Wednesday, February 18, 2009

Mengadang Han Suyin

DALAM sebuah risalah yang tersiar di beberapa milis sekitar awal November lalu Joesoef Isak mengabarkan bakal terbitnya sebuah buku karangan Han Suyin terjemahan bahasa Indonesia berisi biografi Zhou En.lai, seorang negarawan ulung China. Pengarang usia 90-an ini telah menulis belasan roman dan novel antara lain The Cripple Tree, Birdless Summer, A Many Splendoured Thing dll., semuanya terpaut erat sejarah (negeri) leluhurnya yang sangat dicintainya. Yang terakhir itu juga difilmkan dan beredar sejak 1960-an dengan Willam Hoden dan Jenifer Jones selaku peran utama. Namun selama ini jejak perdana menteri Zhou En-lai sebagai negarawan ulung belum pernah selengkap sekarang tersaji dalam karya Han Suyin yang semoga segera terlaksana penerbitannya dalam bahasa kita. Mengapa calon penerbit yang hingga kini belum disebut oleh Joesoef Isak itu begitu gairah menerbitkan buku Han Suyin ini, patut ditunggu jawabnya.

Namun setidaknya Joesoef Isak sendiri berilusi akan sangat bermanfaat bagi negara bangsa yang sedang tersandung pelbagai kendala dalam perjuangan membangun kembali martabatnya sebagai republik kesatuan. Sebuah republik yang terus-menerus dilanda perang dengan pelbagai bentuknya: konflik etnik, agama, ideologi, sekat-sekat kelas dalam masayrakat dll. Seakan tak pernah tercipta perdamaian sejati kecuali gencatan senjata informal yang sewaktu-waktu selalu berkobar kembali dalam bentuk teror dan konflik fisik. Sebuah republik yang sudah puluhan tahun menunggu dengan sia-sia munculnya seorang pemimpin, bukan sekedar pembesar negara. Kebangkitan Republik Rakyat Cina yang dengan pesat melesat sebagai negara besar di samping pesaingnya (AS, Rusia, Inggris, Prancis ) menjelang akhir abad lewat, tidak terlepas dari peran figur Zhou En-lai sebagai pemimpin teladan.

Adalah Perdana Menteri Zhou En-lai yang memiliki kharisma besar, telah berhasil merahabilitir Deng Xiao Bing yang terjungkal dari posisi politbiro dan pemerintahan selama revolusi kebudayaan proletar. Adalah Deng Xiao Bing pelaksana strategi Zhou En-lai dalam pembangunan negerinya ketika sang negarawan tak sempat lagi melakukannya karena tutup usia. Barangkali itu jawabnya, mengapa buku Han Suyin yang menelaah figur Zhou En-lai sebagai negarawan besar perlu diterbitkan dan dibaca di Indonesia. Kebijakan negarawan ini sebagai pemimpin kharismatik merupakan teladan menonjol, bukan hanya bagi negerinya sendiri tapi juga bagi banyak negara "dunia ketiga" di mana dia bersama rekan-rekannya, Sukarno, Nehru, Sekou Toure, Sihanouk, Nazer dll. pernah memelopori gerakan pembebasan Asia-Afrika dengan konferensi puncaknya di Bandung (1955). Sebuah kerjasama dan setia-kawan yang memegang teguh kesadaran siapa musuh siapa kawan.

Dalam skala nasional negeri kita kesadaran ini merupakan faktor utama yang sering dilupakan bahkan dilanggar karena egoisme etnik, agama, ideologi, bahkan sekat-sekat kelas di masyarakat kita.Mao Zedong - Zhou Enlai - Lin BiaoDari sisi ideologi rasanya akan sangat menarik untuk mengikuti latar belakang runtuhnya Lin Biao sebagai panglima Tentara Pembebasan (angkatan bersenjata) Cina. Peristiwa bersejarah ini bermula dari pertentangan antara Lin Biao dengan Mao Zedong yang juga melibatkan Perdana Menteri Zhou En-lai. Dalam sidang pleno ke-2 dari Kongres ke-9 Partai Komunis Cina di Lushan (21 Agustus 1970), Lin Biao mengajukan usul agar posisi jabatan Presiden (terakhir dijabat Liu Shao-chi hingga pemecatannya, 1966) dipulihkan kembali. Usul ini mendapat dukungan Chen Boda, seorang anggota politbiro. Isi dan prosedur usul ini merupakan acara resmi biasa, namun agaknya bagi Ketua Mao merupakan move murid terbaiknya itu. Sebab, jika sistem kepresidenan dipulihkan, otomatis Ketua Mao bakal tampil sebagai Presiden dan Lin Biao selaku orang kedua dalam jajaran kekuasaan, otomatis menduduki posisi Wakil Presiden.

Lantas apa yang terjadi jika sang Ketua uzur karena umur dan tidak berdaya lagi? Jawabnya: Lin Biao bakal mengoper segala kekuasaan, baik sebagai Ketua Partai maupun Presiden Republik Rakyat Cina. Hampir semua media dalam dan luarnegeri sampai pada kunklusi ini. Tetapi rakyat Cina sendiri baru satu tahun kemudian menerima pengumuman resmi tentang realitas sebenarnya. Suatu ketika di bulan September 1971 sebuah peristiwa bersejarah yang mengagetkan mengguncang politbiro Partai Komunis Cina. Lin Biao, jendral besar Chie Fang Chun (Tentara Pembebasan Rakyat ), pejuang ulung yang dikenal sebagai murid terbaik Mao Zedong, tiba-tiba terbuka kedoknya sebagai musuhnya.

Dengan dukungan Li Liquo putranya, sang jendral yang pernah resmi diangkat sebagai calon penerus Mao Zedong (1966), ini diam-diam merancang makar berupa percobaan pembunuhan dan kudeta terhadap gurubesarnya. Tak seorang anggota partai kecuali Zou En-lai dan Ketua Mao sendiri menerima informasi gawat ini. Tragisnya, rencana kudeta berdarah ini bocor gara-gara putri Lin Biao sendiri, Lin Liheng, yang sangat ceroboh membual perihal ulah ayahnya. Li Zhisui, seorang mantan dokter pribadi Mao Zedong, menulis dalam memoarnya, hubungan Lin Liheng dengan ibunya sangat renggang. Tak terhindarkan gadis itu punya anggapan keliru seolah sang ibu berlawanan sikap (politik) dengan sang ayah. Agaknya kecerobohan itu tersiar keluar dari lingkungan keluarga, membikin fatal nasib Lin Biao sebelum rencananya terlaksana.

Lin Biao akhirnya coba melarikan diri. Ketika PM Zou En-lai menerima informasi adanya sebuah pesawat jenis Trident yang ditumpangi Lin Biao coba melarikan diri, negarawan yang pernah ikut serta memelopori Konferensi Bandung, ini meminta pendapat Ketua Mao, apakah angkatan udara perlu segera dikerahkan untuk mengejar dan menembak jatuh pesawat Lin Biao. Sang Ketua hanya menjawab dengan mengutip petatah-petitih Tiongkok kuna: "Ibarat hujan akan turun dari langit, jika seorang gadis ingin kawin, biarkan sajalah..." Peristiwa itu terjadi pada 13 September 1971. Lin Biao gugur menjelang musim gugur. Namun baru dalam bulan Agustus 1973 Partai Komunis Cina secara resmi memecat (arwah) Lin Biao dari keanggotaan partai - post mortum. Sejauh ini nasib Chen Boda sebagai pendukungnya tidak diketahui.

Yang terang dia tidak berada dalam pesawat yang digunakan Lin Biao untuk melarikan diri.Selama revolusi besar kebudayaan proletar (1966-1970), kritik dan otokritik berlangsung di semua jajaran pimpinan partai dan pemerintahan, menjalar hingga lingkungan keluarga. Bukan perkara tabu jika kritik-otokritik berkembang melampaui batas perikemanusiaan, berubah jadi pengganyangan tanpa belas-kasihan. Pengkhianat proletariat, elemen revisionis, penempuh jalan kapitalis dalam partai dan semacamnya, adalah stigma murah yang beredar di pasaran hampir setiap hari. Adalah peristiwa biasa jika seorang anak terang-terangan mengganyang ibu-bapak, sebab dalam perjuangan kelas berlaku ajaran "berontak dapat dibenarkan" (Chiang Ching, Yau Wen Yuan). Seperti biasa, setiap peristiwa dan situasi gawat selalu dengan ketat dirahasiakan demi mencegah kekalutan di kalangan anggota partai dan rakyat biasa. Namun para penyelidik Uni Sovyet sudah pada hari pertama terheran-heran, mengapa sebuah pesawat angkatan udara Cina jenis Hawker Trident memasuki wilayah udara Mongolia Luar dan diketemukan jatuh berkeping-keping di luar perbatasan Cina.

Para pejabat Mongolia nampaknya merasa kurang wenang melakukan penyelidikan, sebab peristiwa itu merupakan masalah besar bila dikaitkan dengan permusuhan ideologi antara Beijing (Marxis-Leninis) dan Moskwa (revisionis) . Agaknya Moskwa dengan cepat ingin mengambil manfaat dari peristiwa ini dalam rangka permusuhannya dengan Beijing. Pasalnya, mereka temukan Lin Biao diantara penumpang yang tewas, termasuk Ye Qun istrinya, Li Liquo putranya, beberapa perwira pengawal dan kru pesawatnya. Tetapi Pravda maupun corong radio Moskwa bungkam, barangkali menunda hingga identitas para korban dipastikan. Namun pers barat melansir berita spekulatif: perdana menteri Zou En-lai ikut bermain di belakang punggung Ketua Mao. AFN (American Forces Network - Europe) melontarkan tandatanya, mengapa seorang Lin Biao yang selalu lantang menentang revisionisme, melarikan diri ke wilayah Mongolia Luar yang dikenal sebagai satelit Moskwa. Sementara itu pers barat sibuk dengan spekulasinya sendiri, mengembus sassus seolah satu sisi badan pesawat Trident yang coba melarikan diri, menyenggol tanki truk bahan bakar di tepi runway, menyebabkan kerusakan pada sistem penyaluran bahan bakar hingga akhirnya Trident jatuh di seberang perbatasan. Versi lain berspekulasi seolah Trident tak sempat mengisi cukup bahan bakar karena satuan angkatan darat sempat memasuki pangkalan udara dan mengejarnya.

Pesawat itu terpaksa terbang rendah demi menghindari radar di sekitar pangkalan udara, dan ini mengakibatkan borosnya bahan bakar hingga akhirnya kehabisan tenaga dan jatuh berkeping-keping di daratan Mongolia Luar. Konon PM Zou En-lai merasa lega dengan tewasnya Lin Biao. "Lebih baik begitu," kata Zhou. Tetapi Han Suyin, penulis biografi Zhou En-lai, menyodorkan visi berbeda. Pengarang belasan roman dan novel dalam terjemahan ke banyak bahasa termasuk Mandarin, Inggris, Prancis, Spanyol dsb., ini menulis data sebenarnya. Ketika dengar Lin Biao berada di sebuah pesawat militer yang sedang melarikan diri, PM Zhou justru memberi perintah agar semua pesawat angkatan udara tetap berada di pangkalan, dilarang meninggalkan landasan. Menurut Han Suyin, Zhou En-lai sama sekali tidak pernah meminta ijin Ketua Mao untuk memberi komando angkatan udara agar mengejar dan menembak jatuh pesawat Lin Biao.

**Hari ini kita masih menunggu Han Suyin di Indonesia. Ingin tahu juga apakah peristiwa sejarah yang menegangkan itu tertuang dalam bukunya. Penulis artikel ini yakin, buku Han Suyin yang bakal terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia, itu bukan "Love Is A Many Splendoured Thing", "The Cripple Tree" atawa "Birdless Summer".**

Soeprijadi Tomodihardjo
Penulis tinggal di Jerman

No comments:

Post a Comment