Tuesday, February 17, 2009

Groot en Klein Militaire Brevet


Pada masa penjajahan Belanda tercatat 10 orang pemuda Indonesia yang telah mengikuti sekolah perwira penerbang pada Militaire Luchtvaart (ML). Lima orang diantaranya berhasil memperoleh brevet sebagai penerbang, yakni : Sambudjo Hurip dan Agustinus Adisutjipto yang berhasil memperoleh Groot Militair Brevet. Husein Satranegara. Sulistijo dan H. Sujono yang berhasil memperoleh Klein Militair Brevet. Sedangkan Suryadi Suryadarma setelah mengikuti Koninklijke Militair Academie (KMA) di Breda (Belanda), kemudian mengikuti pendidikan Waarnemer selama 1½ tahun. Diantara dua orang yang telah memperoleh Groot Militair Brevet tersebut hanya A. Adisutjipto yang selama pendudukan Jepang kembali ke kota asalnya Salatiga dan bekerja dibidang perhubungan angkutan darat Jepang (Jidosya Jimukyoku). Pemegang Groot Militair Brevet yang lain adalah Sambudjo Hurip gugur pada tanggal 19 Januari 1942 sewaktu pesawar pembom B-10 Glenn Martin yang dikemudikannya tertembak jatuh dan terbakar di laut Selat Malaka, karena diserang oleh sembilan buah pesawat pemburu Jepang. Pesawat tersebut bersama dengan dua pesawat pembom B-10 Glenn Martin lainnya baru saja melaksanakan pemboman atas kedudukan tentara Jepang di Muar (Malaka Barat) dalam Perang Dunia II. Penerbang-penerbang yang ada pada masa awal kemerdekaan praktis hanyalah semata-mata hasil pendidikan pada masa pemerintah Hindia Belanda saja, terutama sebagai hasil pendidikan pada akhir masa pemerintahan tersebut. Kebanyakan menjelang datangnya serbuan tentara Jepang mereka ini diungsikan ke luar negeri yakni ke Adelaide (Australia) pada bulan Februari 1942. Dua bulan kemudian mereka dipindahkan lagi ke Amerika Serikat, yakni untuk tingkat pertama dididik di Fort Leavensworth dan pendidikan lanjutan di Jackson, Mississippi. Bahkan pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia mereka juga tidak melakukan kegiatan yang sesuai dengan profesinya sebagai penerbang. Abdurachman Saleh adalah seorang Profesor, guru besar ilmu Faal pada Sekolah Tinggi Kedokteran yang dizaman Jepang bernama Ika Dai Gakko. Pengalaman sebagai pilot, hanya menimba ilmu sebagai penerbang olahraga. Ketika Hoso Kyoku (Radio Jepang) ditutup (19 Agustus 1945), dia mendirikan zender di bagian Faal Sekolah Dokter Salemba. Dan sejak itulah mengudara The Voice of free Indonesia, stasiun radio cikal bakal RRI. Tapi ketika BKRO (Badan Keaman Rakyat bagian Oedara) terbentuk, dia ikut bergabung dan menjadi salah seorang pendiri AURI. Setelah bergabung, dia merupakan kadet penerbag pertama yang dilatih oleh Adisutjipto (pemegang Groot Militair Brevet) pada sekolah penerbangan Yogyakarta mungkin sekitar Oktober 1945. Selanjutnya dia bertugas sebagai komandan pangkalan udara Maospati dan Bugis serta juga menjadi instruktur pada sekolah penerbangan Yogya. Pada foto nampak dengan gagah dimuka pesawat Curen (Yokusuka K5Y1). Jangan lupa selama aktif di AURI, Pak karbol (nama julukan Prof dr Abdurachman Saleh) ditunjuk sebagai penanggung jawab pendidikan dokter di Malang dan Klaten. Salah satu kebiasaannya adalah terbang dengan pesawat Curen sampai Solo. Lalu dengan Hrley Davidson, menuju Rumah Sakit Klaten untuk mengajar Ilmu Faal. Kami akan memperingati Marsekal Muda dr Abdurachman pada tanggal 22 Agustus 2006, dimana dia akan dikenang sebagai dokter, pendiri RRI, dan AURI. Thema : “Prof.dr Abdurachman Saleh dalam kenangan”. Besok itu akan ada kegiatan peresmian patung, pameran foto dan peresmian sasana Pak karbol dibagian Faal FKUI. Pak Karbol gugur pada tanggal 29 Juli 1947 dalam peristiwa apa yang dinamakan “Penembakan pesawat Dakota VT-CLA oleh P40 Kittyhawk Belanda dari squadron 120 yang bermarkas di Kalibanteng Semarang. Penembaknya bernama Letnan penerbang Ruisink. Belakangan pada Desember tahun 1948, Ruisink ditembak jatuh oleh pasukan Siliwangi yang sedang Longmarch ke Jawa Barat.

No comments:

Post a Comment