Pramoedya Ananta Toer Dan Kebudayaan Rakyat Yang Mati Hidup Langgeng
Hidup Mati Penulis & Karyanya (25)
Oleh: A.Kohar Ibrahim
Hidup Mati Penulis & Karyanya (25)
Oleh: A.Kohar Ibrahim
SAMPAI pada bagian akhir tapi bukan yang terakhir – apa pula akhir dari pada zaman – ini kiranya bisalah lebih cerah dalam menyimak soal yang menjadi persoalan – jelasnya dalam makna memaknai politik yang melingkupi ragam bidang kehidupan masyarakat manusia bernegara. Kiranya, bisa dinyatakan bahwa sudah sejak lahir sampai matinya manusia berurusan dengan politik. Jika bukan Anda tentulah Politik yang berurusan dengan Anda.
Disadari ataukah tidak disadari, mau ataukah tak mau, secara langsung maupun tak langsung. Dari pelajaran sejarah perkembangan masyarakat manusia, baik skala dunia maupun nasional, bagi tiap insan – apa pula selaku pekerja kebudayaan – betapalah perlunya menaruh perhatian dan memahami politik. Politik dengan jurus-jurusnya. Dan dari 2 jurus seperti urai Joebaar Ajoeb, pilihan yang cerah pastilah terletak pada «jurus sejarah kebudayaan yang nasional dan kerakyatan » dan bukan pada lawannya, yakni : « jurus sejarah kebudayaan kolonial dan feodal ». Dalam kaitan itulah pentingnya makna semboyan yang dianut oleh Lekra : « Politik Adalah Panglima ». Semboyan yang secara cerah dijabarkan maknanya oleh Joebaar Ajoeb. Semboyan yang mendorong untuk mengenal situasi dan tahu keadaan sekaligus memperluas wawasan dalam rangka aktivitas dan kreativitas kebudayaan atau kesenian maupun kegiatan lainnya dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat. Dengan wawasan luas demikian, memberikan kemudahan untuk memahami bahwa segala bentuk perjuangan politik pada hakikatnya adalah perjungan untuk mencapai kekuasaan.Maka adalah suatu kenyataan yang benar, bahwa justeru dalam soal yang jadi persoalan seperti pepolitikan itulah timbul-jadi- nya keberbedaan sikap-pendirian yang ragam macam – dari yang kecil sekecil-kecilnya sampai yang besar sebesar-besarnya; dari yang tenang lunak sampai pada yang bergejolak bahkan sebagai prahara yang berdampak menghancur-binasakan. Oleh karena itu, bukanlah tanpa alasan atau bukanlah dengan argumentasi asal-asalan, jika dinyatakan bahwa mengalpa-lupakan politik dan kepura-puraan atasnya, merupakan hal yang berbahaya. Hal mana bisa mengandung bahaya atau mengundang marabahaya malah. Karena bisa memperoksokkan manusia atau menjadikan manusia terperoksok tanpa tahu apa sebab musababnya. Dan jikalau tahu, jikalau sadar, maka dengan kepura-puraan atau pembuta-tulian akan politik, bisa dianggap sebagai suatu manifestasi dari aksi yang keji dan biadab. Dalam lembaran sejarah Indonesia, baik di zaman kolonial maupun sesudah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, bukti-bukti akan dampak buruk sekaitan dengan soal dan persoalan politik kiranya cukuplah banyak adanya.BEGITULAH dalam hal yang menjadi tumpuan bahasan kita sekitar polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu ini, memang benar asal-usul mulanya memang gara-gara sikap menyikapi soal politik. Di satu pihak – pihak yang pertama – menganggap politik adalah soal yang lumrah, pun penting maknanya, sampai disemboyankan “politik adalah panglima”, yang merupakan wawasan yang luas maknanya. Di pihak lain – pihak yang kedua – menentang soal ini. Maka terjadilah persoalan – perbedaan pendapat sampai terjadi perdebatan atau polemik. Polemik yang bukan hanya terjadi ada orang perseorangan, melainkan antara grup, kelompok, kaum dan atau golongan; baik di forum-forum terbatas, di akademi atau universitas, pun sampai pada perluasannya di media massa bahkan di lembaga-lembaga resmi maupun non-resmi.Kiranya telah terbukti, bahwa lewat perjuangan di bidang kebudayaan dengan segala variasinya, orang pun menyaksikan keragaman opini bahkan dari kalangan mereka sendiri yang tergolong “pihak kedua” alias kaum penentang semboyan “politik adalah panglima”. Karena, apapun perwujudan atau pernyataan baik lisan maupun tulisan, bahkan orang yang menjatakan “tak berpolitik”, “tak suka politik”, “menentang politik” dan sebagainya lagi itu, pada hakikatnya orang itu lagi berpolitik. Dengan caranya sendiri.Maka gamblang sekali, dalam hal adanya manifestasi aksi berupa Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dikonsepsi dan dideklarasikan oleh sementara kalangan budayawan, sastrawan dan penyair Indonesia itu tak lain tak bukan merupakan peristiwa politik – bukan semata-mata kebudayaan. Mari kita simak, bahkan pernyataan dari kalangan, kaum atau kubu Manikebu sendiri atau mereka yang pada hakikatnya sama saja dalam sikap-pendiriannya yang mendasar. Misalnya, opini yang dibawakan oleh budayawan kondang Ajip Rosidi, cukuplah signifikan dan layak jadi perhatian.“Para seniman dan budayawan yang terutama berkumpul di sekitar majalah Sastera sangat berkeberatan terhadap diletakkannya politik sebagai panglima….” Tulis Ajip, dalam bukunya “Sastera Dan Budaya”, Pustaka Jaya, Jakarta 1995, hlm 165). “Karena itu akhirnya mereka mengumumkan sebuah pernyataan sikap yang kemudian terkenal dengan nama Manifes Kebudayaan.”Menurut Ajip Rosidi, “Kira-kira pada bulan Juli 1963, ketika menginap di rulah Toto S. Bachtiar di Gang Eddy, Jalan Halimun, Jakarta, Soe Hok Djin (sekarang Arief Budiman) menyodorkan konsep pernyataan yang kemudian akan dikenal sebagai Manifes Kebudayaan dan mengajak kami menandatanganinya, kami pun menolaknya.” “Kami beranggapan bahwa langkah seperti itu berbahaya, karena tidak lagi merupakan langkah kebudayaan, melainkan sudah langkah politik, karena bagaimana pun pernyataan itu merupakan pernyataan politik.” (hlm 168)“Memang, isi Manifes Kebudayaan itu sendiri tidak ada apa-apa yang baru, dilihat dari segi pemikiran kebudayaan; ia hanya berupa pernyataan sikap yang menolak konsep “politik sebagai panglima”; sementara konsep penjelasan yang menyertainya yang disusun oleh Wiratmo Soekito jelas memancing pihak Lekra/PKI untuk turun tangan adu kekuatan…” (hlm 168-169).Lebih jauh, penjelasan Ajip Rosidi menjadi lebih penting lagi ketika menunjukkan betapa kaitan eratnya kaum Manikebu dengan KKPI dan didirikannya organisai pengarang bernama KPI (Karyawan Pengarang Indonesia) dengan pihak kekuatan militer alias ABRI. Dengan menunjuk beberapa sosok tokoh yang memegang peranan penting dalam pengimplementasian “politik sebagai panglima” secara nyata selaras versi dan selaras cara serta tujuan politik mereka.“Menurut Darsjaf, “Golongan Manifes sadar massa-aksi PKI/Lekra yang mengganyang mereka, harus dihadapi dengan massa-aksi. Timbullah pikiran untuk menggalang persatuan di antara mereka dengan mengadakan Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia…”“Pernyataan ini menarik sekali, karena bertentangan dengan pernyataan para tokoh Manifes Kebudayaan pada masa itu, yang selalu menekankan bahwa mereka tidak berpolitik dan tidak main politik.” (hlm 205-206)“Seperti yang pernah saya kemukakan, bagi kami sendiri penandatanganan Manifes Kebudayaan itu merupakan tindakan politik. Jusrtru karena itulah maka saya dan kawan-kawan dari Bandung menolak ajakan Arief Budiman untuk menandatanganinya.” (hlm 206)“Bahwa ABRI, terutama Angkatan Darat, yang memang anti-komunis melihat kelompok Manifes Kebudayaan ini sebagai kekuatan yang dapat dimanfaatkan secara politik untuk menghadapi PKI, dapat bdimengerti. Darsyaf dengan gamblang menyatakan bahwa “KKPI adalah proyek Angkatan Darat dalam rangka machtsvorming penggalangan kekuatan menantang machtsvorming PKI/Lekra”.Demikianlah, dan dalam hal penting bahkan genting ini, peranan salah seorang tokoh yang dijuluki sebagai konseptor Manikebu, organisator sekaligus promotor Manikebu/KKPI/ KPI seperti Wiratmo Soekito menjadi amat bermanfaat untuk disimak. Supaya memudah-cerah- kan kita untuk memahami betapa implementasi jurus politik Militer dalam perjuangan di bidang kebudayaan. Lagi pula, selain Wiratmo Soekito, ada sejumlah budayawan dan pengarang yang memang bekerja atau berdinas militer. Seperti yang paling terkemuka: Kolonel Nugroho Notosusanto. Di samping tokoh-tokoh yang jadi “orang militer”, yang bekerja secara langsung maupun tak langsung, resmi maupun tak resmi, untuk kaum militeris.Ketika ada yang sepertinya lagi “kebakaran jenggot” mereaksi tulisan saya yang menyinggung tokoh Wiratmo Soekito sebagai bukti salah seorang dari tokoh Manikebuis yang mengimplementasi “politik adalah panglima” versi kaum militeris, saya bukan lagi memfitnah. Melainkan lagi mengungkapkan kenyataan yang benar. Benar juga, saya mendapat sambutan dari salah seorang sahabat yang juga pengarang, esayis dan penyair yang bermukim di Negeri Paman Sam, bahwa ada bukti bahwa Wiratmo Soekito itu memang agen militer – seperti yang pernah disinyalir Zainal Afif. Sang sahabat yang bermukim di negerinya Ben Anderson itu membantu saya untuk menunjukkan pengakuan Wiratmo Soekito sendiri, seperti tertera dalam bukunya sendiri yang berjudul: « Kesusasteraan dan Kekuasaan » (1984). Wiratmo Soekito merasa gagah dan amat serta memiliki banyak pengetahuan sekitar Manikebu dan KKPI baik yang diumumkan maupun yang tak diumumkan alias latar belakangnya. Pasalnya,seperti diakuinya pada halaman 41, adalah :« …oleh karena ketika itu « bekerja » secara sukarela pada dinas rahasia Angkatan Bersenjata, saya dapat mengetahui latar belakang larangan Manifes maupun latar belakang permintaan maaf kepada Sukarno. »Dan sang sobatku dari Amerika itu meminta perhatian khusus akan kata « bekerja » yang ditaruh dalam tanda petik itu, yang seolah-olah dikutip, tetapi jelas maksudnya memakai huruf tebal, bahwa dia bekerja (dengan huruf tebal) sekalipun dengan suka rela.Maka cocok sekali maknanya dengan yang juga dikonstatasi oleh Ajip Rosidi dalam bukunya “Sastra dan Budaya” itu, bahwa: « …Wiratmo Soekito bekerja untuk tentara, mungkin sebagai teknokrat. » (hlm 194).Akan halnya tokoh-tokoh lainnya, kiranya juga amat penting untuk dicermat ungkapan Ajip dalam bukunya pada halaman 166:“Dalam tahap selanjutnya, sangatlah menentukan peran seorang pengarang muda dari Medan, Bokor Hutasuhut namanya, salah seorang penandatangan awal Manifes Kebudayaan. Bokor “didrop” ke Jakarta sebenarnya untuk mempersiapkan jalan agar pencalonan Kolonel Noor Nasution untuk menjadi Gubernur Sumatea Utara dapat berjalan lancar. Karena itulah Bokor mempunyai saluran dengan tentara. Bokorlah yang menjadi penghubung kesepakatan kelompok Manifes Kebudayaan dengan Menko Pertahanan-Keamanan Jenderal A.H.Nasution yang telah diketahui memang anti komunis. Sebagai hasilnya ialah kesepakatan untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang akan melahirkan sebuah organisasi pengarang di bawah naungan Angkatan Darat. Dipasangnya nama “karyawan” di situ, niscaya untuk mengesahkannya sebagai proyek kekaryawanan ABRI”. Begitulah, lebih lanjut, pada halaman 187-188, pengungkapan Ajip menjadi semakin tegas lugas lagi akan manifestasi aksi politik dari kaum Manikebuis dan Militeris di medan juang kebudayaan Indonesia. Dengan memanfaatkan makna “politik adalah panglima” dan “tujuan menghalalkan cara” menurut versi mereka sendiri.“Memang ada hal-hal mendasar yang berbeda antara kami para pengarang Bandung dengan kawan-kawan kaum Manifestan,” tulis Ajip Rosidi, “misalnya tentang kemandirian pengarang dan seniman dalam masyarakat. Saya sendiri dalam sidang-sidang berkali-kali menyatakan keberatan bahwa sebuah konferensi pengarang diketuai oleh seorang yang sama sekali bukan pengarang, meskipun dia jenderal, yaitu Mayor Jenderal Dr. Sudjono. Saya katakan bahwa hal itu merupakan suatu keganjilan yang akan merusak citra kepengarangan.” (hlm 187)“Saya tahu bahwa didudukkannya jenderal tersebut dalam konferensi itu niscaya hasil kesepakatan kaum Manifestan dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan pada waktu itu, yaitu Jenderal A.H.Nasution. Sebagai imbalannya, konferensi mendapat berbagai fasilitas dari Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat, termasuk uang untuk membiayai para peserta dari daerah-daerah.” (hlm 187-188)KINI adalah gunanya untuk mengungkap seraya menggaris-bawahi mengenai eksistensi masing-masing yang saling berlaga memperagakan aktivitas-kreativit asnya seraya bersaing suara di medan juang kebudayaan Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya pula, dan di dalam masa tertentu pula, tidaklah dalam keadaan seimbang. Karena adanya keberbedeaan yang nyata, baik dalam pandang maupun dalam kekuatan dan kemampuan yang terpandang. Tapi, satu hal yang pasti, adalah benarnya konstatasi yang antara lain juga datang dari budayawan kaliber nasional sekaligus internasional macam Ajip Rosidi. Yakni bahwa kekalahan dan kehancuran Lekra itu bukanlah oleh kekuatan kaum Manikebu, melainkan oleh kekuatan kaum militeris OrBa. Yang dengan gampang mengatasi “G30S” dan memanipulasi sikon politik sejak 1 Oktober 1965, hingga penumbangan rezim Sukarno sekalian aksi penumpasan para pendukung utamanya, yakni PKI serta kaum nasional dan demokrat lainnya. Suatu masa tragis yang amatsangat berbeda dengan beberapa masa singkat sebelumnya, yakni setelah pelarangan Manikebu.Dalam bukunya yang tersohor itu, pada halaman 194, Ajip Rosidi terlebih dahulu melukiskan sikon ringkas namun bernas.“Dengan dilarangnya Manifes Kebudayaan”, jelas Ajip Rosidi, “maka para pendukungnya kehilangan forum untuk “berjuang”, karena praktis tidak ada media massa yang bersedia menampung karya-karya mereka, bahkan dengan memakai nama samaran sekalipun. Dari tempatnya bekerja di lembaga-lembaga pemerintah, mereka pun didepak. Sebagian –seperti Wiratmo Soekito- bekerja untuk tentara, mungkin sebagai teknokrat. Sebagian lagi menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan bawah tanah. Tetapi kebanyakan menggabungkan diri ke dalam lembaga-lembaga kebudayaan yang bersedia menampung dan melindunginya.” “Ketika kemudian Lekra tumbang karena PKI terlibat dalam kudeta Gestapu yang gagal (1965), orang-orang Manifes Kebudayaan banyak yang menggabungkan diri dengan kesatuan-kesatuan aksi, tetapi peluang itu sendiri bukanlah hasil perjuangan mereka. Karena itu adanya anggapan dari tokoh Manifes Kebudayaan seakan-akan Lekra hancur karena perjuangan mereka, hanyalah suatu impian romantis belaka.” (hlm 194)Kemudian, hal itu lebih ditegaskan lagi oleh Ajip Rosidi dalam bukunya itu pada halaman 214:“Tidak ada maksud saya hendak mengecilkan peranan Manifes Kebudayaan ataupun pihak yang lain. Yang saya kemukakan dalam kalimat itu sudah jelas karena merupakan fakta-fakta sejarah. Gagalnya kudeta Gestapu PKI bukanlah karena perjuangan golongan Manifes Kebudayaan, walaupun banyak di antara kaum Manifestan yang kemudian bersama-sama dengan Kesatuan Aksi mengganyangnya. Kegagalan kudeta Gestapu adalah berkat ketangkasan ABRI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto yang ketika itu menjadi Panglima Kostrad. Pada hari-hari pertama yang menentukan setelah 1 Oktober 1965, tidak pernah tercatat adanya peranan kaum Manifes Kebudayaan dalam melumpuhkan kaum pemberontak. Sebaliknya ketegasan dan keberhasilan ABRI pada hari-hari pertama bulan Oktober itu, memberikan peluang kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang anti-komunis, termasuk kaum Manifes Kebudayaan, untuk bergerak. Jelas bukan kaum Manifestan yang menciptakan peluang itu.” Konstatasi Ajip Rosidi itu memang sarat kebenaran faktual. Wajar. Karena selain budayawan, sastrawan, penyair, intelektual juga dikenal sebagai sejarawan. Terbuktikan antara lain dari hasil telaahnya berupa buku “Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia”. Dalam mana, Ajip menunjukkan obyektifitas akan keberadaan para sasterawan Indonesia, termasuk di dalamnya para sasterawan anggota Lekra. Di situ, terbukti tidak diberlakukan pemenggalan atau pembunuhan dalam arti kiasan, barang tentu.Lagi pula, secara faktual, baik secara kwantitas maupun kwalitas barisan pekerja kebudayaan, seniman dan sastrawannya -- kekuatan maupun kemampuan barisan Pramoedya/Lekra tidaklah sepadan dengan kaum Manikebu memang. Begitulah betapa besar jasa dan pengaruh Lekra dalam upaya perjuangan pembinaan kebudayaan Indonesia yang nasional dan merakyat, tak bisa dibandingkan dengan sekelompok kaum Manikebu. Bahkan, dalam masa berjaya-jayanya rezim OrBa, apa lagi sesudahnya, prestise sekaligus prestasi Pramoedya/Lekra tetap amat signifikan, baik dalam skala nasional maupun internasional. sepertinya pantang sirna. Dengan kata lain, semangat yang dibawakan Pramoedya dan jiwa dari gerakan kebudayaan nasional yang merakyat di bumi Indonesia senantiasa langgeng saja adanya. *** 22.12.2007
No comments:
Post a Comment