Tuesday, February 17, 2009

Asal usul nama Indonesia

Oleh Harry Kawilarang

Pada suatu hari di masa datang, wilayah koloni kita (di gugusan kepulauan) akan merdeka. Sekalipun terjadi dalam waktu lama, tetapi bila itu terjadi, hal itu justru akan mendatangkan kebaikan untuk kita juga ketimbang sekarang ini sebagai pemilik koloni. Generasi kita di masa datang, yang kian dewasa, sama sekali tidak ingin memerangi koloni-koloni yang menuntut kemerdekaan. Justru mereka ini akan didukung untuk meraih kemerdekaan sepenuhnya dan akan menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan yang saling menguntungkan.
GK Hogendorp (ucapan di Staten-General [Parlemen Belanda] pada 1819)

PADA bulan November 1917, di Universitas Leiden , kota Leiden , negeri Belanda, berlangsung kongres mahasiswa asal Hindia-Belanda yang diprakarsai oleh Asosiasi Indologi Leiden. Sasaran utama dari kongres adalah menjajaki dasar-dasar pemersatuan masyarakat asal Hindia-Timur sebagai bangsa yang dikenal oleh dunia internasional. Sebabnya, selama ini sebutan penduduk di wilayah gugusan nusantara, Hindia-Timur ataupun Hindia-Belanda (Oost-Indie atau Nederlandsch Indie) yang terasa sangat ganjil.

Pada pertemuan itu dimunculkan tiga pembicara yang mewakili kelompok masyarakat penghuni gugusan kepulauan, masing-masing Dahlan Abdoellah, asisten dosen Universitas Leiden mewakili Persatuan Mahasiswa Hindia-Timur, IV (Indiesche Vereeniging) Han Tiauw Tjong, mewakili organisasi Chung Hwa Hui (masyarakat Cina Hindia-Timur) , dan Humbertus van Mook yang menjadi ketua Asosiasi Indologi dan mewakili kelompok non-pribumi yang menetap di Hindia-Timur.

Kongres itu cukup menarik karena baru pertama kali diadakan oleh pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Sebagai pembicara pertama, Dahlan Abdoellah mempermasalahkan konstitusi di Hindia-Timur, di mana sebenarnya masyarakat pribumi sebagai mayoritas memiliki hak yang lebih besar untuk berperan di administrasi pemerintahan.

Ia mencontohkan berbagai gerakan nasionalisme seperti Boedi-Oetomo, Syarikat Islam dan Indiesch Partij yang berkembang dan pesat dan menuntut hak otonomi yang lebih luas untuk memperbaiki taraf kehidupan sosial masyarakat di koloni Belanda di Hindia Timur.

Ia pun mengecam pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang dinilai tetap saja melakukan dominasi dan monopoli kekuasaan dan sama sekali tidak memberi peluang kepada Dewan Rakyat (Volksraad) untuk turut berperan dan berpartisipasi memperbaiki kondisi sosial masyarakat banyak.

Pada forum ini, Dahlan Abdullah menghimbau kepada semua insan mahasiswa dan pelajar, tak terkecuali turunan Belanda dan turunan Cina yang lahir dan besar di Hindia-Timur, untuk peduli dan bahu membahu memperjuangkan hak kebebasan yang lebih luas bagi penduduk pribumi yang sangat terkebelakang baik taraf hidup sosial dan pendidikan.

Pada waktu giliran wakil dari Chung Hwa Hui, Han Tiauw Tjong mengharap masyarakat turunan Cina jangan dipisahkan ataupun dikucilkan dari lingkungan masyarakat pribumi, Indo ataupun Belanda (penetap). Tetapi turunan Cina juga diperlakukan sebagai mitra dalam mewujudkan pembangunan masyarakat berbangsa di gugusan kepulauan nusantara ini.

Pada gilirannya, van Mook mengemukakan, pemerintahan kolonial Belanda harus memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Hindia-Timur. Hukum dan ketenteraman harus ditegakkan sebagai dasar bagi terwujudnya pembangunan. Van Mook juga menyinggung mengenai kemerdekaan yang juga harus diberlakukan bagi penghuni negeri jajahan.

Kemerdekaan Indonesia pernah didengungkan oleh GK Hogendorp pada 1819 di Staten-Generaal (Parlemen Belanda). Nama Hogendorp dikenal sebagai pemuka gerakan kemerdekaan Belanda pada 1813, ketika Belanda berada di bawah penjajahan Prancis pada masa Perang Napoleon yang melanda Eropa di abad ke-19.

Anti-Diskriminasi

Pemerintahan Hindia-Belanda sepenuhnya berada di bawah kepemimpinan dan aturan "Belanda-totok. " Maksudnya orang Belanda yang asli lahir dari negeri Belanda yang boleh memerintah. Sedangkan mereka yang dilahirkan di luar Belanda, atau di negeri jajahan, tidak diperkenankan memimpin negeri jajahan.

Hal ini dialami van Mook, sekalipun kedua orang tuanya Belanda asli dan mengabdi sebagai guru, tetapi puteranya Humbertus Johannes van Mook yang lahir di Semarang pada 30 Mei 1894, tidak diberlakukan sebagai orang Belanda, dan menjadi korban diskriminasi. Untuk itu van Mook hanya meraih jabatan Letnan-Gubernur, sedangkan posisi Gubernur-Jenderal harus asli kelahiran Belanda yang menjadi aturan Staten-Generaal di Belanda.

Praktik diskriminasi membangkitkan semangat turunan Belanda kelahiran Indonesia , terutama kalangan mahasiswa dan pelajar yang belajar di negeri Belanda memperjuangkan hak azasi persamaan hak kemerdekaan. Untuk itu Fakultas Indologi di Universitas Leiden sempat menjadi pusat kegiatan pemikir-pemikir perduli Indonesia .

Banyak pula di antara pengajar pada jurusan Indologi turut mewujudkan benih-benih kemerdekaan Indonesia . Diantaranya Snouck Hurgonje, Van Vollenhoven, Hazeu, Carpentier Alting, dan lain-lain yang dalam pandangan mereka kolonialisme Belanda di Indonesia tidak akan kekal.
Mereka inginkan terjalinnya harmonisasi hidup berdampingan dengan penduduk pribumi diberi peluang lebih besar dengan pengembangan pendidikan hingga timbul masyarakat pluralistik multi-etnis di bawah satu ikatan kebangsaan di gugusan nusantara yang terdiri dari masyarakat majemuk dengan sebutan Indonesia .

Sejak awal abad ke-20 memang sudah muncul berbagai gerakan kebebasan di kalangan masyarakat pelajar pribumi. Tetapi umumnya gerakan ini hanya untuk kepentingan primordial ataupun sektarian. Boedi-Oetomo di dirikan oleh para tabib Jawa untuk kepentingan perbaikan taraf hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Sedangkan Sarekat Islam didirikan kelompok pedagang Islam untuk memperbaiki kegiatan perdagangan menghadapi masyarakat dagang Cina dan Belanda. Pokoknya tujuan semua organisasi pribumi sama sekali asing dengan pengembangan harmonisasi dan proses asimilasi multi-etnis sebagai satu bangsa. Sedangkan penyatuan etnis hanya terjalin melalui proses pendidikan yang membaurkan berbagai turunan etnis pribumi.

Proses kebangkitan politik masyarakat pluralistik mulai muncul waktu Indische Partij didirikan 6 September 1912 oleh Dr Ernest F E Douwes Dekker, Dr Tjiptomangoenkoesoe mo dan Soewardi Soerjaningrat. Padahal ketiga mereka ini adalah pemuka dari tiga organisasi berbeda.

Douwes Dekker berasal dari Insulinde partij, yang memperjuangkan emansipasi turunan Belanda dan Indo dari perlakuan diskriminasi kaum "Belanda Totok," Tjiptomangoenkoesoe mo dari Boedi-Oetomo yang tebal dengan premordialisme Jawa dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pendiri sekolah Taman Siswa berhaluan pendidikan Islam. Tetapi masing-masing melepaskan diri dari ikatan ketertutupan dan mulai mengembangkan masyarakat pluralistik.

Mulanya istilah "Indier" (Hindia) digunakan sebagai sebutan bagi mereka yang berasal dari Hindia-Timur. Istilah ini kemudian digunakan oleh Dr Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (kemudian bernama Danu Dirdjo Setya Budhi). Ia adalah keponakan Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran Multatuli (dari bahasa Latin: saya telah banyak menderita).

Multatuli menulis bukunya yang terkenal, Max Havelaar of the koffie-veilingen der Nderlandsche Maatschappij, mengisahkan mengenai penindasan masyarakat pribumi masa politik taman paksa di Jawa, yang kemudian diakui sebagai karya kesusasteraan Belanda yang bermutu.

Didirikannya Indische Partij oleh Douwes Dekker terinspirasi dari "revolusi mestizo" (turunan Filipina-Spanyol) oleh Aguinaldo di Filipina di akhir abad 19. Cita-cita Douwes Dekker memperjuangkan kemerdekaan dibawah kepemimpinan turunan Indo bersama orang-orang Jawa berpendidikan.

Yang menjadi tujuan utama partai ini untuk mewujudkan identitas masyarakat bangsa multi-etnis yang terdiri dari pribumi, Indo, Cina dan siapa pun yang merasa bagian dari masyarakat di gugusan kepulauan nusantara.

Dari penelitian Profesor Bob Elson, penulis buku The History of The Idea of Indonesia mengatakan bahwa istilah Indonesia berasal dari peneliti sosial George Samuel Windsor Earl pada tulisan, "On the leading characteristics of the Papuan, Australian, and Malayu-Polynesian nation", Journal of the Indian Atrchipelago and Eastern Asia 4 (1850).

Windsor Earl mulanya menyebut 'Indu-nesians' yang menerangkan penduduk kepulauan nusantara termasuk ciri etnografis merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo-matang. Windsor Earl mempermasalahkan bahwa penduduk di gugusan kepulauan nusantara ini tidak dapat disamakan dengan penghuni kepulauan Ceylon (kini Sri Lanka ), Maldives atau Laccadives di Samudera Hindia dari ras India .
Sarjana Inggris James Richardson Logan menyebut gugusan nusantara ini sebagai kepulauan Hindia-Timur, karena sebagian besar dari penghuninya adalah dari ras Melayu yang kemudian berbaur dengan ras Polinesia. Logan , merupakan orang pertama yang menyebut " Indonesia " bagi nama penghuni dan wilayah gugusan nusantara secara geografis.

Ia pun membagi Indonesia dalam empat wilayah geografis: Indonesia Barat (Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau antara), Indonesia Timur-Laut (Formosa hingga gugusan kepulauan Sulu dan Mindanao, termasuk Mindanao, termasuk Filipina hingga kepulauan Visaya); Indonesia Barat-Daya (dari pantai Timur Kalimantan hingga Papua Niugini, termasuk gugusan kepulauan di Papua Barat, Kai dan Aru); Indonesia Selatan (gugusan kepulauan selatan Tans Jawa, antara Jawa dengan Papua Niugini atau dari Bali hingga gugusan kepulauan Timor).

Anthropolog Prancis, ET Hamy pada 1877 mendefinisikan kata "Indonesia" sebagai rumpun pre-Melayu yang menghuni gugusan kepulauan nusantara. Pendapat ini juga di ikuti anthropolog Inggris, AH Keane pada 1880. Sebutan Indonesia bagi wilayah dan penghuni gugusan kepulauan nusantara ini juga diperkenalkan oleh Adolf Bastian, ethnolog Jerman pada bukunya Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884-94).

Istilah Indonesia yang dikembangkan oleh Bastian itu pun mulai dikembangkan dan sejak 1910'an digunakan oleh antropolog Belanda seperti Wilken, Kern, Snouck Hurgronje, Kruyt, dll, semuanya dengan makna yang sama. Untuk mempelajari Indonesia ketika di dirikan Fakultas Indologi di Leiden.

Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, Ratulangie dan lain-lain antara 1903 s/d 1913.

Nama ' Indonesia ' mulai santer, namun dengan bobot politis yang sama dengan 'Hindia', di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di tanah air. Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama, Indonesia pada 1925.

Nama Indonesia kemudian mulai menjadi kebanggaan dan berkembang pesat sebagai perangkat perjuangan identitas suatu bangsa yang terdiri dari masyarakat berbudaya majemuk dilandasi semangat solidaritas kebersamaan. Sebagai hasilnya, Indische Vereeniging, berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918.

Nama Partai Komunis Hindia-Timur yang didirikan tahun 1919 berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1924. Juga muncul Partai Nasional Indonesia yang di dirikan pada 4 Juli 1927.

Begitu pula dengan Parindra (Partai Indonesia Raya pada 1934). Terminologi ini kemudian berkembang dan menjadi nama suatu bangsa yang di akui oleh dunia internasional sejak 1920'an yang turut membangkitkan tuntutan nasionalisme kemerdekaan.

* Penulis adalah pengamat masalah internasional

No comments:

Post a Comment