PSI), proved an electoral failure. The PSI’s precursor, the undivided Socialist Party (PS), had been a major force during the revolutionary period, and the PSI itself had constituted a significant minority voice in some of the parliamentary cabinets of the early fifties. The party had in fact maintained a degree of influence on government far greater than its true level of support, or even its rather generous representation in the unelected provisional parliament of 1950-55, would have warranted. In the event, the party polled a mere two per cent of the national vote when elections were finally held in 1955. The party suffered further decline in the late fifties, and was banned in 1960 under Sukarno’s “Guided Democracy”. In 1962 Sjahrir and several other leaders, mostly associated with the PSI or the modernist Islamic party Masjumi, were imprisoned. After the 1965 coup attempt the politicians were released but neither party was revived in its original form.Legge argues that despite this apparent failure, the PSI “stream” in Indonesian political thinking represents a distinctive “moral and intellectual strand within Indonesian public life”. Certainly significant elements in the political elite and in the wider society have continued to concern themselves with themes which were important for the PSI, such as modernity, egalitarianism, social justice and respect for individual rights; but for the most part___national policy has not emphasized these goals either before or after 1966. Public policy during the Sukarno period mostly favored "neo - traditionalist” responses to the challenge of social change and the diversion of political energies into external causes such as the campaign to gain control of West Papua and the confrontation campaign against Malaysia. The New Order government has stressed economic growth, the maintenance of social order and cohesion, and the control of such democraticinstitutions as exist. Nonetheless there is clearly some link between the success of the regime’s economic policies and the type of economic thinking developed by those associated with the PSI in the earlier period, and indeed some former PSI members such as Sumitro have been directly involved in this policy-making. Likewise, some of the methods and standpoints which Sjahrir and his circle adopted may have continuing app to universal or humanistic values: Y.B. Mangunwijaya, a great admirer of Sjahrir, lists humanitarianism, anti-fascism, democracy, clean government, honesty in politics and historical awareness as elements of Sjahrir’s thinking and action which he believes to have continuing relevance. Relevance, however, does not mean prevalence. Legge proposes pragmatism and rational policy-making as central elements in the PSI’s, and Sjahrir’s, mode of political action.

Certainly these elements have been to the fore since 1966, and this is no doubt in part due to the enduring impact of Sjahrir and the PSI on Indonesian political culture. But can this limited impact mask the essentially failed nature of Sjahrir’s endeavour? Rationality was certainly essential to Sjahrir’s thinking, but it stood alongside an ideological standpoint in which democratic values and a pragmatic socialism were indispensable elements, albeit that both of these were complex and qualified.Contrasts as dramatic as that between the politically successful Sjahrir of the forties and the political frustration of the late fifties leave open a great risk of oversimplification, even caricature. Hence it is important to indicate fine shades of difference if possible, highlighting the subtlety of the contrast as well as itssignificance. In this sense, the recounting of history can and ought to be a matter of “chromatic” technique rather than “dialonics”, as James Boon has proposed. The biographical approach carries a rich potential for fulfilling this need, charting the slow and the sudden changes over time, alongside the evolving and the static qualities of the self in the midst of other individuals and alternative selves. It ought to reach beyond binarism and typology to convey impressions of textures and tones of a life. For our present purpose, this means appreciating Sjahrir’s talents and achievements while squarely facing his shortcomings; one should not cancel the other.

CULTURE AND THE TASK OF BIOGRAPHY
In dealing with biographical subjects who come from cultures different to the biographer’s own, it is very easy to misjudge the significance of cultural factors in shaping the subject’s development, either by resorting too readily to cultural explanations or by underestimating their value. People live in a web of culture, but they are not entirely its prisoners; they remain individuals with distinct personalities and they can make choices. They can also work towards new cultural arrangements. Moreover, their lives are played out within a historical context, so that events well beyond their personal, immediate reach can affect their consciousness and behaviour. Part of the task of biography is to unravel these interconnected elements.Examining Sjahrir’s career, including the later, arguably “failed” phase, from a biographical perspective may make it possible to move closer to delineating the interplay of culture, personality and historical circumstance which determined the texture of his political career and his ultimate frustration. Two aspects of culture arise here: the cultural factors which helped to shape Sjahrir’s style, outlook and system of meaning, and the socio-cultural environment in which Indonesian politics of his time was played out.__The cultural element of Sjahrir’s make up is especially difficult, in two ways. First, how much did cultural orientation affect his political life? And second, how is one to describe or define the cultural framework of his life, when he was exposed to such a complex range of cultural intluences as was available to him in colonial Indonesia? He was born at Padang Panjang in the West Sumatran highlands, the heart of Minangkabau culture, but spent most of his childhood outside the Minangkabau area in the city of Medan. His family were securely meshed into the Dutch administrative and educational systems. Sjahrir’s education provided him with a deep grounding in western ideas and values:before ever setting foot on European soil, Sjahrir had spent years in a westernized cultural-intellectual milieu, and had thoroughly absorbed western values and techniques. Little of Minangkabau tradition or subjective self-identification seems to have remained with him, and he is the first choice of scholars wishing to illustrate the stereotype of a westernized Indonesian intellectual. The question of identification is important; it has been called “the most important psychological aspect of culture - the bridge between culture and personality”; hence, the means by which the private self accommodates the demands and options of life in society. To the extent that evidence of Minangkabau identification on Sjahrir’s part is wanting, we are entitled to question the importance of Minangkabau orientation as a factor in explaining or interpreting his career.The question arises here of considering adaptability to modernizing influences as a distinctively Minangkabau cultural attribute. A disproportionately large number of Indonesia’s twentieth century nationalist leaders and other intellectuals were drawn from the Minangkabau. This phenomenon reflects the broader success of Minangkabau in economic and administrative spheres. The view that cultural adaptability, influenced by the tradition of merantau (temporary migration by men beyond the Minangkabau area), played a major part in this is a persuasive one. In this view it is a paradoxical truth that the essence ofMinangkabau identity may lie in a readiness to accept extraneous cultural influences. And yet this fails to explain the great variation in the quality and extent of “deculturation” which various Minangkabau intellectuals exhibited. Swift points out that important Minangkabau politicians were to be found at all points on the Indonesian ideological spectrum but the differences among them go well beyond ideology in the narrow sense. One need only consider a selection of the more eminent Minangkabau intellectuals of the Indonesian mid-century - Hatta, Sjahrir, Natsir, Haji Agus Salim and Tan Malaka among politicians, and the writers Idrus, Chain! Anwar and Sutan Takdir Alisjahbana - to realize the broad spectrum of responses to cultural options: to Minangkabau identity, understandings of “Indonesianness”, responses to modernity and attitudes to tradition, religious adherence and outlooks, and styles of public action. Again, we are entitled to ask how far the concept of Minangkabau culture can take us in understanding why particular individuals developed the characteristics they did.Swift also convincingly argues that a central feature of Minangkabau public life is individual competitiveness. Some other ethnic groups, such as the Bataks, have achieved economic and other success in group frameworks but this, he suggests, would not satisfy Minangkabau ambitions, as they are less prepared to give group advantage priority over, or even a place alongside, individual accomplishment. If we apply this idea to Sjahrir, complex results emerge. His style of thought was certainly individualistic; he was an intellectual with independent habits of thought, and the PSI attracted and sought to produce self- sufficient thinkers. And yet, conditions permitting, he generally worked through groups, not as an isolated polemicist, and certainly he was always concerned to recruit a following, even though he did not extend this to a mass movement.Mrazek puts forward an interesting interpretation of Sjahrir’s early career in terms of a distinctively Minangkabau response to the outside world. He relates Sjahrir’s outlook, and especiallyhis “western” rationalism, to the interaction between the pre existing Minangkabau world view and the new dominance of the Dutch ethici which took hold in the early years of the century, and which had a prevailing influence in his education. This interaction was an effort to integrate or associate the western ideals of universalism, dynamism and rationalism with the tradisionals ideals of the Minangkabau. “Minangkabau was their culture but... Dutch-ness was the culture’s highest quality.”This argument certainly appears to reflect the education received by Sjahrir’s generation of the Indonesian elite, but it seems to fall short in explaining Sjahrir’s particular case, mainly because it fails to explain why Sjahrir’s response should have differed from those of others who experienced similar processes. As already noted, the products of this background ended up with all kinds of outlooks and attitudes to the conflict of tradition and modernity. Sjahrir’s rejection of tradition was quite thoroughgoing, and although it may be argued that his strongest objections were to Javanese rather than Minangkabau tradition, that surely is a function of the very modernization of the Minangkabau which may have brought him to such a position rather than to any active approval of the remaining pre-modern aspects of Minangkabau culture. In other words, he disliked backwardness, regardless of its ethnic associations, rather than reacting negatively to cultural ways because they were alien to the Minangkabau world view. His antagonism to Javanese tradition was doubtless intensified by the concrete frustrations represented by political rivals drawing on this tradition.This is not to suggest that aspects of Minangkabau culture have nothing to contribute to understanding Sjahrir’s development:where they can be related to his concrete experience, they should certainly be taken into account. Education is a case in point, to which I will return later; however not only the content of his education needs to be considered, but also its psychological significance.As well as Minangkabau cultural orientation sits the question of the extent of Sjahrir’s attachment to a developing Indonesian national culture. This is difficult not only because Indonesia’s national culture is not easily described, but also because national consciousness was still only in a formative stage in Sjahrir’s youth. Sjahrir himself played a significant role in the development of important symbols of this national culture. As a nineteen year old he participated in the youth congress which adopted the national anthem and the famous slogan “One nation, one country and one language”.

The designation of Malay as the Indonesian national language marked an important step in the development of national culture, and a major move towards cultural independence, legitimizing for nationalistically minded Indonesians a medium for mutual communication which was not the property of the colonisers or of any one ethnic group. Twenty months earlier, not yet eighteen, he had been one of the founding members of the youth group Jong-Indonesie, subsequently Pemuda Indonesia, one of the first such organisations with a national rather than provincial character. This group adopted as its symbol the red and white banner later to become Indonesia’s national flag!Of course these outward trappings are mere symbols, but the rapid succession of new symbolic representations of national identity is indicative of the embryonic nature of Indonesian national culture at the time. It also powerfully underlines the point that the culture of nationhood, like all culture, is ever subject to change and reassessment by those who adhere to it. It offers its adherents options; individuals are to a greater or lesser degree able to choose their cultural reference points. Sjahrir worked to re-direct Indonesia’s cultural practice towards modernity and rationality; the course of events would show the extent of resistance to these endeavours.Both by circumstance and by his own efforts, Sjahrir’s youth and political career coincided with a time of momentous choices in the referents of Indonesian culture. It is interesting to note that unlike the immediately preceding generation of nationalistsincluding soekarno and hatta, Sjahrir was never a member of a parochial or regional organization; from the start his affiliations were with group which were national as well as nationalist. but it is difficult to use the characteristics of the emergent national culture to explain the kind of of political actor that he became. To the extent that a cultural milieu “produced” him, he was mainly a product of the colonial state, part of a generation who created for the first time a new cultural synthesis which could accurately he called “Indonesian”. He was in fact deeply aware of the absence of a single cultural framework within which an intellectual could operate in Indonesia. In Sjahrir’s view all Indonesian intellectuals were at a great disadvantage where culture was concerned: they were such a tiny proportion of the country’s people, and they were “only beginning to seek a form and a unity” in their outlook and culture!Nonetheless the emergent national cultural framework, fragile and fragmented as it was, is important to understanding his career, as it profoundly influenced the environment within which his political career and personal drama were played out. This took on deep significance after independence when the abiding cultural pluralism of Indonesian society emerged as a major factor in shaping the contours of politics.Cultural difference, or more specifically strong identification among the people with groups divided by cultural antagonisms, was a major element of Indonesia’s post-independence politics. The parties which proved electorally successful were those which managed to attract the support of a distinct socio-cultural stream in Indonesian society. This was especially so in Java, where society is riven by cleavages of cultural and religious orientation, which partly coincide with economic differences. Briefly, these cleavages produced four socio-cultural streams (aliran), each of which gave substantial support to a particular political party in the 1950s. The devout Moslems or santri (a minority at the time) were split between the religiously purist, modernist, more urbanized and more prosperous stream known as santri moderen, who mostlysupported the Masjumi party,and the religiously pluralist (i.e., tolerant of Javanese “impurities” in Islamic practice), conservative, and predominantly rural stream, especially strong in East Java, known as santri kolot who mostly voted for Nahdatul Ulama (NU). Among the non-devout, or syncretist, the aristocratic and bureaucratic elite (priyayi) generally supported the Indonesian Nationalist Party (PNI), as did members of the lower classes subject to their influence. Many other members of the non-devout peasantry gave their vote to the Communist Party (PKI).

To some extent this division was also connected to regionalism. Masjumi derived the majority of its support from the strongly Islamic areas of the outer islands, while the other parties’ support was concentrated in Java. This difference in electoral behaviour reflected not only cultural and religious divisions but also growing regional disaffection with the central government. The PSI, like the other parties which lacked clear appeal to a single aifran, performed poorly in the election, and especially so in East and Central Java.There is no question about the close connection between socio cultural orientation and electoral behaviour, but need it have been so? And need this automatically have meant political failure for Sjahrir and the PSI? Hindsight raises some questions of relevance to assessing Sjahrir’s career: for example, the possibilities for promoting a political culture less tightly linked to aliran loyalties; alternative organizational and electoral strategies which the PSI might have pursued; the prospects of acquiring influence through better relations with other parties and political forces; and making better use of opportunities outside the framework of party and electoral politics.Conclusions about these questions must necessarily remain tentative but several themes recur in examining Sjahrir’s career which are useful in casting light on his character as a political actor, and may go some way to explaining his ultimate failure. His determined belief in rational thought and action, and his consistency in assigning a high value to educational enterprisesare of primary importance, and it is also important to understand his antagonistic relations with many of his political contemporaries.IIEARLY LIFEDetails of Sutan Sjahrir’s childhood are scarce, but some important factors are clear. He was the eighth son of Muhammad Rasjad gelar Maha Radja Sutan of Kota Gedang, a Minangkabau noble and a lawyer, who rose in the colonial administration to become chief public prosecutor in Medan and also an adviser to the Sultan of Deli? Kota Gedang was well known for the success of its sons on the rantau, especially in govermnent employment. Though the village’s population was only about 2500, no less than 165 men of the Kota Gedang lineages were government officials in 1915, about half of whom held posts outside West Sumatra. As a chief prosecutor, Sjahrir’s father was among the most successful of these. Competition was intense for access to European education, but the family’s rank and connections allowed Sjahrir the opportunity to attend Dutch-medium primary (ELS) and secondary (MULO) schools. He was a successful scholar, and education came to take a central place in his life. At the age of sixteen he travelled to Bandung to attend the more advanced Dutch middle school (AMS), where he followed the course based on “western classics”.This type of education was rather a late development in colonial history, and was provided to only a tiny section of society, but it was an education of great rigour and quality. Sjahrir prospered in this environment. In Bandung both his intellectual vigour and his bent towards political activism became apparent. His shyness and slight build meant that at first his classmates hardly noticed him, and when they did so it was because of his intellectual acuity and curiosity. Despite his small size, he was an enthusiastic sportsman, playing for a pan-Indonesian football team, ratherthan the Minangkabau team which also existed in Bandung at the time. He also loved music, and played the violin well. But it was as a student of outstanding ability that he caught his fellows’ attention. Hamdani remembers that “Compared to the rest of us, no subject seemed burdensome or difficult to Sjahrir.” Teachers always called on him to tackle difficult translations from Latin, German, French or English, but perhaps most significantly, he was unafraid to question his teachers about points of history and philosophy. He had an aptitude for asking the right question to bring clarity and understanding to his fellow students.His early political activism also centred around educational enterprises. He helped to lead campaigns against illiteracy, which eventually led to the establishment of the Cahaya “People’s University”, and he took part in didactic plays? He also joined a debating club, where he made a strong impression. One debate about feudalism and the abuse of outmoded tradition became heated and emotional, as many present were themselves children of aristocrats and state officials. Hamdani recalls Sjahrir advancing objective and convincing arguments which restored calm to the situation.HOLLAND: HOME AWAY FROM HOMEEducational success marked the progressions of Sjahrir’s early life: from Medan to Bandung, and then in 1929 from Bandung to the Netherlands to study law, first at Amsterdam and later at Leiden. Two years later he returned home without a degree, but not without an education. His lack of academic progress was not due to a deficiency of talent or energy, but to other calls on his enthusiasm, ultimately leading him home early to fulfil a political duty.The West excited him, and he thrived there? Not all the experience was new: his Dutch education had prepared him so thoroughly that he felt he was “recollecting things I had already known”. In Holland he became active in leftist political circles, including the Dutch Social Democratic Party, international trade union organization, and most importantly, in the nationalist student group Perhimpunan Indonesia (PI). In this organization he first developed a close alliance with Mohammad Hatta, with whom he would maintain a very special personal and political relationship, despite important differences, for the rest of his life. Several of the characteristics of Sjahrir’s political style which would be demonstrated again and again during his career were fixed at this time.But perhaps of greater significance than his formal political involvements was the social atmosphere and the opportunity for advanced intellectual exploration which Holland opened to him. His philosophical rationalism, already evident in Bandung, found its full expression and was given a firm intellectual grounding; and in Marxism he discovered a system of thought which served both his need for a coherent general philosophy and his need for tools with which to analyze the concrete situations of contemporary politics: the rise of fascism, and the historical significance of capitalism and colonialism. Importantly for the later application of his political thinking, Sjahrir was able to integrate his interpretations of the situation of Indonesia with an understanding of global forces and developments.The other major significance of his sojourn in Holland was that it gave him his first direct experience of a non-colonial society. His early life, especially his father’s position in the colonial administration, may have provided him with a close insight into the more unjust and demeaning aspects of colonial relationships. Rose suggests that he may also have been affected by witnessing the sufferings of Javanese labourers who had been brought to the Dutch-owned plantations near Medan. In Bandung he had suffered the experience of being chased by the Dutch police (while trying to read newspaper posters telling of the PKI revolt in 1927) and subjected to insults and violence from sections of the Dutch community. Like Hatta, Sjahrir was profoundly conscious of the psychological abnormality which these unequalrelationships imposed on Indonesian society, and he dwelt at length in his letters on the “inferiority complex” of the colonized. Colonialism had deeply corrupted Indonesia; but in exile he wrote that he “could never be so happy here as in Holland...where there are no colonial relationships...” Sjahrir’s depth of consciousness of the human destructiveness of colonialism was only made possible by experiencing the relative liberality of conditions in the colonialists’ homeland, where racial and cultural barriers were lowered. Thus Sjahrir’s two short years in Holland turned out to be a deeply liberating period for him, both intellectually and spiritually, amid of immense importance to the development of his career.When he first arrived in Amsterdam, Sjahrir shared the home of his much older sister Siti Rohana, who had been living there for sometime. Siti Rohana was herself an activist of considerable note, a journalist and pioneering feminist. Tas recalls that Sjahrir found her dominance something of an irritation and an embarrassment. Remembering that he had left the family home at sixteen, casting off whatever there may have been of “the puritanism of his Islamic Minangkabau background”, his chafing at having his freedom curtailed, however mildly, is hardly surprising.This minor problem aside, Sjahrir threw himself into exploration and experimentation with all the exciting possibilities that the West held. His thirst for new knowledge never lost its tempo, but his organized coursework quickly gave way to a more wide- ranging and personal search for answers to the myriad problems of life and politics. For a time he lived with a group of anarchists before returning to the mainstream of socialist thought.

He also enthusiastically pursued his musical interests, attending the free “people’s concerts”.He also developed a relationship with Maria Duchateau Tas, wife of his Dutch socialist comrade Sol Tas; she and Sjahrir were later married (by proxy) during his exile in Banda, although the colonial authorities would not let her enter the Indies, and hence they were never re-united. They were divorced in 1948._____________________Ket. : Buku Indonesian Political Biography, In Search of Cross Cultural Understanding adalah buku yang memuat uraian tokoh-tokoh Indonesia. Ada yang pernah baca ?. Teman saya Aboeprijadi (Tossi) mengirim tulisan diatas.

Elliott Roosevelt


Molenvliet


Jakarta oh Betawiku


Gencatan Senjata Indonesia-Belanda 1946


Rapat Raksasa Ikada 61 tahun yang lalu.




61 TAHUN RAPAT RAKSASA IKADA
INDONESIA MERDEKA
Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi hari (waktu Tokyo)bertempat dimuka rumah dijalan Pegangsaan Timur no.56 telah diadakan upacara PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA. Dalam peristiwa ini Ir Sukarno dihadapan rakyat Jakarta Raya membacakan teks Proklamasi yang berbunyi :
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan KEMERDEKAAN INDONESIA, hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Peristiwa ini dapat berlangsung berdasarkan musyawarah para pemuka rakyat dari seluruh Indonesia menjelang pagi hari dirumah Laksama Maeda jalan Imam Bonjol no.1[1] Jakarta, yang berpendapat bahwa telah tiba saatnya untuk menyatakan kemerdekaan itu. Mengingat lembaga dimana para pemuka rakyat Indonesia ini bergabung pada zaman Jepang bernama PANITIA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA (disingkat PPKI) maka dapat dikatakan lembaga inilah yang kemudian bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan tindak lanjut amanat PROKLAMASI.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 bertempat digedung BP7 sekarang[2], Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengambil keputusan, mensahkan dan menetapkan UUD dasar negara Republik Indonesia. Isi UUD ini yang utama adalah membentuk Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan ditangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian. Setelah itu PPKI melaksanakan pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dalam hal ini secara aklamasi disetujui Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai wakil Presiden. Selain itu ditetapkan pula bahwa untuk sementara waktu Presiden dibantu oleh sebuah Komite Nasional (KNI). Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI menetapkan adanya 12 Kementerian dalam Pemerintahan NKRI dan pembagian daerah menjadi 8 Propinsi yang dikepalai seorang Gubernur. Setiap Propinsi dibagi dalam Kresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional daerah.

PPKI berhubung dengan semangat baru dalam alam kemerdekaan, secara singkat kemudian disebut PANTIA KEMERDEKAAN (PK) [3]. Dalam sidangnya tanggal 22 Agustus 1945 PK membentuk Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat.

Anggota KNI pusat (KNIP) dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 oleh Presiden Sukarno.bertempat digedung Kebudayaan (sebelumnya bernama gedung Komidi sekarang gedung Kesenian). Dalam sidang KNIP malam hari telah terpilih Mr Kasman Singodimedjo sebagai ketua, Sutardjo Kartohadikusumo sebagai wakil ketua I, Mr.J.Latuharhary sebagai wakil ketua II dan Adam Malik sebagai wakil ketua III.

Pada tanggal 31 Agustus 1945, atas perintah Presiden dikeluarkan maklumat Pemerintah yang berisi, berhubung dengan pentingnya kedudukan dan arti KNI untuk memusatkan segala tindakan dan susunan persatuan rakyat maka gerakan dan persiapan PNI untuk sementara waktu ditunda dan aktivitasnya harus dicurahkan kedalam KNI.

Kabinet pertama (Presidensiel) baru terbentuk pada tanggal 5 September 1945 dimana Bung Karno bertindak selaku perdana menteri dan sejumlah pemuka ditunjuk sebagai menteri dalam 12 Kementerian yang disebut diatas. Pemerintahan ini juga memiliki 4 orang menteri negara dan 4 pimpinan lembaga lainnnya yaitu, Ketua Mahkamah Agung, Jakasa Agung, Sekretaris Negara dan Juru bicara negara.

IBUKOTA JAKARTA
Daerah Jakarta Raya dizaman Jepang berbentuk daerah khusus kota besar (Tokobetsu) dan Soewiryo menjabat wakil walikota. Pada saat kemerdekaan tahun 1945 Soewirjo mengambil alih jabatan walikota tersebut kemudian menunjuk Mr Wilopo sebagai wakilnya. Meskipun Pak Wirjo begelar Walikota namun dia lebih dikenal sebagai Bapak Rakyat Jakarta. Sebagai orang yang berkecimpung lama dalam Pemerintahan Kota aktifitas beliau amat khusus. Kantornya dibalai kota jalan Merdeka selatan Jakarta sekarang. Saat Proklamasi 17 Agustus 1945 dipegangsaan timur 56, Pak Wiryo bertindak selaku ketua panitia mempersiapkan dan menyelenggarakan acara tersebut. Ketua KNI Jakarta Raya adalah Mr Mohammad Roem. Pengurus pusat Komite Nasional dan cabang kota Jakarta serta pengurus besar PNI berkantor dibekas gedung Jawa Hokokai (sekarang gedung Mahkaman Agung disamping Departemen Keuangan lapangan Banteng Jakarta). Gedung milik RI inipun dipergunakan sebagai tempat rapat-rapat kabinet yang pertama.

Setelah 17 Agustus 1945, berita Proklamasi dari Jakarta segera menyebar kseluruh tanah air melalui media elektronik (saat itu radio dan kontak-kontak telegrafis) dan cetak maupun dari mulut kemulut. Dengan sendirinya timbullah reaksi spontan yang amat bergelora. Akibatnya selama bulan Agustus dan September 1945 telah diadakan berbagai kegiatan massa seperti rapat-rapat regional wilayah maupun rapat-rapat lokal ditingkat kecamatan-kelurahan atau pada tempat-tempat berkumpul lainnya. Rapat wilayah kota Jakarta yang cukup besar terjadi pada ahir bulan Agustus 1945. Yaitu rapat rakyat dalam rangka menyambut berdirinya KNI yang bertempat dilapangan Ikada. Setelah rapat bubar, sebahagian massa mengadakan gerakan pawai berbaris mengelilingi kota dengan mengambil rute Ikada, Menteng Raya, Cikini dan Pegangsaan Timur. Dimuka rumah Pegangsaan Timur 56, Presiden Sukarno dan Ibu Fatmawati serta sejumlah menteri menyambut[4].

RAPAT RAKSASA IKADA
Kegiatan rakyat seperti ini menarik perhatian pihak Jepang dan khawatir akan menimbulkan hal-hal yang berlawanan dengan dengan ketentuan penguasa Jepang sesuai instruksi sekutu[5]. Maka pada tanggal 14 September 1945 dikeluarkan larangan untuk berkumpul lebih dari 5 orang. Ditambah larangan untuk melakukan kegiatan-kegiatan provokasi yang memunculkan demonstrasi melawan penguasa Jepang. Padahal saat itu sedang dipersiapkan sebuah rapat yang lebih besar dan sudah bersifat rapat raksasa yaitu Rapat Raksasa Ikada.

Ide pertama rencana tersebut, datangnya dari para pemuda dan mahasiswa dalam organisasi Commite van Actie yang bermarkas di Menteng 31 Jakarta[6], untuk mengadakan peringatan 1 bulan Proklamasi pada tanggal 17 September 1945. Gagasan ini didukung oleh Pak Wirjo selaku walikota Jakarta Raya dan ketua KNI Jakarta Raya, Mr Mohammad Roem. Maka dengan serentak Pemuda-Mahasiswa menyelenggarakan persiapan teknis berbentuk panitia. Lebih lanjut kemudian mereka mengkomunikasikan rencana tersebut pada pimpinan rakyat tingkat kecamatan (saat itu bernama Jepang, Siku) maupun kelurahan. Akibatnya berita ini menyebar amat luas sampai keluar Jakarta.

Tapi rencana ini tidak dapat segera terlaksana karena Pemerintah Pusat menolak menyetujuinya dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya bentrokan fisik dengan tentara Jepang yang masih berkuasa yang seperti dikatakan diatas, sudah befungsi sebagai alat sekutu. Melihat situasi ini pihak panitia kemudian memundurkan acara menjadi tanggal 19 September 1945 dengan harapan Pemerintah mau menyetujuinya.

Menurut Pemuda-Mahasiswa Rapat Raksasa ini amat penting. Karena meskipun gaung Kemerdekaan sudah menyebar kemana-mana sejak Proklamasi, namun rakyat belum melihat terjadinya perubahan-perubahan nyata ditanah air. Misalnya hak dan tanggung jawab Pemerintah belum nampak dalam aktifitas kenegaraan sehari-hari, apalagi kalau dikaitkan dengan amanat Proklamasi. Maka Rapat Rksasa amat perlu untuk menggambarkan bahwa NKRI memiliki legitimasi sosial-politik dengan cara mempertemukan langsung rakyat dan pemerintah.. Dan dalam kesempatan ini diharapkan rakyat mendukung Pemerintah RI yang merdeka dan berdaulat. Mungkin Presidenpun akan memberikan komando-komandonya.

Dalam perkembangan selanjutnya meskipun telah diadakan pertemuan antara panitia dan Pemerintah tetap tidak dicapai kata sepakat. Ahirnya pada tanggal 19 September 1945 tiba juga. Sejak pagi hari rakyat yang sudah yakin akan diadakan rapat raksasa tersebut sejak subuh pagi hari berduyun-duyun mendatangi lapangan ikada dan berkumpul membentuk kesatuan massa yang amat besar. Untuk menenangkan massa rakyat ini, pihak Pemuda-Mahasiswa mengajak bernyanyi. Atas usaha panitia, telah siap sistim pengeras suara yang cukup memadai, ambulance kalau-kalau diperlukan ada yang membutuhka pertolongan medis, dokumentasi yang dilaksanakan oleh juru foto dari kelompok ikatan jurnailistik profesional maupun amatir serta camera man Berita Film Indonesia (BFI).

Pihak penguasa Jepang yang melihat derasnya arus rakyat yang menuju Ikada dan telah berkumpulnya massa yang besar, memanggil para penaggung jawab daerah Jakarta. Pak Wiryo dan Mr Roem mendatangi kantor Kempetai dan berusaha menjelaskan maksud dan tujuan dari berkumpulnya rakyat di Ikada dan mengatakan gerakan spontan ini hanya bisa diatasi oleh satu orang yaitu Presiden Soekarno sendiri. Tapi pihak Jepang tidak mau mengambil resiko dan mengirim satuan tentara yang dilengkapi kendaraan lapis baja. Penjagaan segera dilaksanakan oleh pasukan bersenjata dengan sangkur terhunus dilengkapi peluru tajam.

Sementara kabinet Pemerintah RI tetap menolak. Bahkan ada berita kalau Presiden dan kabinetnya kalau perlu akan bubar. Mahasiswa segera mengambil inisiatip. Mereka mendatangi Presiden Soekarno pagi subuh tanggal 19 September 1945. Dijelaskan bahhwa Jepang tidak mungkin akan bertindak keras karena sesuai dengan tugas`sekutu, amat berbahaya bagi keselamatan kaum interniran[7]. Selain itu tentara Jepang akibat kalah perang telah kehilangan semanngat. Nampaknya Presiden mau diajak kompromi dan berjanji akan membicarakannya dalam rapat kabinet pagi hari.

RAPAT KABINET
Pada tanggal 19 September 1945 pagi hari memang berlangsung rapat kabinet untuk membicarakan antara lain akan dibentuknya Bank Negara Indonesia. Rapat yang sedang berlangsung digedung ex Jawa Hokokai[8] tidak kunjung selesai juga sampai waktu telah menunjukkan pukul 16.00. Para Pemuda-Mahasiswa mendesak terus agar Presiden segera berangkat ke Ikada. Mereka mengatakan bahwa tidak akan bertanggung jawab kalau masa berbuat sesuatu diluar kontrol, padahal rakyat hanya menginginkan kedatangan para pemimpinya untuk menyampaikan amanat sebagai kelanjutan Proklamasi. Sebagai jaminan Pemuda-Mahasiswa akan menjaga keselamatan para anggota kabinet tersebut. Ahirnya Presiden Sukarno mengambil keputusan akan ke Ikada. Bagi para anggota kabinet lainnya yang berkeberatan dipersilahkan untuk tidak ikut. Namun nyatanya semua yang hadir dalam gedung ex Jawa Hokokai dengan kendaraan masing-masing juga menuju Ikada. Presiden Sukarno dikawal Pemuda-Mahasiswa dengan menggunakan mobil menuju lapangan Ikada dengan lebih dahulu mampir di Asrama Prapatan 10 Jakarta karena akan bertukar pakaian.

Ketika Presiden tiba rombongannya ditahan oleh sejumlah perwira Jepang utusan dari Jenderal Mayor Nishimura yaitu yang dipimpin oleh Let.Kol Myamoto. Jelas ini bukan Kempetai dan menggambarkan Jepang memakai kebijaksanaan lunak. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menjamin akan mampu mengendalikan massa meskipun nampaknya massa rakyat sudah siap bentrok fisisk. Hal ini dapat terlihat dimana rakyat yang mempersenjatai diri dengan bambu runcing, golok, tombak dan sebagainya[9].

PIDATO 5 MENIT
Ternyata Presiden hanya bebicara tidak lebih dari lima menit lamanya. Yang isinya : Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, maka kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin.

Setelah pidato Presiden selesai rakyat yang sudah bertahan di Ikada selama lebih dari 10 jam ahirnya bubar dengan teratur tampa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal kalau diperhitungkan massa yang besar tersebut sudah bersifat ancaman (prediksi) terjadinya konflik fisik yang mungkin dapat memunculkan pertumpahan darah yang tidak terkira.
Nampaknya semua pihak puas. Rakyat puas atas kemunculan Presiden dan para menterinya. Demikian pula Pemerintah senang karena dapat memenuhi tuntutan pemuda mahasiswa. Lebih-lebih Jepang yang terhindar dari sikap serba salah. Rupanya mereka takut mendapat sangsi pihak sektu kalau tidak mampu mengatasi keadaan Jakarta dari keadaan yang teteram dan damai.

ARTI DAN MAKNA RAPAT RAKSASA IKADA 19 SEPTEMBER 1945.
Apakah arti dan manfaat Rapat Raksasa Ikada ?
1. Sebagai titik pangkal dukungan politik dan kesetiaan rakyat secara langsung atas telah berdirinya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai realisasi amanat Proklamasi, rakyat kemudian melakukan pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang termasuk pengambil alihan semua fasilitas pemerintahan.
2. Kesetiaan rakyat ini merupakan awal dari gerakan mempertahankan kemerdekaan selanjutnya. Tindakan yang segera dilakukan adalah pengambil alihan fasilitas militer dari Jepang. Dan setelah September 1945, muncullah perlawanan bersenjata rakyat terhadap kaum penjajah diberbagai daerah seperti, pertempuran Surabaya, disekitar Jakarta, Bandung lautan Api, pertempuran 5 hari di Semarang, di Magelang, Ambarawa, di Palembamg, di Medan dan masih banyak lagi.
3. Pihak sekutu yang wakil-wakilnya sudah mulai berdatangan ke Indonesia, melihat bahwa informasi Pemerintah Hindia-Belanda dipengasingan tidak benar bahwa Pemerintah RI yang baru berdiri hanya semata-mata bikinan Jepang atau merupakan boneka Jepang. Pemerintah RI adalah Pemerintah sah yang legitimate yang didukung rakyat. Dan rakyat Indonesia tidak bersedia untuk dijajah kembali. Kekhawatiran pihak sekutu terutama pada keselamatan ratusan ribu kaum interniran yang berada dipedalaman. Mereka masih bertanya-tanya langkah apa yang terbaik yang harus dilakukan. Melihat kepatuhan rakyat dalam Rapat Raksasa Ikada ini kepada Soekarno, mereka mengambil sikap untuk mengajak kerja sama pemerintah RI dalam penyelesaian pengangkutan Jepang dan evakuasi para interniran dan mengumpulkannya di Jakarta. Panitia kerja sama Inggris-Indonesia ini dalam tahun 1946 resmi bernama PANITIA OEROESAN PENGANGKUTAN DJEPANG DAN APWI (POPDA).

[1] Dizaman Jepang bernama jalan Myakodori
[2] Jalan Pejambon, disebelah gedung Pancasila sekarang.
[3] Osman Raliby, Documenta Historica, 1953, hal 15
[4] Berita Film Indonesia no.2 tahun 1945.
[5] Setelah Jepang takluk tanggal 15 Agustus 1945, resminya yang berkuasa adalah sekutu sebagai pemenang perang dunia ke 2. Tanggal 8 September 1945 mendarat di kemayoran dengan payung sejumlah perwira sekutu. Dan tanggal 16 September 1945, tiba di Tanjung Priok sejumlah kapal perang sekutu dipimpin Laksamana Peterson. Diatas kapal bendera Cumberland, ikut sejumlah pejabat sipil dan militer Belanda.
[6] Commite van Actie mula-mula bermarkas di Prapatan 10, kemudian pada tanggal 25 Agustus 1945 pindah ke Menteng 31.
[7] Tugas sekutu adalah melucuti Jepang dan mengevakuasi APWI (Allied Prisoner of War).
[8] Sekarang gedung Mahkamah Agung Lapangan Banteng Jakarta
[9] Sebenarnya rakyat Jakarta bukan sama sekali tidak terlindungi. Pada tanggal 22 Agustus 1945 telah terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Dalam badan ini bergabung tenaga professional ex PETA, HEIHO, kaum para militer seperti KEIBODAN, SEINENDAN, disamping pemuda-mahasiswa yang sudah terlatih dibidang militer dizaman Jepang. Selain itu sudah sempat dikumpulkan sejumlah senjata dan munisi kalau-kalau Jepang akan menggunakan kekuatan militernya. Pimpinan BKR Jakarta adalah ex`Shudancho Mufraini Mukmin.

Kwangkai - Tradisi Adat Dayak Benuaq


Suku Dayak, boleh dibilang, termasuk salah satu sukuterbesar di Indonesia. Mereka mendiami hampir seluruhPulau Kalimantan (pulau terbesar di Indonesia).Terutama di daerah pegunungan atau pedalaman.Sementara di sekujur pesisir/pantainya, berdiam sukuBanjar, Kutai, Melayu dan para pendatang dari Bugis,Makassar, Jawa, Madura, Toraja, bahkan Batak.Dalam sebuah penelitian, disebutkan, pada mulanya sukuDayak berasal dari Provinsi Yunan, sebuah daerah diselatan China (Mainland). Mereka kemudian bermukim diApo Kayan, daerah Long Nawan sekarang, dekatperbatasan dengan Malaysia. Kapan datangnya, tidakseorang pun tahu –karena kebudayaan Dayak tidakmeninggalkan catatan2 tertulis. Setelah itu merekamenyebar ke seluruh pelosok Kalimantan, terutama disepanjang aliran sungainya.Mungkin, karena penyebaran itu pula --karena faktoralam yang membedakannya- -, kebudayaan dan bahasamereka juga lalu berbeda2 antara satu sama lain. Saatini, tidak kurang sekitar 400 sub-etnik Dayaktercatat dalam keluarga besar Dayak. Mulai dari Iban,Punan, Ngaju, Kenyah, Benuaq, Bahau, Tunjung, Modang,Kayan, Kendayan, Penihing, dsb.Asal kata Dayak sendiri hingga sekarang orang masihberbeda pendapat. Ada yang menyebutnya berasal darikata‘Daya’, yang dalam bahasa Kenyah berarti hulu sungaiatau pedalaman. Namun ada juga –terutama orang luarDayak pada abad lalu—yang mengartikannya sebagai headhunters atau pengayau. Hal itu dimungkinkan karenatradisi masa lalu mereka yang suka berperangantarsuku, dengan memenggal kepala musuhnya sebagaiperlambang penaklukan sekaligus juga ‘teman’ (bagimereka, kepala musuh yang sudah dipenggal itu bisajuga diartikan sebagai teman, karena selain bisapelindung mereka dari roh2 jahat, juga bisa membawaberkah atau rejeki).Namun kini tradisi mengayau itu secara bertahap sudahmulai dihilangkan. Kehidupan mereka yang selama inimasih banyak yang nomaden dengan pola hidup berpindahsesuai dengan mata pencaharian mereka yang masihmemanfaatkan ladang berpindah, secara bertahap sudahmulai menetap –baik secara pemukiman maupun matapencaharian. Terutama setelah para misionaris masuk kedaerah itu di awal abad XX lalu. Agama lalu menjadipegangan hidup mereka, tidak lagi ‘kuasa2 gelap’ yangselama ini menuntun mereka. Kalaupun ada salah satusuku di antara mereka yang masih ‘konsist’ dengan polahidup yang ‘lama’ –berburu dan hidup di hutan2 liarsecara bebas—adalah suku Punan. Ketemu orang pun,konon kabarnya, mereka ‘lari’ (baca: menghindar).Tentu saja masih ada di antara mereka yang masihmelestarikan tradisinya. Di desa Muara Tae, KabupatenKutai Barat (sekitar 500 Km dari Balikpapan), sayamenjumpai suku Benuaq masih tetap melestarikankebiasaan Kwangkai –yakni kebiasaan potong kerbauuntuk menghormati para leluhur, khususnya dalam acarapemindahan tulang belulang leluhur yang selama inimerekataruh di peti2 mati, dan tidak dikuburkan. Kebiasaanini ada kemiripannya dengan upacara pemotongan kerbaudi Toraja, Sulsel, meski dengan prosesi yang lain.Acaranya sendiri cukup menarik! Masyarakat dariberbagai penjuru datang berbondong2 untuk menghadiriupacara yang dikonsentrasikan di sebuah lapangan luasyang terbuka. Di tengah2, terikat seekor kerbau dengantali kuat di lehernya sepanjang 20 meter yang terikatdi sebuah tiang. Logikanya, apabila acara pembantaiandimulai, kerbau itu hanya punya ‘wilayah’ untuklari atau bergerak ya sejauh 20 meter itulah!Setelah melalui beberapa upacara prosesi adat –yangdilakukan tetua adat dan tokoh2 informal lainnya--,upacara pun dimulai! Kerbau dilepas, tetabuhandibunyikan, dan orang2 yang memegang mandau(pedang), tombak, bambu, kayu, cemeti di tangannya,segera merangsek ke tengah menyerang kerbau. Tak lamakemudian, kerbau tsb terluka. Dan ia –karena sakitatau terdesak-- tentu melakukan perlawanan.Kejar2an pun terjadi di antara mereka. Semakin seruserangan itu, semakin riuhlah mereka: bertepuk danbersorak! Sampai akhirnya kerbau itu lemas sendiri danterkulai di hadapan mereka. Pada saat itulah, secarabersamaan mereka beramai2 menombaknya dan membunuhnya–sebelum akhirnya mencincangnya untuk dibagi dagingnyadalam acara makan malam bersama! Fantastis!Sadis? Kalau Anda pecinta binatang mungkin demikian.Tapi ketika hal yang sama saya tanyakan pada tetuaadatnya, ia hanya tersenyum dan menjawabnya dengankalem: “Ya, masih lebih bagus ketimbang harus‘disalurkan’ ke jalan yang salah di tengah2 masyarakat(saat mereka masih tinggal di hutan dulu)”.Katarsis? Maybe. Agama memang tidak selalu secaralangsung bisa‘memanusiakan’ manusia. Ia perlu waktu, perluproses, transisi –sebelum semuanya menjadi pedomanhidup bersama. Dalam masyarakat ‘modern’ sekali pun,sebenarnya hal yang sama juga terjadi. Cuma ‘caranya’saja yang beda, yang konon kabarnya lebih ‘halus danberbudaya’:-)

From Kalimantan with Love,Indiana Jones

Donny Budiman

NKRI bukan kunci rahasia kemakmuran ?

Selama 56 tahun sudah kita berjalan menelusuri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak itu belum ada tanda-tandanya kemakmuran akan segera datang. Ketika sedang membaca koran tua di Perpustakaan Nasional, saya tertarik pernyataan Pers Presiden Republik Indonesia Serikat, Soekarno menjelang hari Proklamasi tahun 1950. Ketika kembali dari perjalanan dinas ke Yogya, kembalinya beliau ke Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1950, maka berkatalah beliau seperti guntingan koran dibawah ini. Siapa yang mau kasih komentar ?.

RRI 61 tahun


Bintang Ratna Suci dan Rapat Samudera


Hubungan Indonesia-Belanda dalam wujudnya yang baru

Sebenarnya hubungan Indonesia-Belanda tidak perlu terlalu jelek, kalau saja kita melihatnya untuk kepentingan bersama yang ajek (tidak berubah-ubah) dan langgeng (abadi) serta lestari (kekal). Kecurigaan kalau teman seiring akan menbokong kita tentu, saja tidak akan memunculkan niat yang baik. Lebih dari itu sikap dan tingkah laku yang santun pasti diharapkan dari kedua pihak. Ini akan membuahkan nilai persahabatan yang meningkat. Jangan dikira orang Belanda tidak punya budaya kesopan. Tentu saja bentuk kesopanan dalam budaya bangsa masing-masing, berbeda. Mungkin peningkatan hubunganlah yang bisa menumbuhkan saling kenal yang penuh rasa pengertian. Lebih dari itu soal dendam kesumat kadang menimbulkan pertanyaan, "binatang apakah itu?". Coba bayangkan apa jadinya kalau sifat-sifat itu dipertahankan ?. Para Veteran Indonesia-Belanda yang sering mengadakan pertemuan bilateral, pasti akan beremosi untuk jotos-jotosan atau paling tidak saling maki. Saya punya dua orang teman perwira tinggi. Yang pertama ayahnya dibunuh tentara Belanda saat aksi polisionil pertama, karena menutup mulut untuk membuka rahasia. Orang kedua, masuk penjara sejak tahun 1947 dan baru dibebaskan pada tahun 1949. Dalam penjara dia mendapatkan penyiksaan dan penghinaan. Saya juga heran karena keduanya tidak merasa dendam pada pihak Belanda. Bahkan menceritakan pengalamannya kepada para veteran Belanda secara berkelakar. Sebenarnya orang Indonesialah yang pantas menunjukkan bagaimana sikap seorang timur itu seharusnya. Saya yakin orang Belandapun akan mengerti maksudnya. Meskipun Kipling pernah berkata : "East is East and West is West. And never the twain shall meet". Saya tidak percaya itu. Pasti ada jalan keluar agar maksud dan tujuan untuk peningkatn mutu persahabatan kedua bangsa itu bisa dicapai. Tahun ini pada bulan November 2006 akan diselenggarakan peringatan 60 tahun berlangsungnya perundingan pertama untuk mencapai persetujuan dekolonisasi yang dikenal sebagai "Persetujuan Linggajati". Meskipun pada ahirnya terjadi "Agresi Militer Belanda pertama (Juli 1947)". kami tidak berpikir sampai kesitu. Nilai maksud dan tujuan yang baik dari kedua bangsa yang diwakili oleh masing-masing delegasi saat itu, akan selau diperhatikan. Tidak kurang Prof Dr Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda (1941-1946) dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir telah membuktikan itu semua, meskipun keduanya harus mempertaruhkan nama baiknya dalam Sejarah Bangsanya masing-masin. (disumbangkan untuk direnungkan, ... Overpeinzing)

Mengenang Pak Karbol


Hubungan Indonesia-Belanda pasca Kemerdekaan R.I yang ke 61

Eddi Santosa - detikcom
Den Haag - Hubungan bilateral kedua negara mengalami peningkatan tajam, setelah Belanda menerima secara politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945."Hubungan bilateral Indonesia-Belanda saat ini sangat baik dan mengalami kemajuan signifikan," kata Menlu Bernard (Ben) Bot dalam konferensi pers bersama Menlu Hassan Wirajuda dan Menteri Kerjasama Pembangunan Agnes van Ardenne-van der Hoeven di Kementerian Luarnegeri Belanda, Bezuidenhoutseweg 67, Den Haag (28/8/2006). Menlu Hassan Wirajuda berada di Belanda selama tiga hari (28-30/8/2006) untuk melakukan kunjungan kerja balasan.

Dalam kesempatan itu Bot kembali menyinggung terobosan pemerintah Belanda tahun lalu untuk -setelah 60 tahun- secara politik dan moral menerima proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945, yang disusul dengan kehadirannya secara fisik dalam upacara kenegaraan HUT ke-60 RI, mewakili dan sebagai anggota kabinet Belanda pertama dalam sejarah.Sejak itu hubungan diplomatik kedua pihak berjalan tanpa beban dan kerjasama bilateral semakin meningkat, antara lain bantuan kemanusiaan, beasiswa untuk mahasiswa dan profesional Indonesia, kerjasama pembangunan, perdagangan, lingkungan, dan pemberdayaan hukum.Terobosan Ben Bot itu selanjutnya juga disusul dengan kunjungan PM JP Balkenende, Menteri Ekonomi L. Brinkhorst (bersama delegasi pengusaha), Menteri Kerjasama Pembangunan Van Ardenne-van der Hoeven, dll."Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, pemerintah Belanda memberikan bantuan senilai 6 juta euro dan dari masyarakat Belanda 17 juta euro," ungkap Bot, seraya menggarisbawahi ketahanan Indonesia menghadapi berbagai bencana yang sangat berat.Terkait ini, Menteri Kerjasama Pembangunan Agnes van Ardenne menyampaikan akan kembali mengunjungi Indonesia Oktober mendatang untuk meninjau bantuan proyek pembangunan kembali Aceh, antara lain pelabuhan yang menjadi nadi ekonomi dan proyek-proyek lainnya di Kalimantan.Mengenai Papua dan Aceh, Bot menegaskan bahwa Belanda mendukung integritas negara Indonesia dan tetap akan membantu membangun dan memajukan kedua wilayah itu, baik dengan bantuan sumber daya manusia maupun dana.Secara terpisah, Menlu Hassan Wirajuda mengatakan bahwa hubungan bilateral kedua negara kini bisa berjalan tanpa dihantui beban akibat sejarah bersama di masa lalu. Dalam waktu dekat, dijadwalkan Menkum HAM Hamid Awaludin dan Menteri Pertahanan akan melakukan kunjungan kerja ke Belanda. Menhan akan meninjau proyek kapal perang jenis korvet yang saat ini sedang dikerjakan di galangan kapal Vlissingen. Sebagian dari proyek ini dikerjakan di PT PAL Surabaya.

Lord Killearn penengah perundingan Indonesia-Belanda


Revolusi di Nusa Damai, Ktut Tantri


Pangeran Antasari


Monaco vs Indonesia, soal bendera ?



Untuk mengenang tokoh Kedokteran Nasional, AURI dan RRI.

Akhir sebuah Imperium


Proyek Rumah Proklamasi




Pada tahun 2005, jadi 60 tahun Republik Indonesia, kami telah mengadakan kegiatan-kegiatan untuk memperkenalkan apa yang dinamakan "Komite Pembangunan Rumah Proklamasi". Untuk jelasnya bisa dibaca pada Proposal awal sebagaimana tertera :
PENDAHULUAN
Pada tahun 1962, ketika sedang dilaksanakannya pembangunan gedung pola, tiba-tiba saja Presiden Soekarno memutuskan akan membongkar Rumah Proklamasi yang terletak dijalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta. Berita ini muncul secara ekstrim diberbagai koran ibu kota. Henk Ngantung yang menjabat Gubernur DKI Jaya, merasa amat prihatin dan secara khusus menghadap Presiden dengan maksud membujuk agar mau membatalkan rencana tersebut. Tapi rupanya tampa alasan yang jelas bahkan sampai kini masih merupakan misteri, pembongkaran jadi juga dilakukan. Namun usaha Henk Ngantung tersebut tidak seluruhnya sia-sia. Presiden setuju bahwa dikemudian hari, rumah bersejarah ini dapat dibangun kembali. Untuk keperluan tersebut Gubernur menugaskan sejumlah stafnya untuk membuat maket, foto-foto dan menyimpan sejumlah perabot rumah tangga agar dikemudian dapat dipergunakan secara semestinya.
Pada tahun 2002, sejumlah eksponen 45 memprakarsai rencana pembangunan kembali rumah Proklamasi pada tempat aslinya. Beberapa kali pertemuan telah diadakan dan baru pada tahun 2005 dapat terealisasikan. Untuk ini telah diupayakan antara lain perencanaan pembangunan kembali rumah Proklamasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai MUSIUM PROKLAMASI.
MAKSUD DAN TUJUAN
Rencana pembangunan kembali rumah Proklamasi dimaksudkan agar situs tempat diadakannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang bertempat dijalan Pegangsaan Timur (sekarang jalan Proklamasi) dilengkapi dan disempurnakan.
Dengan tujuan rumah Proklamasi dan daerah sekitarnya dapat dijadikan symbol tempat lahirnya Bangsa Indonesia dan sebagai modal dasar pelestarian nilai-nilai kejuangan 45 untuk antara lain mempertahankan wujud nyata Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ORGANISASI DAN TATALAKSANA
Organisasi yang akan melaksanakan pembangunan ini bernama KOMITE PEMBANGUNAN RUMAH PROKLAMASI. Usaha yang datangnya murni dari masyarakat ini diprakarsai oleh YAYASAN 19 DESEMBER 1948 dan YAYASAN 19 SEPTEMBER 1945 dan akan didukung oleh sejumlah besar lembaga sosial masyarakat lainnya.
Penatalaksanaan pembangunan akan dilaksanakan oleh tenaga professional terdiri dari arsitek dan sarjana teknik sipil yang berpengalaman dalam heritage conservation. Juga akan akan terlibat para sejarawan, ahli arkheologi, seni rupa dan ahli permusiuman.
Yang juga akan dimintakan peran aktifnya agar situs ini punya makna mendasar bagi pembangunan lanjut bangsa Indonesia, adalah para sarjana budaya, psikologi dan filsafat.
HAL-HAL YANG SUDAH DILAKSANAKAN
Sejak tiga tahun yang lalu telah diadakan penelitian kesejarahan berbentuk pengumpulan dokumen tata bangunan, foto, guntingan Koran, buku-buku maupun catatan untuk menyusun konsep kasar proposal awal ini (prelemenary study). Bahan-bahan ini telah dibicarakan dalam forum yang terbatas dipimpin Bapak Pamoe Rahardjo dengan tempat di gedung BP7, YAPETA, kantor Yayasan 19 Desember 1948, kantor Yayasan 19 September 45 bahkan telah dirapatkan pula dikantor Pemerintah Daerah tk I DKI Jaya. Para anggota forum awal terdiri dari :
Pamoe Rahardjo (almarhum)
M.Jusuf Ronodipuro
HMS Tadjoedin
Rushdy Hoesein
Wisnu Murti Ardjo (almarhum)
Bambang Gambiro
Tonie Suprapmanto
Dalam perkembangannya karena Bapak Pamoe Rahardjo meninggal dunia, maka pimpinan forum diserahkan kepada Bapak Herman S.Soediro. Dan anggota forum ditambahkan Sdr Pudjono.
Kemudian atas bantuan Nadhia Vitari ST. M.Des Sc dan Riki Riwantoro MT, telah berhasil dibuat maket 3 D visualisasi dan perhitungan kasar beaya serta jadwal waktu pembangunan.
SUMBER DANA DAN DAYA
Disadari bahwa kewajiban pembangunan kembali ini harus melibatkan semua potensi bangsa, maka Komite berpendapat untuk melibatkan setiap potensi yang ada baik pada tahap awal atau pengembangan dan peningkatan museum Proklamasi dikemudian hari.
Gambaran kasar pembeayaan saat ini yang dibutuhkan adalah :

Tahap persiapan Rp 3.000.000.000,-
Pekerjaan fisik bangunan Rp 6.000.000.000,-
Ceremonial Rp 1.000.000.000,-
----------------------------
Rp 10.000.000.000,-
(Sepuluh milyar rupiah)

Lama pembangunan diperkirakan akan memakan waktu 26 bulan kerja (lihat lamp)
*Proyek ini terbengjkalai sampai sekarang. Ada yanfg berminat melanjutkan ?

Groot en Klein Militaire Brevet


Pada masa penjajahan Belanda tercatat 10 orang pemuda Indonesia yang telah mengikuti sekolah perwira penerbang pada Militaire Luchtvaart (ML). Lima orang diantaranya berhasil memperoleh brevet sebagai penerbang, yakni : Sambudjo Hurip dan Agustinus Adisutjipto yang berhasil memperoleh Groot Militair Brevet. Husein Satranegara. Sulistijo dan H. Sujono yang berhasil memperoleh Klein Militair Brevet. Sedangkan Suryadi Suryadarma setelah mengikuti Koninklijke Militair Academie (KMA) di Breda (Belanda), kemudian mengikuti pendidikan Waarnemer selama 1½ tahun. Diantara dua orang yang telah memperoleh Groot Militair Brevet tersebut hanya A. Adisutjipto yang selama pendudukan Jepang kembali ke kota asalnya Salatiga dan bekerja dibidang perhubungan angkutan darat Jepang (Jidosya Jimukyoku). Pemegang Groot Militair Brevet yang lain adalah Sambudjo Hurip gugur pada tanggal 19 Januari 1942 sewaktu pesawar pembom B-10 Glenn Martin yang dikemudikannya tertembak jatuh dan terbakar di laut Selat Malaka, karena diserang oleh sembilan buah pesawat pemburu Jepang. Pesawat tersebut bersama dengan dua pesawat pembom B-10 Glenn Martin lainnya baru saja melaksanakan pemboman atas kedudukan tentara Jepang di Muar (Malaka Barat) dalam Perang Dunia II. Penerbang-penerbang yang ada pada masa awal kemerdekaan praktis hanyalah semata-mata hasil pendidikan pada masa pemerintah Hindia Belanda saja, terutama sebagai hasil pendidikan pada akhir masa pemerintahan tersebut. Kebanyakan menjelang datangnya serbuan tentara Jepang mereka ini diungsikan ke luar negeri yakni ke Adelaide (Australia) pada bulan Februari 1942. Dua bulan kemudian mereka dipindahkan lagi ke Amerika Serikat, yakni untuk tingkat pertama dididik di Fort Leavensworth dan pendidikan lanjutan di Jackson, Mississippi. Bahkan pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia mereka juga tidak melakukan kegiatan yang sesuai dengan profesinya sebagai penerbang. Abdurachman Saleh adalah seorang Profesor, guru besar ilmu Faal pada Sekolah Tinggi Kedokteran yang dizaman Jepang bernama Ika Dai Gakko. Pengalaman sebagai pilot, hanya menimba ilmu sebagai penerbang olahraga. Ketika Hoso Kyoku (Radio Jepang) ditutup (19 Agustus 1945), dia mendirikan zender di bagian Faal Sekolah Dokter Salemba. Dan sejak itulah mengudara The Voice of free Indonesia, stasiun radio cikal bakal RRI. Tapi ketika BKRO (Badan Keaman Rakyat bagian Oedara) terbentuk, dia ikut bergabung dan menjadi salah seorang pendiri AURI. Setelah bergabung, dia merupakan kadet penerbag pertama yang dilatih oleh Adisutjipto (pemegang Groot Militair Brevet) pada sekolah penerbangan Yogyakarta mungkin sekitar Oktober 1945. Selanjutnya dia bertugas sebagai komandan pangkalan udara Maospati dan Bugis serta juga menjadi instruktur pada sekolah penerbangan Yogya. Pada foto nampak dengan gagah dimuka pesawat Curen (Yokusuka K5Y1). Jangan lupa selama aktif di AURI, Pak karbol (nama julukan Prof dr Abdurachman Saleh) ditunjuk sebagai penanggung jawab pendidikan dokter di Malang dan Klaten. Salah satu kebiasaannya adalah terbang dengan pesawat Curen sampai Solo. Lalu dengan Hrley Davidson, menuju Rumah Sakit Klaten untuk mengajar Ilmu Faal. Kami akan memperingati Marsekal Muda dr Abdurachman pada tanggal 22 Agustus 2006, dimana dia akan dikenang sebagai dokter, pendiri RRI, dan AURI. Thema : “Prof.dr Abdurachman Saleh dalam kenangan”. Besok itu akan ada kegiatan peresmian patung, pameran foto dan peresmian sasana Pak karbol dibagian Faal FKUI. Pak Karbol gugur pada tanggal 29 Juli 1947 dalam peristiwa apa yang dinamakan “Penembakan pesawat Dakota VT-CLA oleh P40 Kittyhawk Belanda dari squadron 120 yang bermarkas di Kalibanteng Semarang. Penembaknya bernama Letnan penerbang Ruisink. Belakangan pada Desember tahun 1948, Ruisink ditembak jatuh oleh pasukan Siliwangi yang sedang Longmarch ke Jawa Barat.

Kincir Angin di Indonesia


Salah satu yang membuat saya jatuh cinta pada Nederland adalah barang yang namanya Kincir Angin ini. Hormat saya pada Bangsa Belanda yang ulet itu dan sejak lama menggunakan teknologi tepat guna ini. Saya ingat teman saya Kolonel Lestio (Alm), yang bercita-cita ke Belanda khususnya untuk meraba-raba Kincir Angin dari dekat. Saat itu rombongan kami berkunjung ke Zaanseschans. Disitulah dia kesampean melakukan nazarnya. Dia sudah meninggal sekarang (meninggal tahun 2004) dan dimakamkan di TMP Kalibata. Saya sangat surprise kalau Kincir Angin awalnya dibuat di Persia pada abad ke 5. Memang sebenarnya Persia atau kemudian Iran adalah bangsa dengan kebudayaan tinggi (bahkan sebelum Masehi). Jadi bikin bom atom bukan hal yang sulit bagi mereka sebenarnya. Bersama milis ini juga saya sampaikan lukisan Pulau Onrust yang dibuat pada abad ke 17. Saat itu Pulau Onrust (sebuah pulau besar di teluk Jakarta) dipakai sebagai pusat industri dan galangan kapal. Belanda tidak membawa kapal-kapal ukuran sedang ke Hindia. Untuk inter insuler, misalnya Batavia-Ambon, VOC membuat kapal sendiri dipulau Onrust. Khabarnya kayu yang dipergunakan adalah Jati yang diambil dari pesisir Jawa tengah (Semarang ke timur). Kalau anda perhatikan maka pada lukisan ini terlihat Kincir Angin yang mungkin dipergunakan untuk penggergajian kayu (Saw Mill). Untuk mengenang Kincir Angin yang jauh disana, di Holland, bersama ini saya sampaikan juga lirik lagu "Dar bij die Molen". Sebuah lagu yang romantis.


Daar bij die molen. Daar bij die molen, die mooie molenDaar woont 't meisje waar ik zoveel van houDaar bij die molen, die mooie molenDaar wil ik wonen als zij eens wordt m'n vrouw
Ik weet een heerlijk plekje gronddaar waar die molen staatWaar ik m'n allerliefste vondwaarvoor m'n hartje slaatIk sprak haar voor de eerste keeraan 't oever van de VlietEn sinds die tijd kom ik daar meerdie plek vergeet ik niet


Daar bij die molen, die mooie molenDaar woont 't meisje waar ik zoveel van houDaar bij die molen, die mooie molenDaar wil ik wonen als zij eens wordt m'n vrouw


Ik zie de molen al versierdter eer van 't jonge paar't Hele dorp dat juicht en tiertZij leven menig jaarEn zie ik trots de molen staandan zweer ik in die stondNooit ga ik van die plek vandaanwaar ik m'n vrouwtje vond


Daar bij die molen, die mooie molenDaar woont 't meisje waar ik zoveel van houDaar bij die molen, die mooie molenDaar wil ik wonen als zij eens wordt m'n vrouw.

SoeKarNo

A. Umar Said*)
Tersiarnya berita bahwa sejak Februari sampai 6 Juni yang akan datang akan diadakan berbagai kegiatan secara besar-besaran untuk memperingati HUT ke 100 tokoh besar bangsa Indonesia, Soekarno, merupakan angin segar yang menyejukkan hati bagi banyak orang. Terutama bagi mereka yang melihat pada sosok Soekarno sebagai pejuang anti-penjajahan Belanda yang gigih dan pelopor kemerdekaan, pendiri Republik Indonesia, pemersatu bangsa, penggali Panca Sila, pemupuk patriotisme dan nasionalisme kerakyatan, pendorong semangat kegotong-royongan dalam menangani berbagai masalah besar bangsa dan negara.

Ketika bangsa kita dewasa ini sedang bertekad untuk melaksanakan reformasi di segala bidang terhadap segala aspek buruk dan akibat negatif yang ditinggalkan oleh Orde Baru, segala macam kegiatan untuk merayakan HUT ke-100 Bung Karno ini akan merupakan peristiwa penting. Arti pentingnya bisa dilihat dari berbagai segi, antara lain :
a) melalui berbagai bentuk kegiatan itu dimungkinkan untuk menelaah kembali beraneka-ragam persoalan yang berkaitan dengan perjuangan tokoh Soekarno, baik kebesaran jasa-jasanya bagi bangsa dan negara maupun kelemahan atau kesalahannya
b) menjadikan HUT ke-100 Soekarno ini sebagai langkah penting untuk me-restorasi kebenaran sejarah tentang dirinya, yang sejak tahun 1965 telah banyak diplintir atau dirusak oleh para pendukung Orde Barunya Suharto dkk
c) mengangkat kembali atau menyebar-luaskan fikiran-fikirannya yang positif tentang persatuan bangsa, toleransi antar-agama dan antar-suku, pengabdian kepada kepentingan rakyat, patriotisme dan nasionalisme
d) menjadikan HUT ke-100 Soekarno sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi yang sedang bersama-sama kita lancarkan secara nasional dewasa ini.

TUGAS MULIA BAGI SELURUH KEKUATAN DEMOKRATIS
Menurut keterangan Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, kegiatan untuk merayakan peringatan ini akan dimulai dalam bulan Februari dan akan dipuncaki dengan satu pesta rakyat yang akan digelar di Stadion Utama Senayan (yang sudah diusulkan untuk diganti namanya dengan Gelora Bung Karno). Selain itu, malam-malam kesenian dan kebudayaan untuk mengenang Bung Karno akan diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta.

Rangkaian kegiatan 100 Tahun Bung Karno akan diawali dengan serangkaian seminar yang akan digelar di 12 universitas di seluruh Indonesia. Selain itu, juga akan digelar pameran karya dan koleksi Bung Karno yang akan dilangsungkan selama 15 hari dengan mengambil tempat di Balai Sidang Jakarta mulai 1 Juni 2001. Di samping itu juga direncanakan untuk dimulainya penggalangan dana untuk mendirikan “Soekarno Center”, yang akan merupakan institusi studi politik, museum serta memorial house.

Untuk peringatan ini, akan diusahakan terbitnya berbagai buku mengenai Bung Karno, dan di antaranya sebuah buku yang berisi berbagai komentar dari berbagai tokoh dunia tentang presiden pertama RI tersebut. Berbagai pameran, diskusi dan perlombaan juga akan diselenggarakan.

Rencana rangkaian acara itu sudah disampaikan Guntur Sukarnoputra, putra pertama Bung Karno, kepada Presiden Wahid di Istana Merdeka tanggal 18 Januari 2001, yang datang menghadap bersama-sama dengan Panitia Peringatan. Kedatangan panitia ini juga dimaksudkan untuk meneguhkan kesediaan Presiden Wahid menjadi pelindung dalam struktur kepanitiaan itu.

Agaknya, dalam situasi politik negeri kita dewasa ini, yang penuh dengan persoalan-persoalan ruwet dan eksplosif -- yang sebagian terbesar adalah bersumber pada warisan yang ditinggalkan rezim militer Orde Baru -- peringatan HUT ke-100 Bung Karno akan menimbulkan dampak positif di berbagai bidang. Oleh karena itu, seluruh kekuatan demokratis yang anti-Orde Baru dan pro-reformasi perlu memberikan sumbangan dalam berbagai bentuk dan cara, sehingga peringatan HUT akan berjalan sebaik-baiknya. Mensukseskan peringatan HUT ke-100 Soekarno adalah tugas mulia bagi seluruh kekuatan demokratis.

KEJAHATAN BESAR ORDE BARU TERHADAP BUNG KARNO
Adalah wajar bahwa dengan diadakannya berbagai kegiatan dalam rangka peringatan secara besar-besaran HUT ke-100 Bung Karno itu akan muncul pula beraneka-ragam pendapat di kalangan masyarakat tentang berbagai soal yang berkaitan dengan tokoh yang bersejarah ini. Pastilah, dari fihak para pendukung setia Orde Baru akan terdengar suara-suara sumbang atau komentar yang serba negatif, dengan mengemukakan alasan-alasan yang “masuk akal” mau pun yang tidak. Dan tidak mustahil juga, bahwa akan terdengar adanya pendapat-pendapat yang mencerminkan kedangkalan fikiran, kepicikan pandangan, atau keterbatasan pengetahuan.
Kalaupun akan terjadi hal yang demikian, maka perlulah kiranya kita hadapi dengan sikap realis dan lapang dada. Sebab, selama lebih dari 30 tahun, sosok Soekarno telah dicemarkan oleh para dedengkot Orde Baru, baik yang dari kalangan TNI-AD, mau pun yang dari berbagai kalangan lainnya (antara lain : sebagian kalangan Islam, sebagian kaum intelektual) . Karena kampanye anti-Sukarno itu dilakukan lama sekali, dan juga dalam berbagai bentuk dan cara, maka dampaknya juga besar sekali di fikiran banyak orang. Dampak itulah yang masih kelihatan secara nyata sampai sekarang.

Sudah sama-sama kita saksikan bahwa Orde Baru telah melakukan banyak sekali kejahatan besar -- dan kesalahan serius -- di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan moral. Dan, apa yang telah dilakukan terhadap Bung Karno adalah salah satu di antara berbagai kejahatan besar Orde Baru-nya Suharto dkk. Kejahatan ini perlu dicatat oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang sebagai pelajaran bangsa. Untuk itulah kejahatan besar ini perlu sekali dibongkar. Sebab, membongkar kejahatan Orde Baru terhadap Bung Karno merupakan sumbangan penting untuk tercapainya rekonsiliasi nasional. Dengan kalimat lain, rehabilitasi nama Soekarno adalah bagian dari tugas reformasi yang harus dituntaskan oleh bangsa kita.
Pengalaman kita selama puluhan tahun telah menunjukkan bahwa Orde Baru telah menggunakan masalah Soekarno sebagai alat untuk mematikan kehidupan demokratik, untuk melakukan persekusi politik, untuk menimbulkan perpecahan – bahkan permusuhan -- di antara berbagai komponen bangsa.

NAMA BUNG KARNO TERLALU LAMA DIRUSAK ORDE BARU
Mengingat itu semuanya, maka perlulah kiranya peringatan HUT ke-100 Bung Karno itu dijadikan langkah permulaan yang penting bagi bangsa kita untuk menempatkan kembali Soekarno pada tempat yang selayaknya dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, dalam waktu yang terlalu lama (lebih dari 35 tahun!) nama Soekarno telah dijadikan “momok” . Karena propaganda Orde Baru yang menyesatkan, maka dalam jangka waktu yang lama sekali banyak orang tidak berani bicara tentang “Bung Karno” lagi. Di banyak rumah penduduk negeri kita fotonya diturunkan dari pajangan di dinding, atau disembunyikan dalam laci. Buku-bukunya juga dihilangkan dari lemari-lemari buku, atau bahkan dibuang atau dibakar.

Sungguh, sangatlah menyedihkan bahwa anak-anak sekolah (dari yang paling rendah sampai sekolah lanjutan) tidak diberi pelajaran yang benar tentang sejarah Soekarno. Sebagai akibatnya, maka kalangan muda yang mendapat pendidikan selama Orde Baru banyak yang mempunyai pandangan yang keliru (atau tidak lengkap) mengenai tokoh nasional dan pendiri Republik Indonesia ini. Selama puluhan tahun, media massa juga sedikit sekali memuat tulisan-tulisan yang “netral” atau objektif tentang dirinya. Justru kebalikannya, yang sering muncul selama puluhan tahun adalah tulisan-tulisan yang serba negatif terhadapnya. Itu semua adalah akibat dari indoktrinasi dan terror politik yang dijalankan secara intensif oleh rezim militer Suharto dkk, dengan dukungan dari pengikut-pengikutny a, termasuk di kalangan pers dan kalangan intelektuil.

Boleh dikatakan bahwa Orde Baru telah berusaha dengan segala daya dan cara untuk menyisihkan, atau mengecilkan, atau merusak nama dan peran Soekarno dalam sejarah Indonesia. Dalam hal ini, dosa pimpinan TNI-AD (waktu itu) adalah amat besar, terutama pada masa sebelum dan sesudah terjadinya G30S. Karena itu, pengkajian, pendiskusian, penulisan dan penelitian kembali tentang sikap pimpinan TNI-AD waktu itu (setidak-tidaknya, sebagian dari mereka) terhadap Bung Karno sangat diperlukan. Sebab, justru masalah pertentangan antara sebagian pimpinan TNI-AD dan Bung Karno adalah salah satu di antara banyak faktor yang menyebabkan terjadinya G30S, yang kemudian dilanjutkan dengan didirikannya regime Orde Baru.

Sedangkan faktor-faktor lainnya -- yang juga saling berkaitan waktu itu -- adalah, antara lain : faktor perang dingin sesudah berakhirnya Perang Dunia ke-II, dibubarkannya negara RIS, diselenggarakannya konferensi Bandung dalam tahun 1955, pemilihan umum 1955, pembrontakan PRRI-Permesta, perjuangan pembebasan Irian Barat, kampanye “ganyang Malaysia”, kerjasama antara intelijen Barat (AS dan Inggris, terutama) dengan kelompok-kelompok anti-Sukarno (terutama lewat sebagian pimpinan TNI-AD), makin membesarnya kekuatan PKI, diboikotnya ekonomi Indonesia oleh dunia Barat.

Terlalu banyak soal-soal yang bersangkutan dengan Bung Karno telah didiamkan, atau disembunyikan, atau dipalsukan selama puluhan tahun, demi kepentingan stabilitas politik kekuasaan Orde Baru. Dan, selama itu, tidak banyak kalangan yang berani menyuarakan hal-hal yang positif tentang Bung Karno. Karena beratnya tekanan opini publik (yang sudah diracuni oleh propaganda Orde Baru), maka banyak kalangan dalam masyarakat yang takut untuk membantah versi “resmi” tentang tokoh nasional kita ini.

KEMBALIKAN NAMA BUNG KARNO PADA TEMPATNYA
Kalau sama-sama kita lihat dari segi sejarah, maka jelaslah agaknya bahwa setelah disrobotnya kekuasaan politik Bung Karno oleh pimpinan TNI-AD (Suharto dkk) dan didirikannya Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, bangsa Indonesia telah kehilangan simbul persatuan bangsa, pemupuk patriotisme dan nasionalisme, inspirator kerakyatan, penggembleng semangat anti-penjajahan. Dengan segala kekurangan atau kesalahan-kesalahan nya, sosok Bung Karno mencerminkan itu semuanya.

Dan inilah yang justru tidak dimiliki oleh Suharto, atau orang-orang yang mendukungnya. Yang dimiliki Suharto dkk adalah justru apa yang berseberangan atau bertentangan dengan apa yang dimiliki Bung Karno. Seperti halnya Mahatma Gandi, Jawaharlal Nehru, Abdul Gamal Nasser, Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, Julius Nyerere, Salvador Allende, J. Bros Tito atau Nelson Mandela, Bung Karno telah memainkan peran penting bagi perjuangan bangsanya masing-masing, sesuai dengan kebutuhan situasi nasional dan internasional waktu itu.

Adalah penting bagi kita semua, terutama bagi generasi muda dewasa ini (dan generasi yang akan datang), untuk mengenal secara baik sejarah perjuangan Bung Karno. Sejarah perjuangan Bung Karno adalah sesuatu yang bisa dibanggakan dan dihormati oleh rakyat. Sedangkan sejarah Suharto dkk beserta Orde Barunya adalah kebalikannya. Sejarah Suharto dkk bersama Orde Barunya adalah sesuatu yang perlu dikutuk habis-habisan, dan dicegah supaya jangan terulang kembali, dalam bentuk barunya yang bagaimanapun juga.

Mengembalikan nama Bung Karno pada tempat yang selayaknya adalah tugas semua kekuatan demokratis di Indonesia, semua golongan yang betul-betul mendambakan reformasi, semua kalangan yang sungguh-sungguh anti sistem politik Orde Baru. Sekarang ini, sudah tibalah waktunya, bagi semua orang untuk lebih berani bersuara tentang Bung Karno. Buku-buku yang memuat karya-karanya atau pidato-pidatonya perlu dicetak sebanyak mungkin dan diedarkan, baik yang mencakup sejak zaman mudanya mau pun sesudah ia menjadi Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia. Hanya dengan membaca, kemudian berusaha mengkajinya dalam-dalam, maka kita bisa mengerti dengan lebih jelas tentang jalan fikirannya dan cita-citanya mengenai negara dan rakyat, mengenai persatuan bangsa dll.

KARYA-KARYA BUNG KARNO UNTUK PERSATUKAN BANGSA
Adalah menyedihkan sekali bagi bangsa Indonesia, bahwa dalam jangka waktu yang begitu lama, karya-karya raksasa Bung Karno telah “disembunyikan” oleh Orde Baru, sehingga banyak orang tidak mengerti dengan baik tentang fikiran-fikirannya, tentang perjuangannya bagi bangsa, dan tentang perannya dalam membangun Republik Indonesia.

Contohnya, berapakah di antara anggota MPR/DPR kita dewasa ini, atau para “elit” di berbagai kalangan atau golongan lainnya, yang pernah membaca Di bawah Bendera Revolusi, atau “Indonesia Menggugat”, atau pidato-pidato Bung Karno, yang antara lain : Menyelamatkan Republik Indonesia, Revolusi-Sosialisme Indonesia Pimpinan Nasional (Resopim), Manifesto Politik Republik Indonesia (Maipol), Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari) ? Dan apakah banyak di antara kalangan “elit” kita sekarang ini yang betul-betul bisa menghayati arti pidato “Lahirnya Pancasila” oleh Bung Karno 1 Juni 1945?

Banyak karya-karya Bung Karno yang telah dijadikan “tabu” (atau “bahan terlarang”) selama Orde Baru. Bahkan, pidatonya yang berkaitan dengan “Lahirnya Pancasila” juga tidak banyak dikenal oleh publik. Padahal, resminya, Orde Baru selalu melandaskan segala politiknya atas dasar-dasar Pancasila. Tetapi, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan selama itu, prakteknya adalah kebalikannya. Orde Baru bukan saja telah menyalahgunakan Pancasila, bahkan merusak sama sekali arti Pancasila !!! (mohon catat, tanda seru tiga kali). Begitu busuknya Orde Baru merusak Pancasila, sehingga akhirnya menjadi cemooh atau cibiran banyak orang. Akibatnya, dewasa ini Pancasila makin jarang disebut-sebut dalam berbagai kesempatan resmi atau tidak resmi. Dalam hal ini, dosa Orde Baru adalah berat dan besar sekali.

Mengingat itu semua, maka peringatan HUT ke-100 Soekarno adalah kesempatan baik untuk menjadikannya sebagai bagian dari gerakan reformasi. Reformasi (yang sungguh-sungguh! ) adalah me-reformasi sistem politik, cara berfikir, kebiasaan, praktek-praktek Orde Baru, yang masih banyak diwariskan sampai sekarang ini. Dalam kaitan ini, perlulah jelas bagi kita semua, bahwa pada hakekatnya Orde Baru telah menjadikan Bung Karno sebagai musuhnya. Bukan saja Bung Karno telah disingkirkan secara fisik, melainkan juga segala ajaran-ajarannya, fikirannya, perjuangannya, dan jasa-jasanya bagi bangsa dan negara. Lebih-lebih lagi, Orde Baru telah menjadikan Bung Karno sebagai faktor perpecahan atau permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Dan ini pulalah yang menyakitan hati banyak orang.

Oleh karena itu, menempatkan kembali Bung Karno pada tempat yang selayaknya berarti juga ikut merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa, dan merupakan salah satu jembatan untuk menuju rekonsiliasi nasional.
Paris, 23 Januari 2001