Provinsi Banten boleh dibilang masih berusia muda. Tepatnya baru berusia sekitar 6 tahun, bila dihitung dari pemisahan wilayahnya dari Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Oktober 2000 lalu (Otonomi Daerah). Namun demikian, bila kita lihat jejak sejarahnya, kehidupan bernegara di Banten sebenarnya sudah terbilang lama. Setidaknya pada abad XVI hingga XIX, Banten pernah menjadi wilayah pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Islam Banten yang berdaulat dengan pelabuhannya yang ramai dikunjungi berbagai bangsa di dunia.
Pusat pemerintahan Kesultanan Banten terletak di daerah Banten Lama sekarang. Jaraknya hanya sekitar110 Km dari Jakarta. Setelah 2 jam lamanya kita berkendaraan dari Jakarta, maka sampailah kita di kota Serang, ibu kota Provinsi Banten sekarang. Dari Serang, bila kita arahkan kendaraan kita ke arah utara sekitar 10 Km, kita pun akan menjumpai situs2 kerajaan tua di sana. Salah satu peninggalan Kerajaan Islam Banten yangmasih terawat dengan baik hingga kini adalah mesjid agung. Mesjid tersebut dibangun pada masa kepemimpinan Maulana Hasanudin (1552 -1570 M), Sultan Banten pertama. Beliau adalah putra Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal orang dengan sebutan SunanGunung Jati, salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa.Arsitektur mesjid tersebut boleh dibilang unik. Atapnya yang terbuat dari kayu bersusun yang berbentuk limas, tak seperti lazimnya atap mesjid yang berbentuk kubah. Hal itu mengingatkan kita pada ciri khas bangunan China. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwapada saat itu akulturasi budaya sudah terjadi di sana. Demikian pula dengan menara mesjidnya. Menara mesjid yang setinggi 30 meter dan berbentuk segi delapan dengan ujung bulat dan terletak di halaman depan mesjid, konon juga dibangun oleh arsitek Mongol bernama Cek Ban Cut, beberapa tahun setelah mesjid berdiri. Menara ini mengambil model mercusuar yangbanyak dijumpai di Portugis (juga bangunan mercusuar lain seperti di Anyer dan Kepulauan Seribu Jakarta). Sedang bangunan tambahan di samping mesjid yang disebut bangunan Tiyamah, sangat kental bernuansa Belanda, yang awalnya digunakan penguasa saat itu untuk membicarakan masalah keagamaan. Ketiga bangunan di atas hingga kini masih terawatdengan baik. Dan pada hari2 tertentu sangat ramai di kunjungi para wisatawan baik dari dalam maupun luarnegeri. Dalam kesempatan tersebut, para pengunjung tidak lupa berziarah ke sejumlah makam sultan yang berada dalam kompleks mesjid atau daerah yang tidak jauh di sekitarnya. Mesjid Agung sendiri, selain masih dipakai untuk shalat Jumat, juga dipakai untuk acara2 ritual agama lainnya –katakanlah seperti acara Maulid Nabi, Shalat Terawih, dan sebagainya. Bila kita naik ke menara mesjid melalui tangga yang melingkar ke atas, maka sejauh mata memandang terlihatlah pemandangan pelabuhan Banten Lama yang masih elok untuk dipandang. Pikiran kita pun menerawang pada kehidupan masa lalu yang sudah ber-abad2 lamanya. Terjadinya perpaduan budaya pada peninggalan sejarah Banten masa lalu dimungkinkan karena awalnya Banten memang pernah menjadi salah satu pelabuhan laut yang ramai dikunjungi orang. Hubungan diplomatik antar negara pun sudah terjadi saat itu dengan saling mengirimkan duta besarnya, seperti dengan negara2 Timur Tengah atau Eropa lainnya. Tidak heran bila para pelayar maupun pedagang dari berbagai penjuru dunia sudah banyak yang singgah bahkan menetap lama di sana. Cornelis de Houtman, seorang pemimpin armada Belanda yang datang ke Batavia pada tahun 1596, sebelum mendarat di pelabuhan Sunda kelapa sempat singgahbeberapa hari di pelabuhan Banten Lama dan diterima dengan baik oleh Sultan Banten. Dalam catatannya ia menulis, pada saat itu pelabuhan Banten sudah ramai dikunjungi pedagang2 dari Portugis, Arab, Turki,China, Keling, Malaya, benggali, Gujarat dan malabar.Mereka berbaur dengan pedagang2 dari Jawa, Bugis,Madura dan Ambon yang juga sudah akrab dengan kehidupan di Banten. Adapun barang2 yang diperdagangkan saat itu adalah mulai dari sutra China,emas, kain tenun hingga berbagai jenis kebutuhan hidup se-hari2 lainnya.Keraton Surosowan, tempat kediaman Sultan, terletak tidak jauh di samping mesjid.
Hanya sayang, kondisi keraton tersebut kini sudah tidak utuh lagi. Yang tersisa kini cuma pondasi dan tembok dinding istana saja. Itu pun dalam keadaan yang sudah sangat memprihatinkan. Menurut catatan sejarah, keraton Surosowan mengalami penghancuran dua kali. Pertama sewaktu terjadi perang saudara tahun 1680 antara Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan ke-6 dalam masa pemerintahan Kesultanan Banten) dengan putranya Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda. Pada saat itu Sultan Ageng sempat dikalahkan dan dipaksa keluar dari istana. Dan kedua saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels tahun 1831 melakukan penghancuran total menyusul sikap Sultan Rafiudin, sultan terakhir Kesultanan Banten, yang menolak perintah sekaligus melakukan perlawanan terhadap Daendels. Pada saat itu Sultan Rafiudin menolak permintaan Daendels untuk memberikan sebagian rakyatnya agar ikut dalam program kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan trans Anyer – Panarukan, yang menjadi proyek prestis Daendels dan banyak memakan korban. Tidak sedikit dari rakyat yang mati karena kelaparan dan penyakit malaria saat itu. Beberapa makamnya kini bisa kita saksikan di sepanjang jalan keAnyer, di daerah barat Banten. Meskipun Kesultanan Banten telah punah sejak abadke-19, namun jejak dan semangat perjuangannya masih terasa hingga kini. Setidaknya bila kita melihat karakter khas orang Banten dan semarak keagamaannya pada saat bulan puasa atau hari2 besar umat Islam lainnya tiba. Situs2 itu masih ramai mereka kunjungi. Memang, berkunjung ke situs2 Banten Lama sekarang,selain membawa kita pada kenangan kejayaan Islam masa lalu, juga membawa pelajaran bagi kita, bahwa rasapersatuan di antara sesama bangsa sangat perlu agar kita tidak mudah dipecah belah oleh bangsa lain.
Donny Budiman
*Foto diambil dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment