Wednesday, February 18, 2009

Sikap Hidup Orang Batak (Kearifan2 Lokal)

Tiap bangsa atau suku bangsa tentu memiliki falsafahatau pandangan hidup (way of life) yang menjadi landasan ideal yang dipakai untuk menjadi pedoman hidup bersama. Dalam kosmologi Jawa, misalnya, dikenal ada dua dunia,yakni jagad cilik (manusia/individu) dan jagad besar (alam semesta). Kedua jagad tersebut diharapkan dapat bersimbiosis- mutualis (saling menghidupi) dalam suasana damai yang harmonis. Dalam pakeliran wayang hal itu terlihat pada gunungan, yang mengandung arti bahwa alam semesta dan mahluk hidup di dalamnya dapat hidup berdampingan dengan damai. Tak terkecuali dengan suku Batak yang konon terdiri dari 416 marga/keturunan. Mereka memperoleh warisan dari leluhur mereka nilai2 yang dapat menjadi panutandan tuntunan hidup mereka. Hanya sayang, literatur tentang budaya Batak boleh dibilang sedikit,terutama jika dibandingkan dengan literatur budaya Jawa.

Orang mengetahui nilai budaya Batak biasanyadari tradisi lisan saja. Dalam kondisi demikian, tak heran jika pandangan stereotip terhadap orang Batak tumbuh dan berkembang secara simplistis. Orang Batak disimpulkan sebagai berwatak keras, arogan dan kurang toleran, terutama jika dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang mereka geluti yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya, padahal, tidak selalu demikian. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki posisi penting di negeri ini.

Sejarah Suku Batak Leluhur orang Batak sering disebut Si Raja Batak.
Menurut Sitor Situmorang, asal-usul orang Batak danrelasinya dengan langit berdasarkan skema berikut:Putri Batara Guru ---> Ihatmanusia ----> Engbanua -->Si Raja Bonang2 ----> Tantan Debata ----> Si RajaBatak.

Lima generasi keturunan Putri Batara Guru dilukiskan sebagai leluhur berbagai suku bangsa di sekeliling Danau Toba. Si Raja Batak sendiri dikaitkan dengan sejarah pemukiman pertama di kaki Pusuk Buhit yang dihayati sebagai pusat wilayah Toba Na Sae. Raja Batak, konon, adalah anak raja Kerajaan Tulangbawang, yang kini masuk wilayah Lampung Utara. Karena ekspansi Kerajaan Sriwijaya, putra raja ini kemudian melarikan diri disertai beberapa pengikutnya ke utara dan menetap di Pusuk Buhit di bagian barat Danau Toba. Di sanalah ia hidup secara turun temurun, hingga keturunannya yang kini sudah menyebar ke seluruh penujuru dunia.

Dari keturunan Raja Batak, lahirlah garis keturunan yang merupakan ikatan pertalian darah yang kuat dan saling mengikat yang dikenal dengan istilah tarombo(silsilah, garis keturunan, sistem marga atau sistemkekerabatan) .Jika dicermati, asal muasal marga2 Batak adalah Pulau Samosir di Danau Toba. Tak heran jika desa2 di sana memiliki nama sesuai dengan nama marga2 yang ada(Silalahi, Sidabutar, dsb). Sebagai suku bangsa yang menganut sistem patrilinial, oleh penerusnya tarombo selalu diperbaharui dengan cara mendaftarkan/ memasukkan nama anak2nya (khususnyalelaki) sebagai garis keturunan berikutnya.

Dari level keturunan ini pula (dalam budaya Batak kerap juga disebut nomor), seseorang bisa memposisikan dirinya terhadap orang lain. Artinya, dengan tingkatan tersebut ia dapat menyebut/memanggil seseorang dengan sapaan tertentu (Oom/Tulang, Kakek/Opung, dsb).

Falsafah Hidup Orang Batak
Falsafah hidup orang Batak yang dikenal selama ini adalah boraspati (cecak). Falsafah yang bisa dipetik dari cecak yakni dalam kondisi/posisi seperti apa pun (di bawah, di atas atau di samping), cecak selalu menempel/lengket dengan habitatnya. Tafsir boraspati, jika demikian, orang Batak (harus) mudah beradaptasi dan (akan) disenangi olehlingkungannya.

Dalam realitasnya, hal itu terpantul lewat berbagai aspek kehidupan mereka. Perhatikan kala mereka merantau, orang Batak selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya dan hidup berdampingan dengan prinsip saling menghormati. Falsafah boraspati ini kemudian dilengkapi dengan 'juklak' (petunjuk pelaksanaan) yang lazim disebut Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga). Secara fisik,tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris dan kokoh untuk menopangperiuk nasi. Ketiga tungku tersebut harus saling dukung danmerupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap tungku punya fungsi dan makna sendiri. Dalamkekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagaitubu (teman semarga), tungku kedua hula2 (jalur/pihakdari istri), dan tungku ketiga boru (pihak yangmenikahi anak perempuan). Dengan kata lain, mereka adalah Raja ni dongan tubu, Raja ni hula2, dan Raja niboru. Mereka harus hidup saling bekerjasama (salingmenolong) meski dengan cara yang berbeda.Sikap terhadap Raja ni dongan tubu kita harus manat(hati2). Perilaku kita tidak boleh menyinggung mereka.Harus saling bertanya dan mengingatkan. Sikap tersebut dalam tamsil Batak sering dinyatakan sebagai "lembutbak daun pisang, dukung mendukung bagai talas ditebing". Sikap terhadap Raja ni hula2 adalah somba (hormat),dalam arti sepenuh hati menghormati pihak mertua,mengingat dari pihak merekalah diperoleh keturunan.

Dalam adat Batak sikap terhadap hula2 ini sering diibaratkan sebagai "di depan harus dikejar, dibelakang harus ditunggu". Sedangkan sikap terhadap Raja ni boru harus elek(membujuk). Pihak boru tidak boleh pulang dengan linangan airmata sewaktu meninggalkan hula2nya.Artinya, jika toh ada kekurangannya, terimalah ia apa adanya, kemudian dibimbing dan diberi nasehat agar ia hidup bahagia.Relevansi dengan Dunia KerjaDalam kehidupan keseharian terutama dunia kerja,falsafah hidup orang Batak juga dapat diterapkan.

Misalnya sikap terhadap teman sekerja, mereka adalah ibarat dongan tubu kita. Kepada mereka kita harus saling bertanya, tukar menukar informasi, salingbekerjsama dan saling menghormati. Karenanya kita harus berusaha menempatkan diri sebaik mungkin, agar mereka tidak tersinggung karena perilakukita --yang pada gilirannya dapat mengganggu ketenangan kerja.Bagaimana sikap kita terhadap atasan? Kita harusbersikap sebagaimana kepada hula2.

Kita harus bersikap hormat yang tulus dan tidak boleh membantah/melawan. Dalam pekerjaan kita harus bisa mengimbangi apa yangmenjadi keinginan atasan kita. Sementara sikap terhadap bawahan bisa diibaratkan sikap terhadap boru. Kita harus bersikap membujuk danmembimbing. Kita juga harus bisa menampung keluhannyadan menerima segala kekurangan/kelemahannya.

Jika bawahan salah, misalnya, kesalahan mereka tidak harus diungkap semua. Kita harus bijak dan dapat berperan sebagai guru.Kesimpulan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak, sebenarnya mempunyai falsafah hidupyang luhur/tinggi, terutama dalam memandang hidup dikaitkan dengan realitas lingkungan sekitar. Falsafah Boraspati dan Dalihan Na Tolu merupakan sebagian kecil dari kekayaan budaya Batak lainnya.

Masih banyak peninggalan leluhur lain yang layak dipelajari, seperti huruf Batak (yang memilikikeunikan tersendiri), filosofi rumah adat Batak,pustaha/kitab pusaka Batak, kalender Batak, tenunBatak (ulos), dan beberapa bentuk patung yang memilikimakna filosofi tersendiri di dalamnya. Setidaknya, melalui tulisan singkat ini, beberapa kandungan kekayaan budaya Batak mulai terungkap. Tak kenal maka tak sayang.

Donny Budiman

No comments:

Post a Comment