Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 mengatakan bahwa rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno merupakan lambang dan petunjuk diri yang sangat menentukan. Maksudnya, rambut adalah simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang. Dengan begitu, rambut mesti diberi perawatan terbaik agar terjamin tetap hitam, lebat, dan harum. Sehingga, menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin merupakan cara menunjukkan kekuatan sekaligus kekuasaan serta kewibawaan seseorang. Maka tak heran, bila dalam film-film yang berlatar kerajaan-kerajaan masa lampau, para jago dan ksatria digambarkan banyak yang berambut panjang.
Begitu besarnya penghormatan terhadap rambut, sampai-sampai ada pandangan yang menyatakan bahwa “Mencintai rambut sama dengan mencintai kepalanya.” Kepala merupakan bagian tubuh yang paling dihormati dan disucikan. Alhasil, memotong rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno diartikan sebagai simbol pengorbanan diri ketimbang pembeda jenis kelamin, sehingga perlu dilakukan ritual khusus pemotongan rambut.
Memotong rambut sama dengan pernyataan kesedihan yang mendalam, seperti akibat ditinggal mati orang tua, suami, atau raja. Memotong rambut dapat juga dilakukan atas dasar motif keagamaan atau pernyataan selamat tinggal pada sifat keduniawian. Atau bisa juga sebagai janji (nazar) karena telah berhasil memperoleh sesuatu, seperti yang dilakukan Aru Palakka di tahun 1672 setelah kemenangannya atas Makassar. Jadi bagi masyarakat Asia Tenggara kuno, rambut merupakan bagian dari eksistensi pribadi yang sangat dihormati.
Rambut mulai mendapatkan pengaturan, setelah masuknya pengaruh Barat, seperti agama Islam dan Kristen. Bila sebelumnya rambut panjang dikaitkan dengan kedewasaan serta kekuatan spiritual seseorang, masuknya pengaruh tersebut, menjadikan rambut sebagai penanda seksualitas seseorang. Artinya, terjadi pergeseran pandangan pada persoalan seksualitas yang menekankan pada pengekangan seksual dan pembedaan antara perempuan dan laki-laki.
Pemotongan rambut bagi laki-laki kemudian dimengerti sebagai simbol ketaatan terhadap agama. Di Bali abad ke-16 misalnya, ketika seorang utusan Islam dari Mekkah mempersembahkan sebuah gunting kepada seorang pangeran. Dengan serta merta pangeran itu menghancurkan gunting tersebut karena dianggap sebagai ajakan masuk Islam. Lain lagi yang dilakukan Diponegoro sewaktu melawan Belanda pada awal abad ke-19. Ia memerintahkan seluruh pengikutnya memotong rambut sebagai pembeda dengan orang Jawa yang “murtad” karena bekerja sama dengan Belanda.
Di Indonesia, di mana Islam menjadi agama mayoritas, potongan rambut pendek dan memakai kopiah (peci) menjadi bagian dari kebudayaan Islam. Bahkan pemakaian peci itu pun menjadi simbol dari gerakan nasionalisme. Seperti kata Soekarno kepada Cindy Adams (1966:51), “Peci merupakan ciri khasku dan menjadi simbol bangsa Indonesia yang merdeka.” Pemakaian peci, menurutnya, merupakan tanda kedekatan dengan masyarakat kelas bawah, sebagaimana penggunaan sarung dan kendaraan becak. Sewaktu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia mempertunjukkan dirinya sebagai kombinasi Timur dan Barat dengan memakai peci serta jas meski tanpa dasi.
Identifikasi seperti yang dilakukan Soekarno merupakan buah dari proses modernisasi Indonesia sejak awal abad ke-20, sejalan dengan politik etika pemerintah kolonial. Terutama di kalangan terpelajar, karena pendidikan pada waktu itu menjadi sarana mobilitas sosial paling penting. Dengan berpendidikan gaya Barat, maka penduduk pribumi bisa masuk ke dalam tatanan sosial Hindia-Belanda yang rasialis. Alhasil, dapat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang lebih tinggi statusnya (Shiraishi, 1997:39-42).
Lalu identifikasi seperti apa yang mereka lakukan? Mau tak mau usaha pensejajaran diri dilakukan dengan meniru gaya hidup bangsa Barat yang menjadi simbol kemodernan saat itu. Anak-anak muda Indonesia lantas berpotongan rambut pendek dan klimis, berpakaian jas, bersepatu, dan menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari, serta makan di restoran atau menonton film di bioskop.
***
Lain lagi pada masa Jepang, yang menghilangkan semua yang berbau Barat (Eropa). Anak-anak muda Indonesia yang telah berganti generasi juga memiliki cara lain untuk mengindentifikasika n dirinya. Apalagi oleh Jepang, mereka diberi kesempatan berlatih militer yang tidak pernah dirasakan pada masa Belanda. Anak-anak muda Indonesia lalu mengalami suasana zaman (Zeitgeist) yang penuh semangat heroisme dan dikenal sebagai semangat ’45.
Gelora zaman terus berlanjut meski Jepang telah menyatakan menyerah dan Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Orang-orang Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp penjara Jepang kaget melihat gaya anak-anak muda waktu itu. Pasalnya, segala simbol kemodernan dalam dunia berbahasa Belanda yang dipenuhi kesopan-santunan telah menghilang dari tanah Indonesia. Mereka malah melihat anak-anak muda yang rambutnya gondrong dan berpakaian ala militer, serta bersikap liar dan kurang ajar. Oleh Belanda, anak-anak muda ini disebut sebagai “teroris”, “ekstrimis”, atau “kriminal” sebagai produk salah asuhan Jepang.
Namun di sisi lain, dari kacamata berbeda, anak-anak muda itu ditempatkan sebagai sosok yang protagonis. Suasana pada waktu itu berlangsung panas, keras, dan penuh kecurigaan. Suatu revolusi tengah berlangsung untuk menggusur pemerintahan kolonial, sementara Republik yang baru didirikan ternyata tidak mampu menggantikannya secara utuh. Maka, jalan kekerasan diperlukan jika Republik ingin terus hidup. Ternyata pemimpin-pemimpin politik yang berasal dari generasi sebelumnya yang berpendidikan relatif lebih tinggi tidak cocok dengan pekerjaan penuh kekerasan semacam itu. Pemimpin-pemimpin baru, bermunculan dengan gaya berbeda dengan rambut panjang terurai, berpakaian militer, dan sebuah pistol yang tersemat di pinggang sebagai lambang kekuasaan revolusioner (Reid, 1996:89-92).
Kebanyakan dari mereka adalah para jago yang membentuk laskar-laskar perjuangan. John Smail (1964:127) dalam karya tentang Bandung masa revolusi menulis pengalaman seorang camat yang dengan sengaja menanggalkan seragam pamong praja, membiarkan rambutnya tumbuh memanjang, berbicara blak-blakan, serta selalu membawa sebuah pistol. Dengan mengadopsi gaya tersebut, ia dapat mempertahankan perintah (kuasa) atas rakyat dan badan perjuangan (laskar). Ali Sastroamidjojo (1974:198) dalam otobiografinya menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal 1946.
Bila anak-anak muda berambut gondrong pada periode revolusi menjadi simbol perjuangan revolusioner, Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin malah memandang mereka sebagai simbol kontra-revolusioner . Dengan tegas ia menyatakan anak-anak muda yang berambut panjang ala Beatles dan memiliki selera menyanyikan lagu yang disebutnya ngak ngik ngok sebagai penghambat revolusi Indonesia dan pendukung Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Tak heran, jika Koes Bersaudara sempat dipenjara gara-gara dituding menjadi simbol kontra-revolusioner .
* * *
Ketika Orde Baru berhasil menggeser kekuasaan rezim Soekarno. Era “Politik sebagai panglima” pun diganti dengan slogan “Ekonomi sebagai panglima.” Pembangunan menjadi fokus utama rezim Soeharto. Alhasil, gaya rambut pada masa Orde baru, terutama pada periode awal kekuasaannya, juga harus disesuaikan dengan semangat pembangunan. Rambut gondrong yang pada awal 1970-an menjadi sebuah gaya hidup kalangan muda dipandang sebagai simbol ketidakacuhan terhadap program pembangunan. Maka, pemerintah perlu melarang model rambut tersebut. Aksi-aksi anti-rambut gondrong pun dilakukan aparat keamanan dengan merazia pemuda-pemuda berambut gondrong di jalan-jalan raya, sekolah, atau kantor-kantor pemerintah. Bahkan bagi mereka yang berambut gondrong tidak diperkenankan mengurus SIM, KTP, atau surat bebas G 30 S dari pihak kepolisian, sebelum mencukur rambutnya.
Gara-gara razia rambut gondrong pula, mahasiswa ITB bentrok dengan taruna Akademi Kepolisian dan Brimob pada 6 Oktober 1970. Dalam peristiwa itu, seorang mahasiswa bernama Rene Coenraad tewas tertembak pistol milik taruna polisi. Sehingga menyebabkan “kemitraan” antara mahasiswa dengan militer dalam membangun tatanan sosial Orde Baru semakin merenggang.
Selain aksi-aksi anti-rambut gondrong, upaya pencitraan pun dilakukan. Di harian-harian ibukota, tindak kejahatan orang berambut gondrong sudah menjadi santapan berita sehari-hari. Kata-kata seperti “merampok”, “memeras”, “merampas”, atau “memperkosa” merupakan stereotip rambut gondrong. Dengan serta merta orang berambut gondrong dicitrakan sebagai pelaku tindak kriminal meski tanpa pejelasan bagaimana identifikasi itu terbentuk. Seperti halnya pencitraan atas tato sebagai kriminal pada awal 1980-an, kemudian menjadi legitimasi melakukan penembakan misterius (Petrus).
Mode rambut gondrong dicitrakan sebagai bagian dari gaya hidup yang urakan, yang menyimbolkan ketidakacuhan anak-anak muda terhadap keadaan di sekitarnya, terutama masa depan yang bakal dihadapinya sebagai “harapan bangsa.” Begitulah yang dikatakan Pangkopkamtib Soemitro dalam acara bincang-bincang di TVRI pada 1 Oktober 1973.
Sifat acuh tak acuh atau onverschillig itu, katanya lagi, sengaja dimunculkan lewat rambut gondrong dan pakaian kumal, sehingga anak-anak muda sebagai calon pemimpin tidak memiliki tanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Soemitro juga mengatakan bahwa persoalan anak muda menjadi fokus utama Kopkamtib, di samping usaha penyelesaian masalah G 30 S. Bisa dibayangkan betapa “gawatnya” persoalan anak muda ketika itu, sehingga harus disejajarkan dengan penyelesaian persoalan G 30 S, yang tergolong masalah subversif kelas berat.
Pernyataan Soemitro tak pelak menimbulkan gelombang protes dari kalangan anak muda, terutama mahasiswa. Pada 10 Oktober 1973, DM-ITB mendatangi DPR RI memprotes sikap pangkopkamtib. Aksi-aksi menentang sikap anti-rambut gondrong juga bergema ke daerah-daerah, seperti di Surabaya dan Yogyakarta. Tak bisa dipungkiri memang, reaksi mahasiswa atas pernyataan Soemitro tidak terlepas dari suasana sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat saat itu. Seperti yang dikatakan Tempo, 8 Desember 1973, bahwa persoalan rambut gondrong merupakan refleksi dari adanya kegelisahan yang kian meningkat di kalangan masyarakat serta ketidakpuasan anak muda dan mahasiswa terhadap keadaan yang tengah terjadi, terutama soal pemerataan ekonomi.
Akumulasi ketidakpuasan kalangan anak muda terhadap keadaan di sekitarnya itu dikhawatirkan oleh pemerintah dapat pecah. Untuk meredakannya, Soemitro mengadakan pertemuan dengan mahasiswa di berbagai universitas di Pulau Jawa. Dalam berbagai pertemuan itu, Soemitro mengakui masih ada kekurangan-kekurang an dalam tubuh pemerintahan, seperti belum adanya kepastian hukum, kian meningkatnya kepincangan sosial, dan kesan angker yang ditimbulkan pemerintah terhadap rakyat, serta tidak lancarnya komunikasi dari pola kepemimpinan yang hanya dari atas ke bawah. Oleh karena itu, ia mengusulkan untuk perlunya dilakukan perubahan pola kepemimpinan sosial baru yang bersifat dua arah.
Dalam kesempatan itu pula, ia menyatakan bahwa dirinya tidak melarang rambut gondrong melainkan hanya menganjurkan lebih baik tidak gondrong agar tetap kelihatan selalu rapi. Bahkan dia mengakui bahwa anaknya sendiri berambut gondrong.
“Namun demikian, sebagai orang tua saya ingin meyakinkan kepada anak-anak, bahwa rambut gondrong kurang sedap dipandang. Tapi jika yang diyakinkan itu tidak mau...tidak apa-apa. Cuma saya akan berusaha meyakinkan secara terus-menerus, dan minta kepada mereka untuk merenungkan tentang rambut gondrong. Sebagai orang tua, sebagai pribadi, tokh boleh juga saya menyatakan pendapat seperti halnya saudara-saudara,” kata Soemitro kepada mahasiswa di Surabaya, 22 Oktober 1973.
Pengakuan tentang rambut gondrong ini merupakan hembusan angin yang sedikit menyejukkan dalam hubungan antara anak-anak muda dengan kalangan orang tua. Polemik rambut gondrong secara berangsur-angsur mulai menurun kadarnya. Akan tetapi, ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah masih terus berlangsung pada tahap yang tetap tinggi dan mencapai puncaknya pada peristiwa 15 Januari 1974 atau yang dikenal Peristiwa Malari.
* * *
Dari uraian di atas, kiranya kita dapat menarik sebuah kenyataan bahwa rambut memiliki makna sosial dan historis yang panjang. Rambut bisa menjadi simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang, atau juga menjadi identifikasi suatu generasi. Namun yang pasti, rambut merupakan bagian dari tubuh yang mesti diatur, dikuasai, dan dinormalisasikan sesuai norma-norma yang berlaku. Sehingga, pernyataan yang mengatakan “Rambut adalah mahkota diri” menjadi benar. Bahwa dengan begitu rambut mesti dijaga selayaknya sebuah mahkota kerajaan.
clenoro suharto
-
No comments:
Post a Comment