Orang2 tradisional biasanya selalu akrab dengan dunia simbol. Tato2 pada laki2 Dayak, kuping panjang pada wanita Dayak, atau "coretan2" artistik pada wajah dan tubuh suku Asmat (Papua), semuanya tentu mengandung makna2 tersendiri sebagai ungkapan diri terhadap keberadaan mereka dalam komunitasnya. Kalau Anda berpergian ke kota2 besar di Kalimantan (Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya, dsb), simbol2itu juga banyak kita lihat. Satu di antaranya adalah ukiran2 kayu atau lukisan burung enggang, yang banyakkita jumpai di gedung2 pemerintahan atau di sudut2jalan kotanya (Foto: burung enggang di salah satu sudut kota Balikpapan).
Burung tersebut bagi orang Dayak dianggap sebagai burung "suci". Setidaknya sebagai perlambang kemuliaan dan kewibawaan pemimpin suku mereka. Burung enggang (di kota kita mengenalnya sebagai burung rangkong?) memang dikenal sebagai burung yang selalu terbang tinggi menjelajah hutan dan gunung,lalu hinggap di ketinggian pohon2 besar. Tubuhnya indah, suaranya merdu dan melengking jauh hingga terdengar dari kejauhan. Bulunya yang indah, disimbolkan sebagai pemimpin yangdikagumi oleh rakyatnya. Sayapnya yang tebal menggambarkan sebagai pemimpin yang melindungi rakyat. Suaranya yang keras, menandakan perintahnya yang selalu didengar oleh rakyat. Dan ekornya yang panjang, dilambangkan sebagai pertanda kemakmuran bagi orang Dayak. Atau dengan kata lain, demikianlah idealnya seorang pemimpin bagi masyarakat Dayak. Orang Dayak memang selalau dekat dengan alam. Dari alam mereka hidup dan dari alam pula mereka mengambil makna dalam kehidupannya.
Dengan demikian,mengambil hutan atau tanah dari kehidupan orang Dayak, sama saja dengan mencabut mereka dari akar2kehidupannya. Sebagaimana ikan yang dipisahkan dari air. Karena itu, diperlukan kearifan2 dalam memahami setiap masyarakat dengan segala kebudayaannya. Bukankah kita baru "mengetahui" diri kita setelah "melihat" oranglain"?
Donny Budiman
No comments:
Post a Comment