Tuesday, February 17, 2009

Hubungan Indonesia-Belanda dalam wujudnya yang baru

Sebenarnya hubungan Indonesia-Belanda tidak perlu terlalu jelek, kalau saja kita melihatnya untuk kepentingan bersama yang ajek (tidak berubah-ubah) dan langgeng (abadi) serta lestari (kekal). Kecurigaan kalau teman seiring akan menbokong kita tentu, saja tidak akan memunculkan niat yang baik. Lebih dari itu sikap dan tingkah laku yang santun pasti diharapkan dari kedua pihak. Ini akan membuahkan nilai persahabatan yang meningkat. Jangan dikira orang Belanda tidak punya budaya kesopan. Tentu saja bentuk kesopanan dalam budaya bangsa masing-masing, berbeda. Mungkin peningkatan hubunganlah yang bisa menumbuhkan saling kenal yang penuh rasa pengertian. Lebih dari itu soal dendam kesumat kadang menimbulkan pertanyaan, "binatang apakah itu?". Coba bayangkan apa jadinya kalau sifat-sifat itu dipertahankan ?. Para Veteran Indonesia-Belanda yang sering mengadakan pertemuan bilateral, pasti akan beremosi untuk jotos-jotosan atau paling tidak saling maki. Saya punya dua orang teman perwira tinggi. Yang pertama ayahnya dibunuh tentara Belanda saat aksi polisionil pertama, karena menutup mulut untuk membuka rahasia. Orang kedua, masuk penjara sejak tahun 1947 dan baru dibebaskan pada tahun 1949. Dalam penjara dia mendapatkan penyiksaan dan penghinaan. Saya juga heran karena keduanya tidak merasa dendam pada pihak Belanda. Bahkan menceritakan pengalamannya kepada para veteran Belanda secara berkelakar. Sebenarnya orang Indonesialah yang pantas menunjukkan bagaimana sikap seorang timur itu seharusnya. Saya yakin orang Belandapun akan mengerti maksudnya. Meskipun Kipling pernah berkata : "East is East and West is West. And never the twain shall meet". Saya tidak percaya itu. Pasti ada jalan keluar agar maksud dan tujuan untuk peningkatn mutu persahabatan kedua bangsa itu bisa dicapai. Tahun ini pada bulan November 2006 akan diselenggarakan peringatan 60 tahun berlangsungnya perundingan pertama untuk mencapai persetujuan dekolonisasi yang dikenal sebagai "Persetujuan Linggajati". Meskipun pada ahirnya terjadi "Agresi Militer Belanda pertama (Juli 1947)". kami tidak berpikir sampai kesitu. Nilai maksud dan tujuan yang baik dari kedua bangsa yang diwakili oleh masing-masing delegasi saat itu, akan selau diperhatikan. Tidak kurang Prof Dr Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda (1941-1946) dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir telah membuktikan itu semua, meskipun keduanya harus mempertaruhkan nama baiknya dalam Sejarah Bangsanya masing-masin. (disumbangkan untuk direnungkan, ... Overpeinzing)

No comments:

Post a Comment