Berpulangnya Jusuf Ronodipuro dua jam sebelum wafatnya Soeharto lebih sunyi dari keributan pers. Dia pahlawan tanpa cacat cela.
Di bawah ancaman senjata api, bendera Merah Putih itu berkibar-kibar di depan kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Seorang pemuda Indonesia yang keras kepala dan keras hati sama sekali tak cemas terhadap ancaman Belanda. Yusuf Ronodipuro, pimpinan RRI, menolak menurunkan apa yang mereka sebut Sang Saka Merah Putih, yang berkibar setelah Soekarno dan Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Peristiwa ini kemudian menggerakkan hati Saridjah Niung Bintang Soedibio, lebih populer dengan nama Ibu Sud, untuk menulis lagu Berkibarlah Benderaku.
Keberanian Yusuf menyebarkan dan menyiarkan berita proklamasi itu menjadi inspirasi banyak pemuda saat itu. Dan pada Ahad dua pekan silam, di tengah ingar-bingar masyarakat dan pers tentang mantan presiden Soeharto, nun di Rumah Sakit Angkatan Darat, Jusuf Ronidipuro seorang pahlawan—tanpa harus melalui kontroversi—mengembuskan napas hanya dua jam sebelum Soeharto wafat.
Lahir pada 30 September 1919, Jusuf adalah salah satu saksi penting saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Syahdan, pada 17 Agustus dinihari, demikian tutur sejarahwan Rushdy Husein kepada Tempo, naskah proklamasi sudah diketik, siap ditandatangani Soekarno dan Hatta. Tetapi naskah itu kemudian digandakan oleh pemimpin kantor berita Domei (kini bernama Antara) dan didistribusikan kepada Sjahrudin, seorang wartawan senior Antara.
”Karena gedung RRI—yang waktu itu bernama Hozokyoku—masih diduduki Jepang, Sjahrudin masuk dengan lompat pagar belakang,” kata Rushdy. Sayang, gerak Sjahrudin tertangkap penjaga. Untung saja, naskah yang diberi memo ”harap siarkan” oleh Adam Malik itu ditemukan Jusuf. Dengan menyisipkan berita itu di segmen berita internasional, setelah pukul enam sore Jusuf menyiarkan berita proklamasi itu tanpa ragu.
”Republik Indonesia telah merdeka sejak pukul 10 tadi pagi!” pekik Jusuf, seperti yang ditirukan Rushdy. Kemudian Jusuf membacakan naskah proklamasi sesuai dengan naskah yang sudah ditulis dan dinyatakan pada pagi harinya.
Tak lama kemudian, Jusuf dan rekannya Bachtar Lubis—kakak sastrawan Mochtar Lubis—menikmati buka puasa. Pada saat itulah pasukan Jepang menendang pintu kantor itu dengan murka. ”Pasukan Jepang menyiksa mereka berdua dan menginjak-injaknya,” kata Rushdy. Akibat siksaan itu, kaki kanan Jusuf cacat seumur hidup.
Bagi Jusuf, sejarah sangat penting. Itulah sebabnya, pada 1950, Jusuf meminta Soekarno, yang sudah menjadi presiden, merekam pembacaan naskah proklamasi sesuai dengan aslinya. ”Rekaman itulah yang kita nikmati hingga saat ini,” tutur Rushdie.
Pada masa Orde Baru, Jusuf lebih banyak berkecimpung di dunia diplomasi. Menurut Juwono Sudarsono, ketika Jusuf menjabat Kepala Biro Penerangan Kedutaan Indonesia di Washington, dia adalah orang pertama yang berkomentar tentang terbunuhnya Presiden AS John F. Kennedy pada 1963. ”Menurut Pak Jusuf, Indonesia kehilangan tokoh yang bersimpati pada Indonesia,” kata Juwono kepada Tempo. Jusuf agaknya yakin, hubungan Indonesia dan AS bisa lebih mesra seandainya John F. Kennedy tidak terbunuh. Pada 1972, Jusuf dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Argentina.
Pada masa senjanya, Jusuf dihajar oleh stroke, yang kemudian disusul oleh vonis kanker paru-paru yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit. Pada Ahad itu, di usianya yang ke-88, Jusuf tak hanya meninggalkan seorang istri bernama Siti Fatma Rassad, tiga anak, dan tujuh cucu, tetapi seluruh masyarakat Indonesia yang berutang besar kepadanya karena kegigihannya menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui corong RRI. Kepergiannya jauh dari riuh-rendah dan bunyi dentam kebesaran; tetapi gelar pahlawan dan pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk Jusuf tak akan pernah dipertanyakan, apalagi dipersoalkan.
Leila S. Chudori dan Reza M.
Majalah Tempo
Edisi. 50/XXXVI/04- 10 Februari 2008
-
No comments:
Post a Comment