Tuesday, February 17, 2009

Kwangkai - Tradisi Adat Dayak Benuaq


Suku Dayak, boleh dibilang, termasuk salah satu sukuterbesar di Indonesia. Mereka mendiami hampir seluruhPulau Kalimantan (pulau terbesar di Indonesia).Terutama di daerah pegunungan atau pedalaman.Sementara di sekujur pesisir/pantainya, berdiam sukuBanjar, Kutai, Melayu dan para pendatang dari Bugis,Makassar, Jawa, Madura, Toraja, bahkan Batak.Dalam sebuah penelitian, disebutkan, pada mulanya sukuDayak berasal dari Provinsi Yunan, sebuah daerah diselatan China (Mainland). Mereka kemudian bermukim diApo Kayan, daerah Long Nawan sekarang, dekatperbatasan dengan Malaysia. Kapan datangnya, tidakseorang pun tahu –karena kebudayaan Dayak tidakmeninggalkan catatan2 tertulis. Setelah itu merekamenyebar ke seluruh pelosok Kalimantan, terutama disepanjang aliran sungainya.Mungkin, karena penyebaran itu pula --karena faktoralam yang membedakannya- -, kebudayaan dan bahasamereka juga lalu berbeda2 antara satu sama lain. Saatini, tidak kurang sekitar 400 sub-etnik Dayaktercatat dalam keluarga besar Dayak. Mulai dari Iban,Punan, Ngaju, Kenyah, Benuaq, Bahau, Tunjung, Modang,Kayan, Kendayan, Penihing, dsb.Asal kata Dayak sendiri hingga sekarang orang masihberbeda pendapat. Ada yang menyebutnya berasal darikata‘Daya’, yang dalam bahasa Kenyah berarti hulu sungaiatau pedalaman. Namun ada juga –terutama orang luarDayak pada abad lalu—yang mengartikannya sebagai headhunters atau pengayau. Hal itu dimungkinkan karenatradisi masa lalu mereka yang suka berperangantarsuku, dengan memenggal kepala musuhnya sebagaiperlambang penaklukan sekaligus juga ‘teman’ (bagimereka, kepala musuh yang sudah dipenggal itu bisajuga diartikan sebagai teman, karena selain bisapelindung mereka dari roh2 jahat, juga bisa membawaberkah atau rejeki).Namun kini tradisi mengayau itu secara bertahap sudahmulai dihilangkan. Kehidupan mereka yang selama inimasih banyak yang nomaden dengan pola hidup berpindahsesuai dengan mata pencaharian mereka yang masihmemanfaatkan ladang berpindah, secara bertahap sudahmulai menetap –baik secara pemukiman maupun matapencaharian. Terutama setelah para misionaris masuk kedaerah itu di awal abad XX lalu. Agama lalu menjadipegangan hidup mereka, tidak lagi ‘kuasa2 gelap’ yangselama ini menuntun mereka. Kalaupun ada salah satusuku di antara mereka yang masih ‘konsist’ dengan polahidup yang ‘lama’ –berburu dan hidup di hutan2 liarsecara bebas—adalah suku Punan. Ketemu orang pun,konon kabarnya, mereka ‘lari’ (baca: menghindar).Tentu saja masih ada di antara mereka yang masihmelestarikan tradisinya. Di desa Muara Tae, KabupatenKutai Barat (sekitar 500 Km dari Balikpapan), sayamenjumpai suku Benuaq masih tetap melestarikankebiasaan Kwangkai –yakni kebiasaan potong kerbauuntuk menghormati para leluhur, khususnya dalam acarapemindahan tulang belulang leluhur yang selama inimerekataruh di peti2 mati, dan tidak dikuburkan. Kebiasaanini ada kemiripannya dengan upacara pemotongan kerbaudi Toraja, Sulsel, meski dengan prosesi yang lain.Acaranya sendiri cukup menarik! Masyarakat dariberbagai penjuru datang berbondong2 untuk menghadiriupacara yang dikonsentrasikan di sebuah lapangan luasyang terbuka. Di tengah2, terikat seekor kerbau dengantali kuat di lehernya sepanjang 20 meter yang terikatdi sebuah tiang. Logikanya, apabila acara pembantaiandimulai, kerbau itu hanya punya ‘wilayah’ untuklari atau bergerak ya sejauh 20 meter itulah!Setelah melalui beberapa upacara prosesi adat –yangdilakukan tetua adat dan tokoh2 informal lainnya--,upacara pun dimulai! Kerbau dilepas, tetabuhandibunyikan, dan orang2 yang memegang mandau(pedang), tombak, bambu, kayu, cemeti di tangannya,segera merangsek ke tengah menyerang kerbau. Tak lamakemudian, kerbau tsb terluka. Dan ia –karena sakitatau terdesak-- tentu melakukan perlawanan.Kejar2an pun terjadi di antara mereka. Semakin seruserangan itu, semakin riuhlah mereka: bertepuk danbersorak! Sampai akhirnya kerbau itu lemas sendiri danterkulai di hadapan mereka. Pada saat itulah, secarabersamaan mereka beramai2 menombaknya dan membunuhnya–sebelum akhirnya mencincangnya untuk dibagi dagingnyadalam acara makan malam bersama! Fantastis!Sadis? Kalau Anda pecinta binatang mungkin demikian.Tapi ketika hal yang sama saya tanyakan pada tetuaadatnya, ia hanya tersenyum dan menjawabnya dengankalem: “Ya, masih lebih bagus ketimbang harus‘disalurkan’ ke jalan yang salah di tengah2 masyarakat(saat mereka masih tinggal di hutan dulu)”.Katarsis? Maybe. Agama memang tidak selalu secaralangsung bisa‘memanusiakan’ manusia. Ia perlu waktu, perluproses, transisi –sebelum semuanya menjadi pedomanhidup bersama. Dalam masyarakat ‘modern’ sekali pun,sebenarnya hal yang sama juga terjadi. Cuma ‘caranya’saja yang beda, yang konon kabarnya lebih ‘halus danberbudaya’:-)

From Kalimantan with Love,Indiana Jones

Donny Budiman

No comments:

Post a Comment