Wednesday, February 18, 2009

Cap Go Meh - Pesta Penutupan Tahun Baru Imlek


Oleh: David Kwa[1]

Seperti pernah saya bahas sebelumnya, Cap Go Meh 十五暝 bermakna “Malam Ke-15” atau “Malam Tanggal 15” (Cap Gou 十五 = 15; Meh 暝 = malam). Disebut demikian, karena Cap Go Meh jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Imlek (‘Kalender Lunar’, yakni kalender Tionghoa), tepat 15 hari setelah Tahun Baru Imlek. Berbeda dengan Tahun Baru Imlek yang merupakan family affair, artinya merupakan ajang reuni bagi seluruh anggota keluarga dan handai-taulan, dan dengan begitu hanya dirayakan di lingkungan keluarga dan handai-taulan, bukan di kelenteng, apalagi di mal-mal seperti sekarang ini, maka Cap Go Meh lah yang merupakan public affair, berpusat di kelenteng serta dirayakan secara meriah di jalan raya dengan berbagai atraksi dan hiburan. Cap Go Meh merupakan penutup dari seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama lebih dari dua minggu.

Nama resmi Cap Go Meh sebenarnya Goan Siau 元宵. Secara umum Goan Siau dianggap pesta lampion rakyat dan pesta lampion ini sebenarnya berasal dari masa dinasti Han (206 SM-220 M). Makna kata Goan Siau 元宵 sebenarnya ‘bulan purnama di bulan pertama Imlek’ dan Goan Siau 元宵 adalah perayaan menyambut ‘bulan purnama di bulan pertama Imlek.’

Selain Goan Siau, nama lainnya adalah Siang Goan 上元, atau „Goan Pertama,” sebab ada pula Tiong Goan 中元 (Goan Kedua) dan He Goan 下元 („Goan Ketiga”) yang masing-masing merupakan hari lahir Sam Koan Tayte 三官大帝, atau Tiga Penguasa Alam, yang kedudukannya berada di bawah Tuhan Yang Maha Esa. Siang Goan 上元 memperingati hari lahir Thian Koan Tayte 天官大帝, atau Penguasa Langit, yang memberikan beratus rahmat (su-hok 賜福) kepada umat manusia, jatuh pada tanggal 15 bulan pertama (Ciangwe Capgo 正月十五); Tiong Goan 中元 memperingati hari lahir Te Koan Tayte 地官大帝, atau Penguasa Bumi, yang memberikan pengampunan dosa (siacue 赦罪) kepada arwah di akhirat, yang jatuh pada tanggal 15 bulan tujuh (Chitgwe Capgo 七月十五), bertepatan dengan Sembahyang Pertengahan Bulan Tujuh (Chitgwe Poan 七月半); dan He Goan 下元 memperingati hari lahir Sui Koan Tayte 水官大帝, atau Penguasa Air, yang menghindarkan berbagai bencana dan malapetaka (kai’ek 解厄), terutama banjir, jatuh pada tanggal 15 bulan sepuluh (Capgwe Capgo 十月十五) Imlek (“Kalender Lunar”). Ketiga penguasa Thian Koan Tayte, Te Koan Tayte, dan Sui Koan Tayte tersebut lah yang secara kolektif disebut Sam Koan Tayte 三官大帝 atau Sam Kai Kong 三界公. Altarnya biasa dapat ditemui di atas pintu utama sebuah kelenteng, seperti yang ada di Kelenteng Ban Tek Ie 萬徳院 Banten, Kelenteng Kim Tek Ie 金德院 Jakarta, dan Kelenteng Tay Kak Sie 大覺寺 Semarang.

Karena pada hari Cap Go Meh Thian Koan Tayte diyakini memberi rahmat kepada warga (Thian Koan Su Hok 天官賜福), maka warga biasa berkeliling untuk memperoleh berkahnya. Sebagaimana sudah saya sebutkan di atas, di Tiongkok pesta ini telah dirayakan sejak dinasti Han 漢 (206 SM-220 M), namun pada zaman Tong 唐 (618-907) dan Song 宋 (960-1279) menjadi lebih semarak karena dimeriahkan dengan pesta lampion. Bangsawan dan orang-orang kaya di kota-kota berlomba-lomba memasang lampion untuk memamerkan gengsinya. Pada masa itu pesta lampion berlangsung hingga 5 hari. Sebab itu pesta ini juga dinamai Teng Ciat 燈節 (‘Festival Lampion’).

Perayaan Cap Go Meh berpusat di kelenteng dan di beberapa kota di Indonesia, misalnya Jakarta, Bogor, Tegal, Lasem dan Singkawang, biasanya dimeriahkan dengan upacara Gotong Toapehkong atau Ngia Hio 迎香. Istilah lainnya adalah Jiau Keng 繞境 yang berarti ‘mengelilingi lingkungan’; kedua istilah tersebut berasal dari dialek Hokkian Selatan (Banlam 閩南). Namun, dalam dialek Mandarin, istilah yang sering dipakai adalah Xun Jing 巡境, artinya ‘merondai lingkungan.’ Ini menunjukkan bahwa maksud dari Ngia Hio, Jiau Keng atau Xun Jing adalah, kimsin 金身 (‘arca perwujudan’) para Dewa-Dewi Pelindung Masyarakat dengan segala kebesaran diusung keluar kelenteng untuk meninjau masyarakatnya, guna memberi berkah serta membersihkan lingkungan dari pengaruh negatif akibat ulah segala jenis hantu-jejadian.
Sebelum upacara Gotong Toapehkong kimsin dimulai dengan sebuah ritual Dewa-Dewi diturunkan ke sebuah kio 轎 (‘joli atau tandu untuk mengusung Dewa-Dewi’) berukir halus dan indah yang memang disiapkan untuk keperluan itu. Melalui ritual tersebut diketahu 符i bahwa pada Cap Go Meh tahun ini Kongcou 公祖 (‘panggilan hormat kepada Dewa’) Hok Tek Ceng Sin 福德正神, Dewa Utama di Kelenteng Hok Tek Bio 福德廟 Bogor, memutuskan untuk turun dari altar pukul tujuh pagi tanggal 21 Februari 2008, pada harian Cap Go Meh. Diikuti oleh Dewi Koan Im Hutcou 觀音佛祖 (Koan Im), Dewa Koan Seng Tekun關聖帝君 (Koan Kong), dan juga Dewa Phoan Kou Tayte 盤古大帝 (Pan Koh) dari Pulo Geulis yang sudah diboyong ke Kelenteng Hok Tek Bio serta Dewa Hou Ciangkun 虎將軍 yang sudah turun ke kio sehari sebelumnya.
Pada Cap Go Meh Gotong Toapehkong merupakan upacara yang sangat penting, karena sudah menjadi keyakinan kuat turun-temurun di kalangan umat bahwa mereka yang menyediakan diri untuk turut mengusung kio Dewa-Dewi yang berat-berat itu akan memperoleh berkah lebih di tengah pergumulan hidup yang harus digelutinya. Istilahnya, selalu saja akan ada kuijin 貴人 atau “tuan penolong” yang bersedia membantu dalam kondisi sesulit apa pun. Maka tak heran apabila kita melihat warga masyarakat seolah “berebut” menggotong, tak terkecuali kaum perempuan. Meski hanya beberapa puluh meter, tergantung stamina, umat tetap berusaha turut mengusung. Bandingkan dengan keyakinan akan ngalap berkah pada ritual Garebeg Sekaten dalam masyarakat Jawa.

Pada Cap Go Meh tahun 2008 ini pengusungan lima kio Dewa-Dewi dari Kelenteng Hok Tek Bio dimulai oleh pengurus serta umat Kelenteng sendiri, baru kemudian dilanjutkan oleh warga masyarakat luas, setelah melalui beberapa ratus meter. Mengingat jarak yang ditempuh cukup panjang―dari Pasar Bogor hingga Simpang Batutulis, sejauh kira-kira 5-6 km―maka warga pasti tak perlu khawatir tak kebagian menggotong. Dan tentunya siapa saja yang ingin ngalap berkah boleh turut berpartisipasi, tanpa memandang etnik dan agama.

Kio yang sebenarnya cukup berat menjadi terasa tak begitu berat karena beban kio dibagi menjadi 16 kayu-kayu pemikul yang masing-masingnya dipikul oleh seorang umat, sehingga setiap umat hanya memikul beban sebesar satu per 16 dari beban keseluruhan. Dengan demikian kio akan terasa lebih ringan ketimbang hanya dipikul oleh 4 orang. Di samping itu, kapasitas setiap kio yang menampung partisipasi umat dalam menggotong juga tentunya akan lebih besar. Pembagian beban diatur sedemikian rupa dengan cara mengikat kayu-kayu pemikul sehingga saling bersilangan.

Karena para hari Cap Go Meh para Dewa-Dewi berkenan keluar kelenteng untuk membagi-bagi berkah, maka biasanya mereka yang bersujut akan menyambut lewatnya rombongan Dewa-Dewi di depan rumah mereka, dengan mendirikan sebuah meja sembahyang (hio toh 香桌) lengkap dengan makanan persembahannya, sebagai pertanda kesujutan.

Pada Cap Go Meh kali ini ada ritual Potong Lidah. Ritual ini sebenarnya bukan semata-mata ritual khas Cap Go Meh. Pada upacara-upacara sembahyang biasa di beberapa kelenteng pun upacara ini pun kerap dilakukan. Biasanya saat akan menulis hu 符 (‘izim’) untuk perlindungan badan, pembersihan tempat, pengobatan dan lain-lain, seorang tangsin 童身 (‘medium’), yang berada dalam keadaan lohtang 落童 (trance) karena tubuhnya “dipinjam” sang Dewa, menyayat lidahnya sendiri―kadang hingga putus―dengan sebilah pokiam 寶劍 (‘pedang pusaka’) yang disucikan khusus untuk upacara. Darah yang keluar lalu dicampurkan dengan gincu 銀朱 (‘sejenis pewarna merah’) yang sudah dicairkan dengan arak putih, lalu dipakai untuk menulis hu. Konon hu yang ditulis sang tangsin 童身 (‘medium’), dengan darah tersebut, mewakili sang Dewa yang “meminjam” tubuhnya, diyakini sangat kuat power-nya. Anehnya, tangsin yang bersangkutan tak merasa sakit lidahnya disayat, bahkan lukanya pun akan sembuh sendiri tanpa diobati. Jadi, ritual Potong Lidah merupakan salah satu ritual yang lazimnya dilakukan seorang tangsin 童身 dalam keadaan lohtang 落童. Ritual lainnya termasuk Tusuk Pipi, Mandi Minyak dan Injak Api. Kabupaten Bogor memang mempunyai beberapa daerah yang turun-temurun “produsen” tangsin, seperti Cileungsi, Jonggol, dan Babakan Madang.

Hal menarik yang dirasakan seorang teman dari Jakarta dituturkan kepada penulis. Cap Go Meh di Bogor, berbeda dari Cap Go Meh di tempat-tempat lain yang dia pernah saksikan adalah, sangat terasa aroma kebersamaan antara warga Tionghoa dan non-Tionghoa. Sehingga tak salah bila ada seorang teman non-Tionghoa yang mengatakan Cap Go Meh adalah pesta rakyat yang ditunggu warga Bogor. Ruang publik seperti jalan raya menjadi tempat tumpah-ruahnya warga yang ingin berbaur menyaksikan arak-arakan arca perwujudan Dewa Hok Tek Ceng Sin keliling kota. Seluruh warga Bogor dari berbagai latarbelakang etnik dan agama berbaur menjadi satu. Sejenak kita lupakan sekat-sekat yang biasanya seolah terasa dalam keseharian. Semua terlarut dalam kegembiraan yang hanya ditemui setahun sekali, yang menjadi kenangan berbekas sangat indah terukir di hati. Maka tak berlebihan kiranya apabila tema Cap Go Meh ’08 Bogor Street Fest kali ini adalah budaya pemersatu warga Bogor.

[1] Penulis adalah pengamat budaya Tionghoa di Indonesia, khususnya Peranakan, tinggal di Bogor.

No comments:

Post a Comment